Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Film

Tiga Wanita Garin

Kisah hidup perempuan dalam bingkai pementasan Calonarang. Tak seeksperimental Opera Jawa, tapi bisa dinikmati lebih banyak orang.

15 Desember 2008 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

UNDER THE TREE (2008)
Produksi: Oro-oro Film Arts dan SET Film Workshop
Sutradara: Garin Nugroho
Penulis Skenario: Armantono
Pemain: Marcella Zalianty, Nadia Saphira, Ayu Laksmi, Ikranagara

APA yang membuat Garin Nugroho dicintai para penggemar film festival? Salah satu alasan adalah kemampuannya meleburkan elemen tradisional ke dalam kehidupan modern. Ia berhasil ”menjual” detail-detail kekayaan alam dan budaya Tanah Air sebagai pengikat cerita—bukan sekadar tempelan—dalam film-filmnya. Banyak yang menikmati, tak sedikit yang berkerut kening saat menyaksikan film-film karyanya.

Bagaimana dengan Under The Tree, yang diputar perdana di Jakarta International Film Festival akhir pekan lalu? Alkisah tersebutlah tiga wanita: Maharani, Nian, dan Dewi. Mereka hidup dalam dunia yang berbeda dan tak saling mengenal. Maharani (Marcella Zalianty) anak angkat yang merasa dibuang ibu kandungnya. Nian (Nadia Saphira) artis belia anak seorang koruptor. Dewi (Ayu Laksmi) wanita hamil yang menolak menggugurkan kandungan meski tahu sang bayi akan lahir cacat dan kemungkinan besar meninggal begitu dilahirkan.

Ketiganya dipersatukan oleh Bali. Di sanalah mereka menghamparkan kegundahan. Maharani menyelusup ke kelompok penari di pelosok demi menemukan makna keibuan. Alih-alih mendapatkan jawaban, ia dicokok polisi karena diduga terjebak jaringan perdagangan bayi.

Dalam kekecewaannya, Nian menemukan sosok ayah pada diri Darma (Ikranagara), seniman yang memilih menjadi jenazah dalam pementasan Calonarang. Sedangkan Dewi membungkus kesedihannya dengan tembang-tembang tradisional Bali. Peran ini mengantar Ayu Laksmi, pemeran Dewi, sebagai salah satu nomine Pemeran Utama Wanita Terbaik Festival Film Indonesia 2008, yang diumumkan pekan lalu.

Namun film ini bukan sekadar kisah kepiluan hati. Garin lagi-lagi memamerkan kekuatannya: mengawinkan budaya lokal dalam persoalan global. Hal yang sama dilakukan Garin di film-film sebelumnya, seperti Daun di Atas Bantal, tempat ia memotret anak-anak jalanan Yogyakarta yang doyan ngelem. Pada Puisi Tak Terkuburkan, ia menggunakan didong sebagai media untuk menuturkan kisah Aceh di masa berstatus daerah operasi militer. Dalam film Aku Ingin Menciummu Sekali Saja, ia memakai budaya Papua—termasuk tarian kepala burung yang terkenal—untuk melukiskan persoalan kehidupan keluarga yang ayahnya dituduh pemberontak.

Meleburkan detail alam dan budaya lokal ke dalam persoalan keseharian adalah kekuatan dan ciri khas Garin. Dalam Under The Tree, ketiga perempuan hanyalah media untuk menceritakan sesuatu yang lebih besar ketimbang persoalan hati.

Memang, film ini tidak seeksperimental Opera Jawa, yang mencampuradukkan unsur sinema, seni instalasi, dan tari dalam satu layar—dan membuat dunia seni internasional ”menobatkan” Garin bukan hanya sebagai sineas, tapi juga seorang perupa.

Namun film ini tetap memberi jejak Garin. Ia berhasil mengawinkan serpihan budaya lokal dalam bingkai kehidupan sehari-hari. Pergulatan batin para perempuan ini secara simbolis dituangkannya dalam adegan Calonarang—seni pertunjukan tradisional Bali yang sakral dan belakangan banyak ditafsirkan oleh para intelektual sebagai kisah yang ”feminis”—di Pura Puseh Tegalsuci di Gianyar. Mungkin juga, seperti biasa, cerita Garin kali ini tak semulus dan tak sesederhana film dia yang lebih bertutur, Rindu Kami Padamu.

Detail alam dan budaya Bali dipakai untuk menggambarkan persoalan tiga perempuan itu. Ombak yang menderum-derum di pantai, sendratari yang dikerubuti penduduk lokal, serta turis yang berkeliaran. Ia memanfaatkan kemampuannya sebagai sineas film dokumenter untuk meracik adegan-adegan berlatar indah. Penonton yang tak mau bersusah payah memikirkan tafsir simbol-simbol tetap bisa tertarik menyaksikan keindahan Bali dari sudut yang berbeda.

Andari Karina Anom

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus