Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Suatu hari pada 1956, Presiden Sukarno datang ke pameran lukisan Batara Lubis di Jakarta. Kehadiran presiden pertama RI yang tanpa diundang itu membuat Batara terperenyak. Ketika melihat-lihat lukisan yang dipamerkan, Bung Karno menunjuk sebuah lukisan berjudul Gerobak Yogya. Presiden yang memang suka seni dan dekat dengan para perupa itu kemudian membeli lukisan tersebut. Harganya saat itu Rp 3.000.
Sukarno membayar lukisan itu dengan cara dicicil. Itu membuat Batara bingung bagaimana harus menghubungi sang Presiden untuk pelunasannya. "Ternyata saban bulan ajudan Bung Karno datang memberi Rp 1.000, dicicil tiga kali," kata Halomoan Lubis, anak ketiga Batara, dalam pembukaan pameran "Sketsa Batara Lubis" di Museum Taman Tino Sidin, Yogyakarta, Jumat sore dua pekan lalu.
Menurut Halomoan, ayahnya selalu mengingat kisah itu hingga akhir hayatnya. Batara mendokumentasikan sejumlah kisah dan karyanya dalam beberapa buku berukuran folio yang ditulis tangan ataupun diketik sebelum dia meninggal pada 1 Desember 1986 di Yogyakarta.
Lahir di Hutagodang, Tapanuli Selatan, Sumatera Utara, 2 Februari 1927, Batara adalah putra kedua Raja Junjungan Lubis, keturunan raja-raja Hutagodang Mandailing Julu. Pada 1952, dia merantau ke Yogyakarta untuk belajar di Akademi Seni Rupa Indonesia. Saat belajar di sekolah seni rupa itu, Batara bergabung dengan Sanggar Pelukis Rakyat. Di sanggar itu, ia berguru pada pelukis Trubus, Sudarso, dan Hendra Gunawan. Bersama para gurunya itu, Batara ikut membuat monumen Tugu Muda di Semarang pada 1960.
Setelah tragedi politik 1965, Batara, yang ikut Lembaga Kebudayaan Rakyat (Lekra), sempat masuk penjara. "Dia teman ngringkel (meringkuk) saya di dalam penjara," kata Djoko Pekik, perupa yang terkenal dengan lukisan celengnya. Menurut Pekik, Batara-yang berkulit terang-dianggap orang Cina, yang saat itu identik dengan komunis. Pengakuan sebagai pelukis pun tak menjamin dia bebas dari tudingan komunis. "Karena pelukis, terus dituding mau mencetak uang berlambang komunis," ucap Pekik.
Padahal jalan untuk menjadi pelukis bagi Batara sungguh berat. Para gurunya di Sanggar Pelukis Rakyat yang merupakan maestro lukis itu sempat sangsi terhadap kemampuannya. Trubus menganggap dia tak berbakat melukis dan menyuruhnya pulang ke Sumatera. Sudarso, yang mengetahui hal itu, langsung memanggil Batara dan mengajarinya melukis selama enam bulan. Batara kemudian berguru pada Hendra Gunawan selama beberapa tahun.
Menurut Halomoan, Hendra juga sempat menyuruh ayahnya pulang ke Sumatera. Tapi saat itu Hendra menyuruh Batara mengeksplorasi tanah leluhurnya menjadi lukisan. Ketika kembali ke Yogyakarta, Batara membawa 20 karyanya yang kemudian diseleksi menjadi dua lukisan. "Barulah Hendra memutuskan, ’Ya, sudah, kamu sudah menemukan ciri khasmu.’ Terus Bapak melukis sendiri," ujar Halomoan.
Corak dekoratif menjadi ciri khas Batara. Karya-karyanya merepresentasikan berbagai obyek yang dia kenal, seperti kehidupan di Yogyakarta dan tradisi di tanah leluhur. Itu tampak dalam 60 gambar sketsa dari 400-an karya Batara pada 1955-1981 yang dipamerkan sepanjang 16 Februari-2 Maret. Ini pertama kalinya karya-karya sketsanya dipamerkan. "Yang pernah dipamerkan lukisan warna. Kalau sketsa, baru pertama ini dikeluarkan. Kalau terus disimpan, orang akan lupa," kata Halomoan.
Selama ini, sketsa itu menumpuk di rumah sekaligus galeri Batara di Pengok, Yogyakarta. Dalam pameran itu, potret kehidupan rakyat jelata tergambar pada sketsa-sketsa di atas kertas kecokelatan. Misalnya hiruk-pikuk perempuan berkebaya dan berkain jarit saat bertransaksi di Pasar Sentul, Yogyakarta. Juga sketsa buruh gendong yang membawa belasan bakul. Lalu gambar rumah-rumah panggung di kampung halamannya di Tapanuli Selatan. Ada juga sketsa potret dirinya yang diberi catatan "aku pulang dari rantau".
Kecintaan Batara kepada keluarganya dia abadikan dalam sketsa berjudul Melukis di Tengah Keluarga. Dalam sketsa itu, Batara tampak melukis istrinya yang duduk sembari menggendong bayi, sementara dua anaknya yang lain tengah bermain-main di sekitarnya. Kotak tempat cat warnanya bertulisan "kenangan yang indah".
Kurator M. Dwi Marianto menduga penyimpanan sketsa-sketsa Batara dalam waktu yang lama tak lepas dari dampak stigmatisasi sosial dan politik pasca-1965. "Penyimpanan karya sketsa Batara bukan tanpa sebab. Keluarga menunggu kesadaran demokratis dan kematangan politik masyarakat," ujar Dwi.
Pito Agustin Rudiana
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo