Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Sihir lagu lagu itu seolah tak lekang oleh zaman. Penggemar Titiek Puspa pun membentang dari kalangan rakyat jelata sampai penghuni Istana. Maka rasanya tak salah bila menyebut nenek yang tetap cantik di usia 73 tahun ini sebagai salah satu legenda hidup musik di Tanah Air.
Di kalangan penyanyi yang lebih muda, dia dikenal pula sebagai senior yang bijaksana. Dua pekan lalu Suryani Ika Sari dan Ninin Damayanti dari Tempo mewawancarai Titiek Puspa. Dia menuturkan perjalanan karier, kisah cinta yang tak selalu bahagia, sampai kedekatannya dengan kalangan Istana.
Hari itu, 1 November 2010, menjadi karunia yang luar biasa buat saya. Tuhan masih memberi kesempatan bagi saya untuk merayakan ulang tahun yang ke 73. Saya bisa berkumpul dengan anak anak, menantu, cucu, serta kerabat. Kali ini saya tak membuat acara wah seperti tiga tahun lalu, saat menggelar konser "Karya Abadi Sang Legenda 70 Tahun Titiek Puspa".
Meski sederhana, ulang tahun kali ini terasa lebih bermakna. Saya bisa ber ha ha hi hi dengan anak, menantu, cucu, dan, cicit dengan bebas. Kali ini keluarga memang minta untuk merayakan secara khusus, tanpa tamu undangan. Mereka sering protes, tiap kali saya ulang tahun justru tersisih karena saya sibuk meladeni tamu.
Perayaan ulang tahun itu menjadi "hidup ketiga" buat saya dalam tiga zaman yang telah saya lewati. Seolah menjadi hidup baru, setelah saya berkutat dengan kanker rahim-penyakit yang sering dikatakan mematikan. Setahun saya berjuang untuk sembuh dari penyakit yang menurut vonis dokter di Rumah Sakit Mount Elisabeth, Singapura, itu sudah memasuki stadium tiga.
Semula saya sudah pasrah kepada Yang Di Atas. Kalau diberi kesembuhan, ya matur nuwun Gusti. Jika saya harus menghadap Gusti, ya monggo. Eh, kok, di tengah perjuangan saya melawan penyakit itu, ada yang memberitakan saya sudah meninggal. Tapi saya ambil hikmahnya, ternyata banyak orang yang cinta dan peduli terhadap saya.
Pengobatan di rumah sakit yang sangat melelahkan dan menyakitkan saya jalani, terutama saat menjalani kemoterapi. Rasanya seperti ada rantai kapal yang keluar dari alat vital saya. Sakit setengah mati. Gusti memang Mahabaik. Di tengah keputusan saya untuk kembali ke Indonesia, saya mendapat secercah harapan. Anak saya menyarankan pengobatan alternatif melalui meditasi di Hemaloka. Setelah meditasi selama 13 hari, dokter menyatakan saya clean dari kanker. Sebuah anugerah dan mukjizat dari Yang Di Atas buat saya.
Saya lahir di Desa Tanjung, Tabalong, Kalimantan Selatan, 1 November 1937. Bapak, Tugeno Puspowidjojo, saat itu sedang menjalani tugas sebagai mantri di sebuah rumah sakit Belanda di sana. Saya diberi nama Sudarwati.
Ibu saya, Siti Mariam, ikut ke mana saja Bapak bertugas, termasuk saat hijrah dari Surabaya ke Kalimantan Selatan pada pertengahan 1930 an itu, dengan membawa tiga anak yang masih kecil, kakak kakak saya: Sri Sumaryati, Soemarno Poespowidjojo, dan Sumartuti.
Belum genap saya berusia tiga bulan, Bapak harus hijrah ke Semarang. Bapak mendapat pekerjaan di Centraal Burgelijke Ziekenhuiz, yang sekarang berganti nama menjadi RSU Dr Karyadi. Di Semarang kami mendapat sebuah rumah semipermanen kombinasi tembok dan anyaman bambu yang berada di sebuah permukiman padat di Lempongsari, kawasan Gergaji, tak jauh dari Bergota.
Meski tinggal di rumah petak yang sempit, kehidupan kami cukup beruntung. Dengan gaji Bapak sebagai pegawai negeri, ibu bisa mencukupi kebutuhan pokok empat anaknya. Kami bisa makan tiga kali sehari. Ibu juga memiliki banyak perhiasan emas. Saya dan kakak kakak mendapat seperangkat perhiasan emas, kalung, giwang, dan gelang.
Waktu kecil, badan saya sangat ringkih dibanding dua kakak perempuan saya Mbak Mar dan Mbak Tut. Saya tak bisa bermain main dengan gesit seperti teman teman sebaya. Tubuh saya pucat dan kurus. Bicara saya lemah. Di usia 3 4 tahun saya terserang penyakit malaria.
Menurut kepercayaan orang Jawa, nama kerap kali memiliki pengaruh nasib bagi pemiliknya. Akhirnya, melalui upacara sederhana dengan bubur merah putih, nama saya diganti menjadi Kadarwati. Rupanya, penggantian nama itu belum manjur. Bapak kembali menggelar upacara. Nama saya disederhanakan menjadi Sumarti. Bukannya semakin sehat, badan saya malah kian ringkih. Penyakit tifus dan malaria semakin akrab dengan tubuh saya.
Saya tumbuh menjadi gadis yang murung dan pendiam. Saya tak bisa bermain main seperti anak anak lain. Untuk menghilangkan kebosanan, saya bertekad tetap sekolah. Tapi di sekolah saya tak punya teman. Saya menjadi murid yang sering sakit dan paling bodoh. Saking sering sakit, tak jarang guru menyuruh saya pulang. Entah kasihan melihat saya yang kurus, penyakitan, entah karena enggan melihat saya yang lemah.
Pengalaman tak terlupakan terjadi ketika saya kelas 4 SD di Temanggung, Jawa Tengah. Saat itu hujan turun dengan deras dan petir menyambar. Penyakit saya kambuh, badan menggigil. Tiba tiba seorang guru menghampiri saya dan bertanya, "Kamu sakit lagi?" Saya mengangguk.
Bukannya menawarkan bantuan, dia malah menyuruh saya pulang. "Hujan, Pak, saya sakit. Saya takut hujan, Pak," kata saya saat itu. Guru itu membentak saya dengan keras, "Pulang saja kamu." Saya mencoba bertahan tapi untuk ketiga kalinya Pak Guru menghardik saya. "Saya bilang pulang, ya pulang. Atau saya ludahi kamu!" Kalimat terakhir itu mengiris batin saya.
Saya menangis dan lari dari kelas di tengah hujan lebat dan petir yang menyambar. Emosi saya meledak. Saya marah kepada Tuhan. Di tengah jalan saya menengadah ke langit dan menantang Tuhan. "Tuhan, katanya Tuhan Maha Pengasih dan Penyayang. Kenapa hidup saya seperti ini, saya sakit sakitan. Anak anak lain bisa menyanyi, tertawa, belajar. Kenapa saya tidak. Mati saja saya Tuhan." Saya terus berteriak kalap. Petir tak menyurutkan emosi saya. Sekali lagi saya menantang Tuhan. "Saya enggak takut! Saya enggak takut! Ayo bunuh saya Tuhan, ini dadaku!"
Dengan tubuh lemah saya merangkak menyeberangi rel kereta menuju rumah. Saat melewati kebun dekat rumah, saya kembali kalap. Berbagai tanaman yang ada di kebun, mengkudu, jambu, mangga, petai cina, nangka muda, dan cabai rawit merah saya petik dan saya tumbuk dalam lumpang. Hasilnya satu piring besar dan saya makan semua. Rasa pedas, pahit, getir, asam jadi satu. Saya berharap mati saat itu! Dan pet, semua gelap. Saya pingsan.
Bukannya mati, saat bangun keesokan harinya badan saya terasa lebih segar dan kuat. Sebuah energi baru saya rasakan. Langkah terasa ringan saat berangkat sekolah. Semua pelajaran saya lahap habis dengan hasil memuaskan. Guru yang kemarin mengusir saya pun ternganga. Saya serasa mendapatkan hidup kedua!
Pulang sekolah saya mencari kebun dan memanjat pohon tertinggi dan berteriak teriak. "Tuhan, saya sudah sembuh, saya sudah sehat. Terima kasih, Tuhan. Saya minta maaf kemarin sudah marah marah. Ampun ya, Tuhan, ternyata Tuhan baik kepada saya."
Agar anak anaknya pintar, Bapak menyekolahkan kami di SD Pendowo, Magelang, Jawa Tengah. Kereta api menjadi sahabat saya untuk menempuh jarak Kranggan Magelang. Pengalaman aneh saya alami setiap kali naik kereta. Suara roda kereta yang bergesek dengan rel dan bunyi asap yang keluar bercampur dengan suara mesin terasa indah di telinga saya. Bak alunan nada yang harmonis, melodi indah bagai nyanyian malaikat.
Batin saya bergetar. Dengan mata terpejam saya menikmati alunan musik indah itu setiap kali menumpang kereta. Agar lebih menyatu, saya memilih tempat di tangga kereta, persis di sebelah batas gerbong. Embusan angin berpadu dengan alunan musik nan indah. Tak jarang saya ikut bersenandung melantunkan lagu yang saya bilang sebagai angel choir itu. Mas Sum sering heran dan bertanya saat saya bersenandung, "Lagu apa itu, Dik Tik?" tanya Mas Sum. "Embuh, lagu opo iki," jawab saya sekenanya sembari senyum.
Saya bernyanyi pertama kali di acara pesta kenaikan kelas di SMP pada 1952 karena desakan seorang guru. Sebuah hal yang mustahil bagi gadis pemalu seperti saya. Berbekal lagu lagu soundtrack film Malaya yang sering saya tonton, semalam penuh saya berlatih menyanyi dengan bergaya. Lagu Angin Menderu saya pilih menjadi lagu dalam penampilan pertama itu.
Sambutan mengejutkan saya terima. Satu sekolah gempar saat saya melantunkan lagu Angin Menderu. Setelah menyanyi, saya ternganga tak percaya akan apa yang baru saja saya lakukan. Ternyata Titik, seorang gadis pemalu, bisa menyanyi bak superstar di panggung.
Reputasi sebagai siswi yang pandai menyanyi berlanjut hingga saya sekolah di SMP Ganesha, Semarang. Saya berkenalan dengan seorang gadis kaya yang bersahaja, namanya Yayuk. Bersama Yayuk, hobi saya menonton film dan menyanyi semakin membara. Saya dan Yayuk sering menonton film Marilyn Monroe. Film yang banyak menginspirasi karier awal saya, mulai lagu hingga model baju.
Saya makin sering didaulat menyanyi di acara sekolah. Suatu hari saya terpilih mewakili sekolah mengikuti lomba menyanyi antarsekolah se Semarang. Sebuah tawaran yang menggiurkan tapi menjadi dilema buat saya. Bapak tak suka anaknya menjadi penyanyi. Alasannya, menyanyi bukan pekerjaan yang layak. Yayuk tak kehilangan akal. Agar tak ketahuan Bapak, dia mengusulkan saya memakai nama samaran Titiek Puspo. Saya mengubah menjadi Titiek Puspa.
Pada 1953 saya berhasil memboyong piala juara pertama menyanyi dalam Pekan Olahraga dan Kesenian Sekolah Lanjutan Atas. Kemudian saya memberanikan diri mengikuti ajang Bintang Radio tingkat daerah di Semarang pada 1954 dan meraih juara kedua. Sebuah kejutan tak terkira, juri mengumumkan juara kedua akan dikirim ke Jakarta karena meraih nilai yang cukup tinggi.
Rasa kaget, senang, bingung bercampur saat itu. Gundah sekali tatkala teringat Bapak yang tak memberi restu. Akhirnnya senjata ampuh saya keluarkan. Saya mengadu ke Mas Sum, yang kala itu kuliah di Universitas Gadjah Mada, Yogyakarta. Berkat kepintarannya meyakinkan Bapak, saya diizinkan ke Jakarta.
Meski gugur di ajang Bintang Radio tingkat nasional, saya tetap mendapat kesempatan menyanyi di Jakarta. Saya diminta konduktor Sjaiful Bahri menyanyi pada malam puncak penganugerahan hadiah Lomba Bintang Radio Nasional di Panggung Gembira di Gedung Olahraga Lapangan Ikada. Tembang Chandra Buana menjadi lagu pilihan saya untuk kesempatan emas itu. Tepukan membahana di seluruh gedung saat syair terakhir lagu itu saya lantunkan. Esok harinya, RRI memutar suara saya berulang ulang.
Penampilan perdana di RRI Jakarta semakin membuka jalan saya sebagai penyanyi. Perusahaan Lokananta di Semarang menawari saya rekaman untuk mengisi siaran musik di RRI. Salah satu judul lagunya Dian nan Tak Kunjung Padam. Dari situ tawaran demi tawaran terus berdatangan. Nien Lesmana (ibunda Mira dan Indra Lesmana-Red.) menawari saya rekaman di piringan hitam. Lagu Jakarta di Waktu Malam dengan cengkok yang cukup rumit menjadi lagu saya di piringan hitam itu.
Pada 1959 saya kembali ke Jakarta dan mengikuti ajang Bintang Radio tingkat nasional. Lagi lagi saya gagal. Suara saya hilang pada malam final karena kebanyakan makan permen pemberian orang. Namun Tuhan baik. Lagi lagi tawaran dari Lokananta menghampiri. Lagu Kasih di Antara Remaja dan Oh Angin meledak. Lagu itu sukses dan terus diputar.
Berkat lagu lagu yang diputar RRI, saya semakin dikenal. Saya juga mulai menyanyi di kafe kafe hotel. Pada akhir 1960 an saya berkesempatan tampil bersama band The Tankers di TVRI. Gairah musik saya makin membara. Tak hanya menyanyi, mencipta lagu menjadi keasyikan baru bagi saya.
Dengan bantuan Mus Mualim, seorang penata musik di RRI, saya berhasil mencipta beberapa lagu. Minah Gadis Dusun, Aku dan Asmara, Si Hitam, Sungaiku, Doa Ibu, Pantang Mundur, Berkawan, Tinggalkan, dan Gang Kelinci merupakan karya indah saya berkolaborasi dengan Mus Mualim.
Tahun 1960 an bisa dibilang menjadi era emas saya. Album dangdut bertajuk Hidupku untuk Cinta diluncurkan pada 1968. Saya pun mulai menjajal dunia akting. Film Di Balik Tjahaja Gemerlapan dan Minah Gadis Dusun menjadi debut awal saya.
Di tengah masa kejayaan itu, sebuah guncangan sempat menghadang. Saya diboikot oleh media. Tak ada aksi saya yang disiarkan di radio dan TVRI. Kalaupun ada, pemberitaan tentang saya semua hal yang jelek dan menjatuhkan saya. Semua itu berawal dari suatu siang saat seorang pria yang mengaku utusan (PWI) Persatuan Wartawan Indonesia menjemput saya untuk menyanyi di acara ulang tahun PWI.
Saya, yang sedang demam dan menggigil, kaget. Soalnya saya tak pernah merasa mendapat undangan dan tawaran menyanyi. Saya menjelaskan hal itu kepada si penjemput. Rupanya penjelasan saya tak diterima dan saya dianggap enggan menyanyi karena tak mendapat bayaran. Aksi boikot itu cukup meruntuhkan hati saya.
Saya tak patah semangat. Pada 1971 saya bergabung di Persatuan Artis Penyanyi Ibu Kota (Papiko). Berkat kiprah di Papiko, tawaran menyanyi dan akting terus mengalir pada 1973 hingga 1974. Ateng Minta Kawin, Bawang Merah Bawang Putih, dan Rio Anakku menjadi film yang cukup fenomenal saat itu.
Nama Titiek Puspa semakin dikenal. Lagu lagu ciptaan saya meledak dan dinyanyikan biduan kondang. Eddy Silitonga lewat tembang Romo Ono Maling dan Jatuh Cinta. Dansa Yok Dansa oleh Delly Rollies. Bing, Dedy oh Dedy, Selamat Malam, dan Cinta Putih dinyanyikan oleh Grace Simon. Titik Hujan oleh Marini.
Memasuki era 1980 an saya terjun ke film komedi. Koboi Sutra Ungu menjadi debut pertama saya setelah pamit dari menyanyi selama dua tahun. Berlanjut dengan sukses film Apanya Dong beserta soundtrack nya pada 1984. Dekade 1980 an ini memberi semangat baru bagi saya.
Sekian waktu tak menelurkan album, curahan hati yang lama terbendung saya tuangkan pada 1997 melalui album dangdut bertajuk Virus Cinta bersama Dwiki Dharmawan. Album itu berhasil mengobati kerinduan para penggemar di era 1960 an yang kangen berlenggak lenggok lagi bersama saya. Kesuksesan album itu menjadi hadiah ulang tahun saya ke 60.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo