Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
BAGI penyair M. Aan Mansyur, nama menjadi sumber perisakan yang dialaminya semasa kecil. "Saya dulu sering di-bully di sekolah karena nama saya," kata pria kelahiran Bone, Sulawesi Selatan, ini dalam acara Festival Orang Muda yang digelar Tempo Institute pada 5 November lalu.
Sang kakek memberinya nama Martan M. Kawan-kawan masa kecilnya mengganggunya karena nama tersebut tak lumrah di lingkungan mereka tinggal. Aan terlahir sebagai orang Bugis di tengah komunitas muslim. "Sedangkan nama saya sangat tidak Bugis dan tidak muslim," ujar penulis puisi untuk film Ada Apa dengan Cinta? 2 itu.
Karena gangguan itu, Aan kecil jadi penasaran akan arti namanya. Namun, setiap kali ditanya, kakeknya selalu menjawab, "Nanti, setamat sekolah dasar, kamu masuk Pesantren As'adiyah, Sengkang."
Sayang, sang kakek meninggal sebelum Aan menamatkan sekolah dasar. Maka, demi menuntaskan rasa penasarannya, ia "menjebloskan diri" ke pondok pesantren itu. Teka-teki tentang namanya terjawab pada hari pertama ia masuk pesantren. Para ustad bertanya kepadanya, "Apa kau cucu pendiri pesantren ini?"
Salah seorang ustad lalu menunjukkan foto pendiri pesantren tersebut. Di sana tertulis nama Kiai Haji Muhammad Yunus Martan. Rupanya, kakek Aan sangat mengidolakan kiai tersebut hingga mengadopsi namanya untuk cucunya. "Karena sudah tahu jawabannya, saya jadi tak bersemangat sekolah di pesantren. Padahal itu baru hari kedua," Aan mengenang.
Belakangan, dia mengubah namanya menjadi M. Aan Mansyur. Aan nama panggilan neneknya, sedangkan Mansyur adalah nama ayahnya.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo