Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Obituari

Tiang Penyangga Itu Dimakamkan

Irjenbang Soedjono Hoemardani meninggal dunia akibat pendarahan di perut di Women's College Hospital, Tokyo. Almarhum salah satu tokoh orde baru dan penyangga Keraton Surakarta. (obi)

22 Maret 1986 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

IA seorang tokoh spiritual, seorang politikus yang tak banyak bersuara di surat kabar, seorang priayi yang tak pernah berbasa-basi, seorang militer dengan pribadi sederhana dan suka menari. Itulah, antara lain, predikat yang diberikan teman-teman dekatnya untuk mengiringi Mayjen (pur.) Soedjono Hoemardhani, yang meninggal dunia di Women's College Hospital, Tokyo, Jepang, Rabu malam pekan lalu. Irjen Pembangunan yang dipanggil akrab dengan sebutan Pak Djono ini, yang direnggut maut akibat pendarahan di perut, mula-mula dibawa ke Rumah Sakit Pusat Pertamina, Jakarta. Setelah lima hari lalu diterbangkan ke Tokyo pada 21 Februari. Keadaan fisiknya, waktu itu, sebenarnya tidak begitu mengkhawatirkan. Ia bahkan masih sempat memberi pesan kepada putra sulungnya, Djoko Mursito, "Sing ati-ati, jaga persatuan dan kesatuan." Sebagai seorang tokoh yang penuh kearifan, seperti diuturkan Harry Tjan Silalahi, teman dekat Almarhum di CSIS (Centre for Strategic and International Studies), Pak Djono dikenal suka menyepi -- dalam arti menjalankan kehidupan spiritual. "Ia seorang aktivis yang diam, tetapi rumahnya tak pernah sepi dari tamu yang ingin membicarakan semua sektor kehidupan," kata Harry Tjan Silalahi. Di masa pemerintahan Orde Baru, Pak Djono dikenal sebagai pelobi Jepang yang tangguh. Adalah Almarhum yang antara lain ikut berperan melobi Jepang membangun Proyek Asahan. Tak heran kalau pemerintah Jepang menganugerahinya Bintang Kelas I Tahta Suci pada 1984 -- penghargaan tertinggi bagi warga negara asing. Lahir di Carikan, Surakarta, 23 Desember 1919, Pak Djono, yang punya nama panggilan ketika kecil Djonit, adalah putra ketiga Raden Hoemardhani, seorang pengusaha yang sukses waktu itu. Tapi, Djonit kecil tak suka berdagang. Ia lebih mewarisi jiwa pejuang kakeknya, Raden Ngabei Djojokartiko, salah seorang pahlawan Perang Giyanti. Sebagai salah seorang tokoh Orde Baru, kepergian Pak Djono diratapi banyak orang. Mensesneg Sudharmono berkata, "Sebagai teman seperjuangan dalam jajaran ABRI selama Orde Baru, saya selalu bekerja sama dengan Almarhum." Sudharmono yang juga Ketua Umum Golkar ini menyimpulkan "beliau (Soedjono Hoemardhani) adalah tokoh Orde Baru yang konsisten dalam menegakkan, menghayati, dan mengamalkan Pancasila." Karier militer Soedjono Hoemardhani diawali di kota kelahirannya, Surakarta, dengan pangkat letnan satu pada Resimen Infanteri XV. Setelah itu, ia hijrah ke markas Teritorial IV di Semarang. Pada 1960, ia pindah ke Jakarta, dan menjabat Wakil Deputi III Kasad. Dua tahun kemudian, dengan pangkat letnan kolonel ia diangkat sebagai Penjabat Deputi III Kasad. Ia pernah dikirim ke Amerika Serikat, mengikuti pendidikan Finance Advanced Course di Fort Benjamin Harrison. Sepulang dari AS, pada awal-awal Orde Baru, Pak Djono diberi kepercayaan sebagai asisten pribadi (aspri) Presiden Soeharto. Ketika lembaga ini dihapuskan, Soedjono Hoemardhani masih tetap mendampingi Presiden Soeharto, sebagai Irjenbang. Jenazah Soedjono Hoemardhani tiba dari Jepang dengan pesawat Garuda diselubungi bendera Merah Putih, disambut dengan upacara militer penuh. Di rumah duka, puluhan pejabat hadir, dan ratusan karangan bunga sampai tak tertampung lagi di pekarangan rumah. Ketika Presiden Soeharto dan Ibu Tien hadir, dimulailah upacara yang sangat mengharukan itu. Asriani Hoemardhani, 23, putri ke-10 Almarhum, melangsungkan akad nikah dengan Leodji Liestijanto, 23, dengan saksi pernikahan Pangab Jenderal L.B. Moerdani, Menteri Agama Munawir Sjadzali, dan Gubernur DKI R. Soeprapto. Menurut rencana semula, pernikahan dilangsungkan pada 1 April depan. Esok harinya, jenazah Pak Djono diberanekatkan ke Solo, dilepas langsung oleh Presiden Soeharto di Halim Perdanakusuma. Ratusan pejabat dan pelayat dari Ibu Kota mengantar dengan tiga pesawat Hercules. Bahkan Pangab Jenderal Moerdani terbang lebih dahulu, dan menanti jenazah di Solo. Jenazah Pak Djono dimakamkan di Desa Janti, Kabupaten Klaten, 25 km barat daya Surakarta. Pemakaman dengan upacara militer dan dilakukan secara Islam itu dipimpin inspektur upacara Gubernur Jawa Tengah Ismail. "Meninggalnya Pak Djono akan mempengaruhi kehidupan Keraton Kasunanan Surakarta. Beliau adalah penyangga, penghubung keraton dengan pejabat tinggi pemerintahan," ujar sumber TEMPO di Surakarta. Kebetulan pula, Almarhum dengan Paku Buwono XII berbesanan. Anak Almarhum, Djoko Mursito, kawin dengan putri Keraton Solo, Kus Kristiyah. Putu Setia

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus