Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Pendidikan

Ssst, Jangan Bilang-bilang Disini...

Kasus skripsi aspal muncul kepermukaan. 2 pelaku di Bandung & Surabaya memaparkan prakteknya. Kekurangan tenaga pembimbing-selain soal mental-dianggap sebagai penyebabnya, menteri Fuad Hassan prihatin.(pdk)

22 Maret 1986 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

SKRIPSI aspal, asli tapi palsu, bukan cuma kabar burung. Memang, ihwal bisnis di kalangan perguruan tinggi ini, bila Anda mencoba menanyakannya, jawabannya bagaikan nilai rupiah terhadap dolar: mengambang. Saya dengar Pak Anu menerima pekerjaan skripsi dengan tarif Rp 600.000 terima jadi, demikian antara lain yang diperoleh di, misalnya, Universitas Mulawarman, Samarinda, Kalimantan Timur. Tapi bila Universitas Padjadjaran (Unpad), Bandung, merencanakan diskusi hal pemalsuan skripsi, Senin pekan depan, tentunya ini soal serius. Itu sebabnya sejumlah wartawan TEMPO beberapa waktu lalu melakukan investigasi. Hasilnya: Di Bandung Setelah melakukan berbagai wawancara dengan mahasiswa dan dosen, setelah mengumpulkan sejumlah informasi, wartawan TEMPO di Bandung akhirnya sampai ke sebuah rumah di kawasan Jalan Sasak Gantung, dekat alun-alun Bandung. Rumah kontrakan di gang sempit itu sangat sederhana. Di sini tinggal Iskandar Meidy, 45, sarjana Ilmu Administrasi Negara. TEMPO ditemui tuan rumah di ruang tamu yang tak lebih dari 4 X 2 meter. Sebuah rak besar penuh buku memisahkan ruang tamu dengan ruang dalam. "Saya hanya mengamalkan ilmu, selain juga mencari tambahan penghasilan," kata bapak tujuh anak (dari dua istri) ini kepada Maman Gantra dari TEMPO. Tanpa ditutup-tutupi, orang yang mengesankan doyan bicara ini mengatakan telah menuliskan sekitar 150 skripsi selama 13 tahun belakangan ini. Ia tak mau usahanya ini disebut bisnis. Soalnya, ia tak pasang tarif. Berapa saja ia terima -- Rp 75.000, Rp 100.000, Rp 200.000, atau cuma Rp 25.000. "Kalau saya melakukan bisnis, tentu keadaan saya tak begini," sambung orang yang konon suka pada kebatinan ini. "Yang penting bagi saya menularkan ilmu itulah." Tampaknya, orang yang di universitasnya dianggap tak berprestasi ini enggan menceritakan asal mulanya ia menerima pekerjaan membuat skripsi. "Mahasiswa yang membutuhkannyalah yang datang kepada saya," katanya. "Kemudian saya carikan masalah yang kira-kira cocok buat mereka, setelah saya mendapatkan informasi secukupnya. Baru saya mencari bahan di buku-buku dan sebagainya." Sesudah itu Iskandar tak lalu membiarkan si mahasiswa menunggu skripsi pesanannya selesai, 3 atau 4 minggu kemudian. Ia mengharuskan langganannya beberapa kali datang mendiskusikan masalah yang diskripsikan itu. "Biar mereka siap dalam ujian lisannya," tutur Iskandar. "Saya beri tahu mereka bagaimana mengulas masalah tersebut, mana bab yang penting, bagaimana menjawab pertanyaan." Bagaimana dengan soal penelitian yang biasanya merupakan sebagian bahan dari sebuah skripsi -- terutama penelitian lapangan? Dari seorang mahasiswa yang pernah berhubungan dengan Iskandar, diperoleh cerita begini. Mula-mula si mahasiswa harus minta surat dari fakultas akan meneliti di mana. Kemudian, entah dengan cara bagaimana, pemesan skripsi itu pun diminta mendapatkan surat dari tempat seharusnya ia melakukan penelitian. Isi surat: pernyataan bahwa mahasiswa tersebut telah melakukan penelitian. Bahan penelitian itu sendiri konon diperoleh dari kliping koran atau buku-buku, kata mahasiswa tersebut. Dengan kalimat lain, kadang kala, penelitian dari skripsi buatan Iskandar adalah fiktif. Dengan mata yang tampak seperti kurang tidur, Iskandar memang mengesankan seorang yang betah membaca. Ia menyatakan sanggup membuat skripsi dari bidang hukum, ekonomi, sejarah, dan administrasi. "Pokoknya, ilmu noneksaktalah," katanya sambil menunjukkan dua skripsi tentang hubungan internasional hasil karyanya atas nama orang lain. "Saya ini sebenarnya juga pembimbing, tapi tidak resmi," katanya tanpa senyum. Sikapnya ini dinilainya sendiri lebih baik daripada sebagai pembimbing resmi tapi "menyulitkan mahasiswa yang dibimbingnya". Maksudnya, menurut cerita-cerita mahasiswa yang sampai kepadanya, tak sedikit dosen pembimbing yang ternyata baru memberikan bimbingan sekadarnya sesudah ada imbalan yang -- tentu saja -- tak resmi. "Dalam hal ini jangan menyalahkan mahasiswa," tambah Iskandar. "Kita semua sudah terperangkap dalam kebiasaan mengambil jalan pintas." Lalu ia bercerita bagaimana masyarakat didorong menjadi konsumtif, lebih menghargai materi. Dan, ini: "Untuk memperoleh materi rupanya lebih gampang dengan selembar ijazah daripada dengan keahlian," kata Iskandar pula. Ada kesan, dosen golongan III ini menyimpan rasa kecewa. Masuk Unpad pada 1959, ia baru menyelesaikan kuliah pada 1982 -- itu pun karena diancam putus kuliah. Dan ini bukan karena ia tak mampu menyelesaikan studinya, tapi karena "saya sebenarnya lebih menghargai pengetahuan daripada gelar." Seorang dosen di Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Unpad memuji Iskandar. "Pak Iskandar itu orang pintar, tapi karena perbuatannya yang tak benar, sekarang tak boleh mengajar," kata dosen itu. Yang tak jelas dari wawancara dengan Iskandar yang bercita-cita menulis buku tentang filsafat ilmu ini yaitu benarkah 150-an skripsi itu semua, dari pengantar sampai kesimpulan, Iskandar yang membuatnya. Rektor Unpad, yang menanyakan hal ini setelah mendengar informasi tentang salah seorang dosennya ini, mendapat sangkalan keras. Iskandar mengaku hanya memberikan konsultasi, alias hanya bertindak selaku pembimbing tak resmi. Juga tak jelas adakah mahasiswa yang pernah "dibimbing"-nya ada yang gagal dalam ujian lisan. Sebenarnya Rektor agak sangsi akan kemampuan Iskandar. Soalnya, selain ia baru lulus setelah sekian tahun kuliah, juga sebagai asisten dosen Hukum Administrasi, Iskandar telah dihentikan, karena sering tak mengajar. Ia kini hanya diberikan pekerjaan sebagai anggota staf kewiraan Unpad, dan tak diserahi asistensi mata kuliah apa pun. Di Surabaya Setelah berliku-liku cari sana cari sini, Yopie Hidayat dari TEMPO akhirnya menemukan rumah itu. Kecil dan mengesankan sumpek. Yopie, yang mengaku ingin memesan skripsi, ditemui oleh seorang berambut potongan militer, berpakaian lusuh. Meski bicara lancar, kedengarannya tak begitu meyakinkan. Di almari di ruang tamu tertempel selembar kertas bertuliskan: "Menerima pembuatan/penyusunan skripsi sarjana Rp 200.000, sarjana muda Rp 150.000. Mungkin dia merasa "tamu"-nya kurang menghargai dia, bapak setengah umur ini lalu pamer prestasinya. Selama 15 tahun belakangan ini ia telah membuatkan skripsi sarjana lengkap untuk 30 mahasiswa, dan tak seorang pun gagal menjadi sarjana. Lalu sebuah skripsi hasil karyanya ditunjukkannya. "Dari kata pengantar sampai penutup, skripsi ini saya yang bikin," tuturnya. "Data-data memang dari mahasiswa ini sendiri. Tapi kalau mau, dan Saudara berani, saya bisa bikin data fiktif. Gampang, cap-cap segala macam 'kan bisa dibuat." Skripsi yang ditunjukkannya tentang pembinaan lembaga pemasyarakatan wanita. Apa dia tak takut bahwa kini skripsi aspal sedang disorot? "Saya tidak menyontek, semua berasal dari sini," katanya sambil menepuk keningnya. "Saya ini menolong orang. Membuat orang senang itu susah, lebih gampang membuat orang susah," kata sarjana muda yang kini mengaku sedang menyelesaikan 4 skripsi untuk 4 mahasiswa dari sebuah universitas swasta di Surabaya. Lalu bagaimana pabrik skripsi mencari langganan? Sejauh yang bisa dilacak oleh TEMPO ternyata kios-kios pengetikan dan penjilidan skripsi punya peranan. Tak semua tentu, dan mereka pun tak begitu saja percaya kepada yang datang mencari tahu di mana bisa pesan skripsi. Ada kesan, mereka yang terlibat -- pembuat, langganan, dan perantara -- sudah tahu sama tahu: tutup mulut. Agaknya "penipuan ilmiah" ini -- istilah yang diberikan oleh Menteri P & K Fuad Hassan -- dilakukan oleh orang yang cukup berilmu, tapi yang tingkat kejujurannya tipis. Bila selama ini tak terungkapkan, mungkin karena perhatian masyarakat memang baru-baru ini saja diberikan. "Soal skripsi sontekan atau yang dibikinkan orang lain sudah ada sejak zaman dulu, tapi kurang ditanggapi," kata Harsja Bachtiar, dosen di FS UI yang kini menjadi Kepala Badan Penelitian dan Pengembangan Pendidikan dan Kebudayaan Departemen P & K. "Mungkin karena orang tak percaya, hal yang memalukan ini terjadi juga di perguruan tinggi," tambah Harsja. Tapi mengapa ini semua bisa terjadi? Yang pertama-tama mesti dituding adalah dosen pembimbing, kata Sukadji Ranuwihardja, Dirjen Pendidikan Tinggi. "Dengan bimbingan yang benar, skripsi jiplakan tak akan terjadi," kata Sukadji pula. Pendapat ini tampaknya kini populer, dan masuk akal. Menurut Mohammad Sardja dekan Fakultas Ilmu Pendidikan IKIP Jakarta, bila sebuah skripsi mulai menampakkan penyimpangan, dosen pembimbing harus segera curiga. Umpamanya, bila pada awal-awal bab mahasiswa seret tulisannya tapi kemudian menjadi lancar, kata dekan yang telah 10 tahun jadi dosen pembimbing ini, harus cepat diusut. Ketua Jurusan Sejarah Unpad, Edi S. Ekadjati, menuturkan hal lain. Bila pembimbing hanya mengonsentrasikan perhatian pada koreksi titik koma pada salah ejaan dan teknis pengetikan, besar kemungkinan skripsi asli tapi palsu lolos. Dan inilah cerita seorang alumnus Fakultas Ekonomi angkatan 1979, yang kini bekerja di sebuah perusahaan swasta. Dosen pembimbingnya, mungkin karena sibuk, lebih suka memeriksa skripsi yang telah selesai seluruhnya tidak dari bab ke bab. Draf yang diserahkan dijanjikan akan selesai diperiksa seminggu kemudian. Benar, seminggu kemudian draf sudah dicoret-coret, yang, menurut mahasiswa ini, lebih bersifat koreksi titik koma. Ketika ia menyerahkan skripsi yang telah diketik ulangnya, sang dosen meminta dia datang seminggu lagi. Tapi, pada hari yang dijanjikan, dosen itu bilang, skripsi belum selesai dia periksa, karena belum ada waktu. Beberapa kali kemudian hal "belum ada waktu" itu terulang. Akhirnya, suatu hari, setelah menunggu si dosen menemui tamunya, mahasiswa ini diterima. Hari batas waktu sidang skripsinya memang sudah dekat. Eh, ternyata baru kali itu skripsi itu dibaca, di hadapan si calon sarjana itu sendiri. Dosen itu memeriksa skripsi seperti membeli buku di toko buku: melakukan skipping sekadar untuk mengetahui isi garis besar. Dan sepuluh menit kemudian ia meng-acc-nya. Bayangkanlah seumpama ini skripsi aspal. Jadi, haruskah dosen pembimbing kini dituding sebagai biang skandal skripsi? Ada yang membela. Ibrahim Alfian, Dekan Fakultas Sastra UGM, mengingatkan hal yang berkaitan dengan bimbingan skripsi. "Imbalan bagi dosen pembimbing, yang biasanya harus menyisihkan waktu beberapa hari membaca skripsi dan memberikan bimbingan, difakultas saya cuma Rp. 10.000," tuturnya. Mungkin imbalan itu tak sebanding dengan tenaga dan pikiran yang digunakan, hingga dosen tersebut ogah-ogahan. "Masalah ini kaitannya luas, jangan main tuding," kata Alfian. Di samping itu, masih ada data lain yang menarik. Ini dikatakan oleh Sidharto Pramoetadi, Direktur Pembinaan Sarana Akademis. Dari sekitar 29.000 dosen perguruan tinggi negeri, yang punya kualifikasi menjadi dosen pembimbing tak lebih dari 4.000 orang. Bila tiap tahun sekitar 50.000 mahasiswa membutuhkan bimbingan skripsi, apa yang terjadi? Seorang dosen akan membimbing rata-rata 12 mahasiswa. Itu berat karena, idealnya, menurut Dirjen Pendidikan Tinggi -- yang belum lama ini mengeluarkan edaran agar perguruan tinggi negeri dan swasta memperhatikan hal bimbingan skripsi -- seorang dosen selama satu semester paling banyak membimbing 5 mahasiswa. Ada yang usul, bagaimana kalau skripsi ditiadakan saja. Tapi ada yang cepat menolak kemungkinan ini, yakni tak lama dan tak bukan Menteri P & K Fuad Hassan. Ia, sebagai guru besar di Fakultas Psikologi UI sudah membimbing banyak skripsi, menganggap tetap perlu ada keharusan menulis yang serius bagi mahasiswa, "entah bentuknya bagaimana." Akan halnya skandal skripsi ini, psikolog ini menduga, "Ini soal mental orang-orangnya, dan bukan gejala umum, jangan digeneralisasikan." Soalnya yaitu, "bila dasarnya memang mau menipu, apa pun rintangannya, ya, akan dilakukan," tambah Fuad. Tapi ia, juga beberapa tokoh perguruan tinggi yang diwawancarai TEMPO, gembira dengan perhatian masyarakat kini. "Ini akan mencegah melebarnya wabah pemalsuan skripsi-itu," kata Harsja Bachtiar. Mungkin, pada mulanya adalah hasrat menolong. "Biasa, mahasiswa atau yang sudah jadi sarjana, kemudian menolong sedikit atau banyak pembuatan skripsi temannya," tutur Fuad. Tapi bila kemudian ia pun menolong merumuskan kesimpulan, dan mendapatkan imbalan, barangkali inilah jalan menuju bisnis skripsi. Dan sungguh mencemaskan bila sampai kini tak terungkapkan secara gamblang. Entah pemalsu begitu piawai (tapi bermental tidak jujur), entah nilai-nilai dalam masyarakat -- termasuk di perguruan tinggi memang sudah berbeda. Belum lagi masalah lain. Ini termasuk kriminalitas atau bukan. Berapa persen bagian yang dibuatkan orang lain hingga skripsi boleh disebut aspal. Bagaimana pula membuktikan kecurangan ini bila ternyata skripsi itu telah disetujui pembimbing dan penguji. Barangkali diskusi di Unpad akan memberikan jawabnya, hingga tak perlu ditanyakan pada bambu yang bergoyang. Bambang Bujono Laporan Biro-Biro

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus