Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Setidaknya ada tiga judul film tempat keduanya bertukar peran. Dalam film Sang Penari (2011) karya sutradara Ifa Isfansyah, Ria menawarkan peran sebagai Nyai Kartareja kepada Dewi karena jadwal syutingnya bentrok dengan film lain yang dibintangi aktris kelahiran Jakarta itu.
Dalam film 9 Summers 10 Autumns (2013) yang juga disutradarai Ifa, aktris bernama lengkap Chandra Ariati Dewi itu menawarkan peran sebagai ibu tokoh utama kepada Dewi. Adapun dalam film Kuambil Lagi Hatiku (2019) karya sutradara Azhar Kinoi Lubis, giliran Dewi yang menawarkan peran sebagai guru tari Jawa kepada Ria. “Karena Dewi kurang percaya diri,” kata Ria di Kemang, Jakarta Selatan, Selasa pekan lalu.
Menurut Ria, peran itu harus dimainkan aktris yang memiliki badan serta tindak-tanduk seorang penari. Ria pernah mempelajari tari Jawa dan memiliki ukuran badan lebih kecil daripada Dewi. “Jadi memang harus adiknya yang memerankan,” ujar peraih penghargaan aktris pendukung terbaik dalam Festival Film Indonesia 1985, 1986, 1988, dan 2006 ini.
Meskipun mendapat tawaran peran dari Dewi, Ria mengatakan tetap harus mengikuti semua tahap casting seperti aktor dan aktris lain. “Saya bukan pilihan sutradara, bukan pilihan produser, tapi pilihan direktur casting dengan persetujuan yang lain,” kata Ria.
Eka Kurniawan. TEMPO/Nita Dian
Anti-Pesan Instan
BAGI kebanyakan orang, memiliki kontak WhatsApp adalah kewajiban. Tapi tidak demikian dengan Eka Kurniawan. Novelis ini ogah menggunakan aplikasi komunikasi berbasis Internet tersebut. Ia memilih tetap menggunakan cara lama: telepon dan layanan pesan pendek (SMS). “Malas pakai WhatsApp, berisik,” katanya, Rabu dua pekan lalu.
Eka, 43 tahun, sudah pernah mencoba WhatsApp ketika layanan itu baru dikenal di Indonesia sekitar tujuh tahun lalu. Tapi lama-kelamaan ia merasa terganggu karena siapa pun bisa mengiriminya pesan tanpa perlu meminta konfirmasi pertemanan dan tak mengeluarkan pulsa. Sebentar-sebentar telepon seluler pintarnya mengeluarkan notifikasi pesan masuk. “Banyak pesan yang enggak penting,” ujar penerima Prince Claus Awards 2018 dari Kerajaan Belanda untuk kategori sastra ini.
Ia akhirnya menghapus WA dari teleponnya setelah menjajal setahun. Eka belum tertarik lagi mengunduh aplikasi itu meski kerap diprotes kawan-kawannya. Menurut dia, kalau kawannya ingin memberinya kabar, tinggal kirim pesan pendek atau menelepon. “Kalau penting banget, keluarkanlah pulsa Rp 350 untuk SMS. Atau miscall, nanti saya telepon balik,” ucap penulis novel Cantik Itu Luka tersebut.
Gara-gara pilihannya itu, Eka jadi kerepotan menghubungi ibunya di Pangandaran, Jawa Barat. Berbeda dengan Eka, ibunya justru lebih senang menggunakan WA. Ia jarang mengangkat panggilan telepon dan tak pernah membalas pesan pendek. Setiap kali hendak menghubungi ibunya, Eka mesti meminta tolong adiknya. “Saya kirim pesan ke Instagram adik, ‘Bilangin mamah...’,” katanya.
Yahya Cholil Staquf. Dok.TEMPO/Fakhri Hermansyah
Nama Bois
APALAH arti sebuah nama. Begitu Yahya Cholil Staquf menganggap kekeliruan penulisan namanya sejak kecil. Orang tuanya semula menulis “Yahya Cholil Tsaquf” dalam surat keterangan lahir Yahya. Tsaquf, kata terakhir dalam nama Yahya, berarti orang yang berbudi luhur dan beretika. “Orang tua zaman dulu masih percaya bahwa nama adalah doa,” kata Yahya di sela Musyawarah Nasional Alim Ulama dan Konferensi Besar Nahdlatul Ulama di Banjar, Jawa Barat, Rabu dua pekan lalu.
Syahdan, huruf “T” dan “S” di kata terakhir namanya tertukar. Anggota Dewan Pertimbangan Presiden itu bercerita, guru sekolah dasarnya dulu keliru menulis nama belakangnya dalam ijazah. Kata “Tsaquf” yang memiliki arti berubah menjadi “Staquf” yang tak bermakna apa-apa.
Lantaran namanya telanjur ditulis “Staquf” di ijazah, Yahya harus menyesuaikan semua dokumen resminya, termasuk paspor. Karena itu, Katib Am Pengurus Besar Nahdlatul Ulama tersebut sering disangka bukan dari Indonesia ketika bertemu dengan koleganya di pelbagai forum internasional.
Yahya, 53 tahun, sempat berniat mengembalikan ejaan nama belakangnya menjadi “Tsaquf”. Belakangan, ia mengurungkan niat itu karena menganggap kekhilafan gurunya menulis nama di ijazah justru membuat namanya menjadi keren. “Setelah dilihat-lihat, namaku bois juga,” dia berujar, lantas terkekeh.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo