Baca berita dengan sedikit iklan, klik disini
KURSI-KURSI lipat nan empuk berwarna merah di depan panggung Stage Jurusan Teater Institut Seni Indonesia (ISI) Yogyakarta dibiarkan melompong. Pertunjukan itu hanya membatasi 19 orang sekali menonton di atas panggung. Mereka duduk di kursi yang disusun melingkar sekaligus menjadi pembatas panggung. Mereka duduk membelakangi tiga aktor yang melakukan pertunjukan di tengah lingkaran. Penonton dipaksa menonton cermin retak yang digantung di depan mereka.
Lewat pukul 19.19, pertunjukan hari terakhir dimulai. Panggung yang gelap oleh kain-kain hitam yang dibentangkan melingkar mendadak benderang. Setiap penonton diminta membuka halaman 19 buku yang mereka bawa dan membacanya. Panggung riuh oleh suara semua penonton yang membaca bukunya. Beda judul buku, beda narasi cerita. Peristiwa ini disaksikan seorang aktor berdandan perempuan setengah baya dan memakai tutup kepala. Dia duduk di tengah lingkaran dengan segenap perkakas dapur, termasuk kompor gas.
Hening sejenak, lampu di atas kepala para penonton kemudian padam. Meninggalkan cahaya redup di tengah lingkaran. “Potong kulitnya… potong kulitnya… potong kulitnya sekarang juga… sekarang juga… sekarang juga….”
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo