Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
State Terrorism and Political Identity in Indonesia: Fatally Belonging Penulis : Ariel Heryanto Penerbit: Routledge, London, 2006 Tebal : 242 hlm
Ada terorisme swasta, ada -te-ror-isme negara. Dan Ariel- Her-yanto—dosen senior di Mel-bourne Institute of Asian Lan-guages and Societies—dalam bu-kunya, State Terrorism and Poli-tical Identity in Indonesia: Fatally Belonging, mengupas yang kedua.
Sebenarnya, untuk mencipta-kan- identitas sebuah negara stabil-, Indo-nesia di bawah Soeharto, misal-nya, mempunyai undang-undang antisubversi. Tapi itu saja tak cukup. Serangkaian kampanye di-sponsori negara untuk mencipta-kan dan mengembangkan teror terhadap warganya. Dan skenario yang berangkat dari penanaman rasa ngeri itu pun bergerak.
Korban—kelompok atau pribadi- tertentu—(dianggap) mewakili- kelompok yang lebih besar. Kekerasan sengaja dipamerkan dan disiarkan berulang-ulang untuk melestarikan rasa takut dan saling curiga. Selanjutnya masyarakat sen-diri menyebarkan kisah horor itu, yang kadang-kadang juga di-tambah-tambahi, yang pada gi-lir-an-nya akan menakutkan mereka juga.
Ariel mengakui konsep ”negara” itu sendiri bermasalah. Ia menggunakan pengertian Weber: a system of authori-ty that has legitimate monopoly over institutionalized violence in a given territory. Ia memodifikasi istilah ini dengan konsep neo-Marxis mengenai hegemoni, juga menambahkan aspek internasional seperti militer di Indonesia era Orde Baru yang mendapat dukungan Amerika Serikat.
Ariel juga menunjukkan terorisme negara tak hanya terjadi pada negara komunis, sosialis, dan otoriter. Negara yang menganut paham ”demokrasi liberal”, termasuk AS, terutama sejak 1980-an melakukannya. Perbedaannya hanya pada ruang lingkup, intensitas, lama, dan gaya.
Tapi State Terrorism and Political Identity in Indonesia: Fatally Belonging berbicara tentang kasus Indonesia. Selama masa Orde Baru, berbagai kelompok masyarakat telah menjadi korban seperti preman (kasus pembunuhan misterius 1980-an) dan kelompok Islam (kasus Woyla, Tanjung Priok, dan Talangsari). Namun, teroris-me yang paling lama dan paling intensif adalah teror terhadap mereka yang dianggap terlibat peristiwa 1965.
Diawali dengan pembantaian se-tengah- juta (menurut penulis buku ini sekitar satu juta) dan penahanan ratusan ribu orang lainnya, pencabut-an paspor warga Indonesia di luar ne-geri pasca-1965, pembuangan ke Pulau Buru (1969-1979), dilanjutkan de-ngan pemberian stigma terhadap korban 1965 dan keluarganya. Pada 1981, dikeluarkan Peraturan Menteri Dalam Negeri yang melarang mereka dan keluarga untuk menjadi pegawai negeri, anggota militer dan polisi, dan jabatan strategis lainnya di masyarakat.
Buku ini memperlihatkan pe-nguasaan penulis terhadap teori mutakhir dan kemampuan analisis- yang mendalam, sungguh pun terkesan ia sangat berhati-hati menarik kesimpulan. Paling sedikit ada dua aspek yang dapat didiskusikan lebih lanjut, yaitu keterkaitan terorisme dengan dukung-an kelompok masyarakat dan ko-neksi antara terorisme dan kapi-talisme.
Untuk kasus 1965, terorisme negara itu tidak hanya dilakukan aparat, tapi juga didukung oleh kelompok masyarakat. Mereka men-jadi ”pelaku” dalam peristiwa- 1965, meski juga menjadi ”korban” dalam periode berikutnya. Akar konflik ini tentu bisa ditelusuri pada periode setelah Indonesia merdeka (peristiwa Madiun 1948, rivalitas politik dalam Pemilu 1955, aksi sepihak PKI, dan seterusnya). Di Aceh, Jenderal Ishak Juarsa meminta pendapat ulama setelah meletus G-30-S. Ulama Aceh mengeluarkan fatwa bahwa ”aliran komunisme haram dan anggota partai ini kafir” (prasaran Tgk Abdullah Ujong Rimba, 1965). Fatwa senada juga dikeluarkan oleh Muhammadiyah, November 1965 (makalah Hasan Ambary, 2001).
Alhasil, inilah buku yang dapat dijadikan model tentang keseimbangan antara teori-teori sosial mutakhir dan analisis berbasis empiris untuk mengkaji sebuah peristiwa yang mengubah sejarah Indonesia.
Dr Asvi Warman Adam, ahli peneliti utama LIPI
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo