Baca berita dengan sedikit iklan, klik disini
TUBUH seorang pengacara muda ditusuk. Ia dibebat bendera berwarna putih. Darah muncrat. Orang-orang menghujani badannya dengan batu. Seonggok mayat pemuda itu berbicara kepada pengacara tua yang juga ayahnya. "Aku putramu satu-satunya ini diculik, disiksa, dan baru dikembalikan sesudah jadi mayat," kata Taksu Wijaya. Lantunan biola menyayat mengiringi tangis sesenggukan Putu Wijaya. Taksu bersimpuh di kedua kaki ayahnya yang duduk di kursi roda. Ia berkali-kali meminta maaf kepada sang ayah.
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo