Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
TUBUH seorang pengacara muda ditusuk. Ia dibebat bendera berwarna putih. Darah muncrat. Orang-orang menghujani badannya dengan batu. Seonggok mayat pemuda itu berbicara kepada pengacara tua yang juga ayahnya. "Aku putramu satu-satunya ini diculik, disiksa, dan baru dikembalikan sesudah jadi mayat," kata Taksu Wijaya. Lantunan biola menyayat mengiringi tangis sesenggukan Putu Wijaya. Taksu bersimpuh di kedua kaki ayahnya yang duduk di kursi roda. Ia berkali-kali meminta maaf kepada sang ayah.
"Harusnya aku mendengarkan apa yang dikatakan suster itu. Kau minta yang datang putramu buah hatimu. Bukan seorang pengacara muda yang ambisius, pongah, dan keblinger mengklaim dirinya realistis membela amanat penderitaan rakyat. Tetapi sebenarnya tak lebih dari sel-sel subversif yang telah ditemukan dengan begitu rinci, cerdas, dan sempurna di negeri ini oleh mereka yang tidak pernah menghendaki kita ada."
Taksu bermonolog selama sekitar satu jam dalam pertunjukan drama berjudul OH karya sutradara Putu Wijaya di Gedung Teater Arena Fakultas Seni Pertunjukan Institut Seni Indonesia (ISI), Yogyakarta, Rabu malam pekan lalu. Ibunda Taksu, Dewi Pramunawati, tampil memerankan seorang suster yang telaten menjaga pengacara sepuh, sakit, dan berselimut di atas kursi roda. Suster itu memberikan satu rangkaian bunga kepada pengacara gaek yang tergolek lemah.
Bersama anggota Teater Mandiri, keluarga Putu Wijaya memainkan drama yang berbicara tentang pencarian keadilan. Pentas drama itu relevan dengan situasi Indonesia sekarang. "Tidak seorang pun tahu keadilan. Kita mencari keadilan dan tidak pernah ketemu. Kebenaran, keadilan selalu terus kita cari," kata Putu.
Peraih doctor honoris causa bidang teater dari ISI itu menampilkan drama yang kompleks, absurd, dan surealis. Di awal pentas, ia membangun suasana tenang: bunyi cericit burung dan dua orang duduk bersisian. Di tengah-tengah, Taksu bermonolog tentang banyak hal dan campur aduk. Ia membicarakan politik, ilmu pengetahuan, cita-cita Negara Kesatuan Republik Indonesia, kolonialisme, dan penderitaan selama 350 tahun. Ia juga melontarkan pikiran-pikiran Nietzsche, Karl Marx, Machiavelli, Freud, Jean Paul Sartre, Albert Camus, Derrida, dan Foucault.
Di pengujung pertunjukan, teror terus muncul. Putu menyuguhkan suara "rakyat yang marah", berdemonstrasi atas ketidakadilan. Suasana terasa mencekam dan chaos. Orang diajak membayangkan poster-poster raksasa bernada protes ada di mana-mana, gedung peradilan diserbu, dibakar, dan terjadi pembunuhan secara brutal.
Klimaksnya, muncul layar putih bersama gerakan tubuh Taksu yang membentuk bayangan layaknya wayang, seperti karya-karya Putu pada umumnya. Pentas malam itu menggunakan panggung dan properti yang minimalis. Hanya ada kursi, lampu sorot, dan bongkahan-bongkahan kertas yang diremas membentuk batu. Kostumnya juga sederhana.
OH merupakan satu di antara karya Putu yang dikumpulkan dalam buku 100 Monolog. Pada Februari 2017, kisah yang sama dipentaskan di Galeri Indonesia Kaya, Jakarta. Putu, yang terkena stroke, selalu terlihat bersemangat mementaskan drama itu bersama keluarganya di sejumlah tempat.
Keesokan harinya selepas pentas, Putu berbicara dalam seminar nasional bertajuk "Rupa dan Tubuh: Teater Kontemporer Indonesia" di kampus ISI. Ihwal teror itu, Putu mengatakan ia suka melakukannya untuk membingungkan orang supaya terus mencari kebenaran. Ada kegagalan dan keputusasaan. Justru teror itulah yang akan menolong manusia. "Teror bisa lunak, tapi juga mesra. Tetes air di kamar mandi pada malam hari bisa menjadi teror pada kesunyian," ucap Putu.
Dosen Fakultas Filsafat Universitas Katolik Parahyangan, Bandung, Bambang Sugiharto, pembicara dalam seminar itu, mengatakanpentas drama OH membuka kesadaran manusia tentang keadilan. Putu memaksa orang memikirkan esensi dari persoalan itu. Penonton menjadi pusatnya.
Bambang menyebut karya-karya Putu filosofis, memperlihatkan keradikalan dan persoalan mutakhir. Putu memunculkan teror dalam cerpen, novel, dan karya-karya teatrikal. Putu juga membawa kemungkinan-kemungkinan baru. "Teror bagi Pak Putu itu ideologi, langgam dasar. Dia mengganggu keseimbangan serta merobek kesimpulan dan keyakinan pikiran agar terbebas dari penjajahan pikiran dan kekerasan dogmatis," ujar Bambang.
Bambang menyebutkan teknik pada karya-karya Putu bisa menggunakan apa saja dan cara apa saja sesuai dengan prinsip kerja Teater Mandiri: bertolak dari yang ada. Banyolan, memutarbalikkan kelogisan, dongeng absurd yang tidak hitam-putih, subversif, anarkistis, dan kesunyian. Orang bisa marah, jengkel, dan tersengat saat menonton pentas teater Putu. "Karyanya mendorong pada pengembaraan spiritual baru dan menyeret emosi. Itu mengingatkan saya pada psikoanalisisnya Freudian," katanya.
Shinta Maharani (yogyakarta)
Pemimpi Tradisi Baru
SUARA Putu Wijaya tercekat, berhenti sejenak ketika berpidato tanpa teks. Dia sangat bersemangat meski tersengal-sengal. Batuk menyergapnya berkali-kali. Panitia acara dua kali mengingatkannya untuk berhenti bicara. Tapi Putu terus bercerita. "Barangkali yang bisa menyetop saya hanya batuk ini," ucap Putu.
Di atas kursi roda, lelaki 74 tahun yang terkena stroke itu ingin berlama-lama di panggung untuk berbicara tentang tradisi baru. Tubuhnya yang mati separuh bukan penghalang. Ia justru "keras kepala", berkobar-kobar membawakan "Tradisi Baru" selama 40 menit di Gedung Concert Hall Institut Seni Indonesia (ISI), Yogyakarta.
Rabu pagi pekan lalu, Putu berpidato dalam rangka penganugerahan doctor honoris causa bidang teater dari ISI kepadanya. Tim promotor dalam sidang senat terbuka ISI menyebutkan karya-karya Putu tidak hanya dikenal di Indonesia, tapi juga mancanegara. Ia berkontribusi bagi pengembangan ilmu dan seni, khususnya teater. "Saya bukan peneliti. Saya hanya seorang pemimpi, merenung saja," ujar Putu.
Putu menulis "Tradisi Baru" sejak 2016, saat ia diberi tahu panitia penganugerahan gelar doctor honoris causa. Ia menulis menggunakan jempol kanannya di telepon seluler. Dalam lima tahun terakhir, Putu memang mengandalkan jempolnya untuk menulis di ponsel setelah stroke menderanya. "Tradisi Baru" kemudian diterbitkan menjadi buku oleh Teater Mandiri, teater yang dia dirikan.
Putu mengatakan "Tradisi Baru" merupakan upaya menafsirkan ulang tradisi dan kejadian di sekitar manusia. Nilai-nilai yang baik dalam tradisi dipakai dan yang buruk disisihkan. Tradisi muncul bukan sebagai sesuatu yang kuno, melainkan kekuatan yang relevan dipakai saat ini. Ia mengajak orang untuk tak minder terhadap teater tradisi atas teater Barat. Tapi tak perlu juga mengagung-agungkan teater tradisi. "Semuanya setara. Semuanya agung," katanya.
Rektor ISI Yogyakarta Agus Burhan mengatakan Putu merupakan penanda penting bagi dunia teater modern Indonesia selain W.S. Rendra dan Arifin C. Noer. Teater karya Putu, menurut Agus, bersumber dari kekuatan tradisi yang membawa fungsi tuntunan moral dan terapi sosial. Sikap berkesenian Putu menghayati nilai-nilai tradisi yang bersifat plastis, cair, dan dinamis untuk disenyawakan dengan dunia modern yang tegas dan ketat.
Karya-karyanya terbuka, punya daya hidup, penuh energi, dan meluas," ujarnya.
Shinta Maharani (yogyakarta)
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo