Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
KURSI-KURSI lipat nan empuk berwarna merah di depan panggung Stage Jurusan Teater Institut Seni Indonesia (ISI) Yogyakarta dibiarkan melompong. Pertunjukan itu hanya membatasi 19 orang sekali menonton di atas panggung. Mereka duduk di kursi yang disusun melingkar sekaligus menjadi pembatas panggung. Mereka duduk membelakangi tiga aktor yang melakukan pertunjukan di tengah lingkaran. Penonton dipaksa menonton cermin retak yang digantung di depan mereka.
Lewat pukul 19.19, pertunjukan hari terakhir dimulai. Panggung yang gelap oleh kain-kain hitam yang dibentangkan melingkar mendadak benderang. Setiap penonton diminta membuka halaman 19 buku yang mereka bawa dan membacanya. Panggung riuh oleh suara semua penonton yang membaca bukunya. Beda judul buku, beda narasi cerita. Peristiwa ini disaksikan seorang aktor berdandan perempuan setengah baya dan memakai tutup kepala. Dia duduk di tengah lingkaran dengan segenap perkakas dapur, termasuk kompor gas.
Hening sejenak, lampu di atas kepala para penonton kemudian padam. Meninggalkan cahaya redup di tengah lingkaran. “Potong kulitnya… potong kulitnya… potong kulitnya sekarang juga… sekarang juga… sekarang juga….”
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Ia menyanyikannya seperti nada lagu potong kue ulang tahun. Nyanyian perempuan tua itu terdengar pelan dengan tempo perlahan. Ia terus mengulangnya dengan makin keras dan tempo cepat sembari berjalan berkeliling. Hingga ia tertawa terbahak-bahak sambil mengacungkan setangkup daun sawi.
“Selalu ada keajaiban-keajaiban kecil. Terima kasih, Tuan Pelindung!” ia berseru, lalu tertawa. Pisau besarnya mencincang sawi itu menjadi kecil-kecil. Ia menggorengnya dengan campuran bumbu. Wajahnya girang terhindar dari kelaparan.
Begitulah sepenggal adegan pertunjukan di hari terakhir pementasan berjudul Hal-19: Wajah Pecah Sejarah Indonesia Modern oleh Teater Kalanari. Pertunjukan ini digelar tiga hari berturut-turut pada 17-19 September 2022. Pertunjukan tiga malam itu merupakan rangkaian pementasan Halaman 19 yang dimulai pada 2020 di Jakarta, lalu Bali. Angka 19 mengacu pada momentum pagebluk Covid-19.
Di Yogyakarta, pertunjukannya diambil dari narasi halaman 19 buku Sejarah Indonesia Modern: 1200-2008 karya Merle Calvin Ricklefs. Inti halaman 19 buku itu adalah penyebaran agama dan kemunculan nabi-nabi baru. ”Ini pentas eksperimen,” kata penulis teks dan sutradara, Ibed S.Yuga, kepada Tempo malam itu.
Dari adegan potong sawi datanglah perempuan muda dengan celana jins sobek compang-camping. Menyeret karung goni besar yang tampak berat, ia sempat senang melihat perempuan tua itu memasak. Tapi raut mukanya mendadak sendu lantaran tak bisa membedakan bau manusia dan bangkai. Ia lupa akan aroma bumbu, kaus kaki, dan celana dalam. Juga aroma dinding rumah dan bau ketiak sendiri. Gejala ini seperti mengingatkan ketika seseorang terinfeksi virus Covid-19 dan tak mampu menghidu sesuatu.
“Engkau di mana, Tuan Pelindung? Mengapa engkau biarkan kami seperti ini!” ia berteriak galau.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Karung goni itu menggeliat. Sosok berbadan besar dan berkepala pelontos keluar. Berwajah lugu dan tampak bloon, ia tak diakui kehadirannya dalam komunitas kecil itu. Sebabnya, ia mempertanyakan Tuan Pelindung yang diagung-agungkan tersebut. Mereka membincangkan seseorang yang datang dari barat dan dianggap sebagai orang suci.
“Orang asing kok disucikan?” kata si plontos sambil menggaruk-garuk paha.“Dia punya kekuatan gaib. Sebuah kitab sejarah, sejarah yang disucikan, sejarah tak boleh kotor! Dia datang membawa obat dan agama,” ujar perempuan muda bercelana jins itu. Si gundul mengejeknya. Ia mengaku banyak membaca sejarah, tapi menurutnya banyak sejarah yang jorok. Si perempuan muda naik darah dan memotong tangan si plontos.
Hening lagi. Hanya suara musik menyayat yang terdengar. Si plontos berkeliling untuk mengangsurkan wadah berisi kertas-kertas undian. Setiap penonton mengambil, membuka, membaca, dan mengikuti petunjuknya. Mereka berdiri dan membalik badan untuk menghadap ke tengah lingkaran. Seorang penonton maju dan membacakan naskah halaman 19 dari buku yang dibawanya. Buku Bajingan Tengik, Luka Socrates, dan Kisah-kisah Lainnya karya Bertolt Brecht.
Lalu separuh adegan perempuan tua, perempuan muda, dan si lugu diulang. Dimulai dengan adegan perempuan muda yang mengagungkan Tuan Pelindung yang diganti namanya menjadi Badar, sesuai dengan nama halaman 19 buku milik penonton tadi.
“Badar itu suci. Kesuciannya absolut!” sang perempuan muda berteriak. Kemudian si lugu menyangsikan lagi. “Lebih suci jurang. Aku anaknya,” ujar si lugu. Lalu lepaslah kepalanya karena dipenggal si perempuan muda. Panggung pun gelap.
Pertunjukan ini memberi pengalaman unik bagi penonton. Pertunjukan ini baru lantaran penonton menyaksikan adegan demi adegan melalui refleksi cermin retak mereka. Adegan demi adegan bisa jadi dilihat berbeda oleh mata setiap penonton. Lantaran sudut pandangnya berbeda. Efek cermin retak membuat bentuk yang dilihat tampak tak utuh, meleyot-meleyot.
Beberapa dari penonton menggoyang-goyangkan cerminnya agar dapat melihat semua adegan dengan utuh. “Agak pusing. Akhirnya cermin saya biarkan. Saya yang bergerak,” kata Robby, salah satu penonton, selepas pertunjukan, Senin, 19 September lalu.
Pementasan Teater Kalanari berjudul “Hal-19: Wajah Pecah Sejarah Indonesia Modern” di Stage Jurusan Teater ISI Yogyakarta, 19 September 2022. TEMPO/Pito Agustin Rudiana.
Selebihnya, penonton menajamkan telinga dan indra penciuman untuk menikmati pertunjukan. Bagi penonton lain, Cindy, cermin itu membatasi penonton untuk melihat adegan demi adegan. Tubuh penonton yang membelakangi penampil pun turut membatasi cara menonton. Lucunya pula, pertunjukan berdurasi 40-an menit tersebut membuat seorang penonton kehilangan orientasi. Selepas menonton, ia kesulitan membedakan mana sisi kiri dan mana kanan tubuhnya.
Tak hanya bagi penonton, para aktor pun merasakan sensasi pengalaman sendiri dengan model pertunjukan itu. “Ketika penonton membelakangi, justru rasanya ada jarak,” kata Imroatus Sholihah, pemeran sosok dungu, Gandez.
Pengalaman menonton yang berbeda itulah yang ingin dihadirkan oleh sutradara. Ibed ingin membuktikan bahwa menonton teater dengan cara itu membuat penonton mengalami pengalaman personal dalam menikmati teater. Mereka bisa melihat adegan di cermin dengan berbagai sudut pandang. Selanjutnya, narasi teater itu membawa penonton dalam ruang waktu yang sama, sebagai pertunjukan langsung dan bersama.“Pertanyaannya, kalau melihat pakai cermin, itu live show atau bukan, realitas atau bukan?” ujar Ibed.
Uniknya, pementasan Teater Kalanari di ISI Yogyakarta hanya butuh persiapan dua bulan. Diawali dengan penetapan karakter aktor, baru kemudian naskahnya. Mereka kemudian bersama-sama menentukan atmosfer yang akan dihadirkan di atas panggung. Termasuk improvisasi adegan para aktor yang muncul setelah salah satu penonton membacakan halaman 19 buku miliknya. Buku itu tentu tak mereka ketahui judul dan isinya. “Jadi para pelaku (aktor) harus mendengarkan, meski kadang suara penonton yang membaca tak jelas terdengar,” ucap Ibed.
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo