Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Ringkasan Berita
Galeri Salihara menggelar pameran karya Kartono Yudhokusumo, yang dikenal sebagai Bapak Seni Lukis Dekoratif Modern Indonesia.
Melukis realisme sejak 1930-an, Kartono turut mempelopori seni lukis dekoratif pada akhir 1940-an.
Tidak sepopuler maestro lain, seperti Affandi dan Soedjojono, karena meninggal muda pada usia 33 pada 1957, saat publik belum kental mengenal seni rupa.
Deretan lukisan di Galeri Salihara, Jakarta Selatan, itu seperti menceritakan perjalanan hidup penciptanya, Kartono Yudhokusumo (1924-1957). Dia memang tidak sepopuler Affandi, Basoeki Abdullah, dan Soedjojono, tapi Kartono dikenal sebagai Bapak Seni Lukis Dekoratif Modern Indonesia. Dialah yang turut mempelopori lukisan yang bermain dengan aneka warna dan gubahan bentuk obyek.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
“Pada zamannya, 1950-an, orang tidak melukis dekoratif. Melukis kok warnanya cerah-cerah, daun ada yang kuning, merah, biru. Tidak semua pelaku seni berani. Nah, Pak Kartono ini berani membawa warna-warna itu,” ujar pelukis sekaligus Ketua Komunitas Seniman Borobudur Indonesia 15, Umar Chusaeni, kepada Tempo, Selasa, 12 Desember 2023.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Satu mahakarya Kartono adalah Melukis di Taman yang menjadi koleksi Museum Galeri Nasional Indonesia sejak 1995. Saat Tempo mengunjungi pameran Kartono Yudhokusumo di Galeri Salihara, lukisan itu terpajang di sisi kanan dinding, tidak jauh dari pintu masuk. Lukisan itu dipinjam untuk sementara sampai pameran selesai pada 21 Januari 2024.
Prilla, pengunjung, menatap cukup lama lukisan Melukis di Taman. “Ini lukisan yang paling kompleks, menurutku. Terlebih pada tahun itu, ya,” kata perempuan 25 tahun itu. Ia mengaku tidak begitu mengerti seni lukis, tapi dia mendapat gambaran betapa besarnya bakat Kartono yang mulai melukis di usia belasan tahun itu.
Karya yang berjudul Melukis di Taman. TEMPO/Hilman Fathurrahman W.
Melukis di Taman termasuk satu di antara sedikit lukisan Kartono yang berukuran besar, 90 x 55 sentimeter, dengan sentuhan banyak warna. Sang maestro menggambarkan secara detail nuansa alam dan perempuan-perempuan Jawa yang dibalut kebaya aneka warna. Pohon kelapa dan pisang digoreskan oleh Kartono tanpa memperhatikan bentuk serta warna alaminya. Setiap garis di helai daun dan motif baju tampak ditonjolkan dengan warna merah, hijau, biru, kuning, serta ungu.
Lukisan ini pernah diikutsertakan dalam pameran seni rupa Konferensi Asia-Afrika di Bandung, Jawa Barat, pada 1955. Melukis di Taman juga dijadikan sampul Majalah Budaya yang digunakan Kementerian Pendidikan sebagai laporan publik soal keikutsertaan Indonesia dalam pameran Sao Paulo Biennial kedua pada 1953.
Dengan capaian setinggi itu, mengapa nama Kartono relatif jarang terdengar? Menurut Umar Chusaeni, hal itu tak lepas dari umur Kartono yang terlalu singkat. Dia berpulang akibat kecelakaan lalu lintas di Bandung pada 1957 dalam usia 33 tahun. “Ia meninggal sebelum seni rupa dikenal luas pada 1980-an,” ujar Umar.
Sejatinya, Kartono baru menjalankan gaya dekoratif belakangan. Sebelum dan masa awal kemerdekaan, dia lebih banyak menggeluti seni lukis realisme. Dia lebih sering melukis di kanvas berukuran A5 dan tidak mengambil banyak obyek. Contohnya adalah lukisan kamar pribadinya, yang diberi judul Kamarku. Ia melukisnya dengan tinta Cina bercorak hitam-putih. Digambarkannya sebuah kelambu di atas dipan sebagai penghalau nyamuk. Di sudut ruangan, tersusun meja dan alat lukisnya.
Kurator Galeri Salihara, Asikin Hasan, mengatakan bakat seni lukis yang dimiliki Kartono menurun dari sang ayah, Marsudi Yudhokusumo, yang bekerja sebagai guru seni lukis. Pada usia 10 tahun, dia sudah mahir melukis dengan tinta dan cat air. “Kartono juga belajar dari pelukis Jepang, Chiyoji Yazaki, dan Soedjojono," kata Asikin.
Meski Kartono hidup di era Revolusi Fisik, Asikin melanjutkan, lukisan-lukisannya tidak berlatar belakang perang. Dia lebih senang mengabadikan kegiatan sehari-hari. Misalnya, lukisannya yang menggambarkan suasana Kota Batavia pada 1930-an yang masih dilengkapi trem. Bakatnya yang menonjol membawanya ke pameran tunggal 43 lukisan yang disponsori Poesat Tenaga Rakyat atau Poetra—organisasi politik bentukan Jepang dengan pimpinan Bung Karno, Bung Hatta, Ki Hadjar Dewantara, dan KH Mansoer—di Jakarta pada 1943. Saat itu dia baru berusia 19 tahun dan masih berstatus siswa sekolah lanjutan.
Dosen seni rupa Institut Teknologi Bandung, Danuh Tyas Pradipta, mengatakan perubahan aliran lukisan Kartono dari realisme ke dekoratif terjadi pada sekitar 1940-an. Menurut dia, karya seni dekoratif milik Kartono memiliki gaya yang khas, berbeda dari pelukis dekoratif lain. Ia mencontohkan lukisan karya Widayat dan Abas Alibasyah yang lebih menonjolkan ornamen tertentu. “Kalau Kartono lebih seperti motif kain, ya,” katanya.
Karya berjudul Pemandangan. TEMPO/Hilman Fathurrahman W.
Profil Pelukis Kartono Yudhokusumo
Lahir di Lubuk Pakam, Sumatera Utara, pada 1926, Kartono Yudhokusumo kecil tumbuh sembari mewarisi bakat sang ayah, Marsudi Yudhokusumo, dalam bidang seni rupa. Dalam pencarian jati dirinya, selain berguru kepada sang ayah, Kartono belajar dari seniman berkebangsaan Belanda dan Jepang, khususnya saat ia pindah ke Batavia bersama sang ayah. Di antara guru-guru yang mempengaruhi gaya lukisnya adalah Willem F.M. Bosschaert, Rutgers, T. Akatsuka, Ernest Dezentje, dan Charles Sayers. Ia mulai dikenal luas oleh publik seni Hindia Belanda saat itu setelah menggelar pameran tunggal pertamanya pada 1943, yang didukung oleh Poetra.
Kartono juga dikenal suka berkelana, termasuk ke Bali, Yogyakarta, dan Bandung. Tepat pada tahun kemerdekaan Indonesia, ia mempersunting Nurnaningsih dan dikaruniai putri bernama Karti Yudaningsih. Ia juga mendapat beasiswa dari Ford Foundation untuk memperdalam pengetahuannya ke Amerika Serikat. Sayang, sebelum keberangkatannya pada Juli 1957, di tengah kariernya yang bersinar, Kartono mengalami kecelakaan dan meninggal di Bandung.
JIHAN RISTIYANTI
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo