Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Arya Gunawan
Naudzubillah, tak ada ke-untung-an apa pun yang saya ambil dari surat itu. Saya kenal pun tidak dengan PT hantu belawung mana itu?” Kutipan ini terdapat di rubrik Album, majalah Tempo edisi 27 Februari-5 Maret 2006. Sekretaris Kabinet Sudi Silalahi yang mengucapkannya di hadapan Komisi Pemerintahan DPR, terkait de-ngan suratnya ”mempromosikan” PT Sun Hoo Engineering untuk merenovasi gedung Kedutaan Besar RI di Seoul. Sudi sendiri membantah jika dikatakan ia ingin memetik keuntung-an pribadi dari surat tersebut.
Tulisan ini ingin mengusut istilah hantu belawung dari Sudi itu. Ia menarik, antara lain, karena fakta-fakta- berikut. Di edisi yang sama, dalam laporan utamanya, Tempo menuliskan-nya dalam bentuk yang tak serupa. Kutipannya: ”Hingga detik ini, saya tidak pernah mengenal, menemui-, apalagi memberi rekomendasi kepada- perusahaan hantu brau itu (yang dimaksud adalah Sun Hoo).” Lalu, sang ”hantu” ini dikutip oleh Koran Tempo-, 24 Februari 2006, di halaman muka, dalam penampakan yang berbeda pula, yakni: ”Naudzubillah min dzalik. Tidak ada keuntungan apa pun yang saya ambil dari surat itu. Saya kenal pun tidak dengan PT Hantu Belau mana itu.”
Mengapa sebuah istilah yang diucapkan oleh orang yang sama, untuk masalah yang sama, dikutip dalam tiga versi berbeda? Mana yang benar? Walau saya tak sempat mendengarkan- saat Sudi mengatakan hal itu, saya se-penuhnya yakin bahwa- yang di-mak-sud- adalah hantu blau (bisa juga di-tulis sebagai belau seperti di-kutip- Koran Tempo). Mengapa majalah Tempo keliru? Kemungkinannya adalah sang reporter tidak cermat mendengarkan; sang wartawan yang menuliskannya dan sang redaktur bahasa yang memeriksanya tidak memiliki rujuk-an tentang istilah tersebut. Sayangnya, Tempo yang majalah tak berdiskusi dengan saudaranya, Tempo yang koran.
Istilah hantu blau dipakai cukup luas, sejak dulu, di sebagian kawasan pesisir timur Sumatera, mulai dari Sumatera Utara (tempat asal Sudi), Riau, Jambi, hingga Sumatera Selatan. Istilah ini adalah ungkapan terhadap sesuatu yang tak disukai, berupa- keada-an ataupun individu. Bukti bahwa- istilah ini dipakai luas dapat dili-hat dari penelusuran lewat mesin pen-cari- di Internet. Masukkan kata hantu blau, maka akan muncul ratusan tu-lisan yang memuat istilah ini.
Dari mana asal-mu-asal hantu- blau-? Saya belum mendapatkan penjelasan yang sa-hih dan memuaskan. Namun, kuat dugaan bahwa kata ”blau” yang bergandeng dengan ”hantu” dalam istilah ini bera-sal dari blau, bahan kimia ber-upa bubuk warna biru yang dulu lazim dipakai untuk mencuci sebelum bubuk detergen populer. Blau sendi-ri- dalam beberapa bahasa asing berarti biru. Bubuk blau juga dipercaya para orang tua zaman dulu dapat -me-ri-ngan-kan penyakit gondong (Paro-titis epidemika), yang disebabkan oleh virus- dan menyerang kelenjar di se-kitar bagian bawah wajah. Bubuk- ini di-campur air, lalu dilaburkan ke se-kitar- leher dan sisi tulang rahang pen-de-rita, sehingga tampilan si penderita- lumayan seram. Bisa saja dari sini lahir-lah istilah hantu blau.
Sejumlah penutur bahasa Melayu dari pesisir timur kawasan Sumatera pu-nya argumentasi spekulatif yang le-bih sederhana. Menurut mereka, istilah- ini lahir sebagai cetusan spontan- yang enak didengar, mirip kelahiran kata-ka-ta sontoloyo, ontohot-, somlehoy, se-mok, lher, dan sejenisnya.
Kamus, yang semestinya bisa jadi pan-duan, ternyata juga tak memberi ja-wab. Kamus Besar Bahasa Indonesia- (KBBI), misalnya. Di bawah entri (lema) hantu, istilah ini tak terjumpa-. Yang ada hanya hantu beliau (hlm. 387), dengan makna ”harimau yang sakti”. Entah dari mana tim penyusun- kamus mendapatkan penjelasan ini. Besar kemungkinan, ada pro-ses salah dengar juga di sini sehingga blau berubah menjadi beliau. Sedangkan di ba-wah en-tri blau (hlm. 126), dijumpai- tiga makna, masing-ma-sing ”tepung ber-warna biru”, ”sejenis ikan laut” (selangat belau, atau Dorosoma nasus), dan ”mengaburkan mata, membuat pemandangan berkunang-kunang”. Jika hendak dicari-cari, pengertian terakhir ini terasa agak dekat dengan makna hantu blau yang sesungguhnya.
Dua hal penting mencuat dari kasus- hantu blau ini. Pertama, betapa KBBI masih menyisakan sejumlah pekerja-an rumah. Adalah sesuatu yang agak tidak masuk akal bahwa istilah yang sudah dikenal lama dan digunakan cukup luas ini ternyata tidak tertera di KBBI. Kedua, betapa pentingnya dalil cek dan recek bagi wartawan. Jika tak yakin dengan sesuatu, lakukanlah pengecekan ulang kepada sumber yang mengucapkan, atau tanya ke-pada sumber yang tahu.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo