Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
DUA penyidik Balai Besar Karantina Pertanian Soekarno-Hatta Kementerian Pertanian itu pontang-panting mencari benih cabai di tengah hamparan kebun di Kampung Manglad, Desa Sukadamai, Kecamatan Sukamakmur, Bogor, Jawa Barat, Rabu pekan lalu. Idham, salah seorang penyidik, mendekat pada belasan tanaman cabai yang buahnya menggantung besar dan hijau. Tangannya membolak-balik tangkai dan daun cabai. "Ini bukan cabai lokal," katanya kepada rekannya yang ikut mengamati pohon cabai.
Setelah yakin yang dilihatnya bukan cabai lokal, Idham meminta temannya mencari benih yang tersisa. "Cari benih atau kemasannya," ujarnya. Lalu kedua penyidik itu menghampiri bangunan yang berdiri di tengah hamparan kebun. Itu adalah rumah tempat tenaga pertanian di kebun cabai tersebut tinggal sementara. Mereka melongok isi lemari, membongkar isi karung, hingga memeriksa tempat sampah. Sayang, benih yang dicari tak kunjung didapat.
Kedua penyidik itu menyusuri pematang yang di kanan-kirinya tumbuh tanaman cabai. Di sini pun mereka tak menemukan benih tersisa. Idham menoleh ke atas, mengamati atap plastik yang ditopang tiang bambu. Atap plastik itu melindungi ribuan tanaman cabai dari sinar matahari atau terpaan hujan. "Cara bertanam cabai seperti ini belum ada di Indonesia," kata Idham, yang juga Kepala Seksi Pengawasan dan Penindakan Karantina Tumbuhan Balai Besar Karantina Pertanian Bandar Udara Soekarno-Hatta.
Kedatangan Idham memeriksa cabai di ladang itu bertujuan mengendus potensi ancaman virus atau penyakit yang dibawa benih impor, termasuk ancamannya terhadap benih lokal. Benih impor itu diduga diangkut warga negara asing asal Cina yang tertangkap basah Kantor Imigrasi Kabupaten Bogor di Desa Sukadamai pada Selasa dua pekan lalu. Keempat warga Tiongkok itu bekerja sejak lima bulan lalu di kebun cabai tersebut.
Keberadaan warga asal Cina itu mengungkap adanya investasi asal Cina di kawasan perdesaan tersebut. Kepala Pengawasan dan Penindakan Kantor Imigrasi Kelas II Kabupaten Bogor Arif H. Satoto mengatakan Aming atau Yu Wai Man, salah seorang warga asing yang ditangkap, mengaku investor bisnis kebun cabai itu berasal dari Negeri Tirai Bambu. "Aming diperintah langsung dari Cina," ujarnya.
Besarnya investasi di kebun seluas 10-20 hektare itu hanya bisa dihitung dari sewa lahan sebesar Rp 250-500 juta. Maman Suherman, Ketua Lembaga Pemberdayaan Masyarakat, yang menyewakan lahan tersebut, mengaku mematok harga sewa senilai Rp 2,5 juta per hektare kepada investor. Dia mengaku berhubungan dengan investor bernama Ardoyo—sebagian penduduk di sana memanggil Hardoyo, warga Indonesia asal Cianjur, Jawa Barat. Dari Ardoyo ini, Maman dikenalkan dengan Aming. "Aktivitas di kebun selanjutnya dikendalikan oleh Aming," kata Maman.
Untuk buruh tani, Aming mempekerjakan 38 warga setempat dengan upah Rp 75 ribu per hari yang dibayarkan tiap pekan. Bukan hanya dana segar yang dibawa Aming. Reportase Tempo di kebun cabai itu menemukan beberapa alat produksi pertanian modern yang petunjuk pemakaiannya berbahasa Cina. Pupuk dan obat pertanian juga berasal dari Cina.
Idham, penyidik Karantina Pertanian, meyakini, selain membawa dana investasi dan alat mekanisasi pertanian, warga asing itu mempraktekkan teknik pertanian yang diadopsi dari Tiongkok. Dugaan Idham dikuatkan oleh pemeriksaan penyidik Imigrasi yang mengungkap profesi ketiga warga negara asing itu, yakni praktisi teknik perbenihan, penanaman, penyiapan lahan, penyediaan pupuk dan obat, hingga teknik perairan.
Winarno Tohir, Ketua Umum Kontak Tani Nelayan Andalan, mengatakan temuan Karantina Pertanian dan Imigrasi mengindikasikan bahwa investasi di lahan itu berasal dari Cina. Winarno, yang pernah berkunjung ke Badan Penelitian dan Pengembangan Departemen Pertanian Cina, menyebutkan kekuatan pertanian negeri itu bertumpu pada benih hortikultura (buah dan sayuran). Investasi pertanian asal Cina selalu menyertakan teknologi sekaligus tenaga ahli. Ini juga terlihat saat negara itu mencurahkan investasi ke Gambia dan Senegal, Afrika. "Karena riset Cina kuat dan matang," ujar Winarno.
Deputi Pengendalian dan Pelaksanaan Penanaman Modal Badan Koordinasi Penanaman Modal (BKPM) Azhar Lubis memastikan investasi Cina di Sukadamai tidak tercatat di instansinya. "Belum ada investasi asal Tiongkok di sektor hortikultura," katanya. Azhar menambahkan, investasi asing di sektor hortikultura sulit terealisasi karena regulasi masih membatasi kuota investasi asing maksimal 30 persen.
Menurut data BKPM, realisasi investasi asing di sektor pangan dan perkebunan mencapai US$ 2 miliar pada tahun lalu—turun ketimbang realisasi 2014 yang mencapai US$ 2,2 miliar. Adapun realisasi hingga Maret 2016 mencapai US$ 183 juta. Staf Ahli Menteri Pertanian Bidang Investasi, Syukur Iwantoro, mengatakan realisasi investasi di sektor pertanian lebih banyak di bidang peternakan sapi, perkebunan tebu, dan pertanian jagung. "Investor Cina ada, tapi belum terealisasi," ujarnya.
Minat Cina berinvestasi disampaikan Wakil Menteri Pertanian Zhang Taolin, yang berkunjung ke Kementerian Pertanian pada September lalu. Menteri Pertanian Amran Sulaiman mengatakan sedang menjajaki kerja sama dengan Cina untuk menjadi produsen pangan di kawasan Asia Tenggara. Harapannya: investasi Cina bisa masuk ke komoditas jagung, tebu, dan pangan lain. Amran menambahkan, minat Cina di sektor pertanian merupakan kabar baik untuk memuluskan ekspor komoditas manggis Indonesia ke Cina, yang sempat mandek sejak 2010. "Awal tahun depan, tim Kementerian Pertanian akan membahas kerangka kerja sama di Cina," tuturnya.
Winarno mengatakan, kendati ada batasan investasi, hal itu tak menghalangi minat Cina masuk ke sektor hortikultura. Caranya, menggunakan tangan kedua, yang tak lain warga Indonesia. Model ini dipraktekkan di kebun cabai di Sukadamai. Cina tertarik masuk ke sektor hortikultura karena impor produk itu dari Cina ke Indonesia lebih besar ketimbang ekspor Indonesia ke Cina. Syukur Iwantoro mengatakan neraca perdagangan komoditas pertanian antara Indonesia dan Cina masih defisit. "Kita lebih banyak mengimpor," ucapnya.
Untuk komoditas cabai, impor dari Cina mencapai US$ 6,7 juta pada 2015. Angka ini ada di peringkat kedua setelah impor cabai dari India. Adapun total impor cabai mencapai US$ 34,9 juta. Sementara itu, impor hortikultura terbesar dari Cina berupa komoditas seperti pir, jeruk, apel, dan bawang putih.
Winarno Tohir menilai ketertarikan Cina berinvestasi merupakan kabar baik bagi iklim ekonomi di perdesaan. "Masuknya investasi asing di sektor hortikultura juga kritik buat perbankan yang seret mengucurkan kredit," ujarnya. Data statistik Otoritas Jasa Keuangan menyebutkan penyaluran kredit perbankan ke sektor pertanian tercatat Rp 257 triliun hingga April lalu. Jumlah ini hanya 6,4 persen dari total kredit perbankan nasional yang mencapai Rp 4.003 triliun.
Akbar Tri Kurniawan, M. Sidik Permana (Bogor)
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo