Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Film

Kisah Kelompok Enam

Sebuah film laga berbiaya tinggi dengan gaya Hollywood dan berbahasa pengantar Inggris.

23 Februari 2019 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar
Adegan dalam film Foxtrot Six. IMDB

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

INDONESIA, 2031….

Dalam bayangan Randy Korompis, seorang sutradara baru, 12 tahun lagi Indonesia akan seperti ini:

Teknologi sedemikian dahsyatnya sehingga kita bisa berkomunikasi dan melakukan browsing ala Tom Cruise dalam Minority Report; persenjataan sedemikian heboh sehingga akan ada invisibility cloak alias jubah yang bisa menghilangkan tubuh gaya Harry Potter dan musuh bakal keok dengan mudah; lalu ada robot besar yang dioperasikan manusia di dalamnya (ya, ya, seperti semua film superhero itu, dari Iron Man hingga Thor), dan seterusnya, dan seterusnya….

Tapi mari kita nikmati dulu cerita yang menampilkan sederetan aktor cakep dan berotot ini: Angga (Oka Antara), seorang anggota parlemen, bangun pagi dan menatap panorama kota dari balkon apartemennya yang mewah. Lalu dia cukup memberi aba-aba, musik langsung terdengar. Dia bergoyang, mandi, memilih jas di lemari, memilih jam tangan di antara koleksinya yang luar biasa mahal, dan mengenakan jas yang keren. Jika saja dia hidup di Indonesia yang nyata, pasti ada wartawan investigatif yang akan mengulik kekayaannya. Atau semacam Komisi Pemberantasan Korupsi-lah begitu.

Setelah Angga bertemu dengan mereka yang paling berkuasa di Indonesia pada 2031, penonton pun mafhum. Angga protagonis kita semula diletakkan pada posisi yang cukup intim dengan para penguasa: Presiden Barona (Willem Beyers), pemimpin militer Jenderal Adnan (Otig Pakis), Ketua Partai Piranas (Joshua Pandelaki), dan raja media bertopi koboi (Ario Prabowo).

IMDB

Semua sudah jelas terlihat sebagai kaum antagonis. Angga menyampaikan sebuah proposal untuk menghadapi “kaum pemberontak” yang disebut Reformis. Rakyat kelaparan. Gap antara yang kaya dan yang miskin luar biasa. Belum lagi gangguan menjengkelkan dari kaum pemberontak. Angga menawarkan sebuah proyek yang memberikan mimpi kepada rakyat banyak, karena pada mimpi itu mereka akan bertahan dan tetap mendukung pemerintah.

Syahdan, pada masa lalu, Angga mencintai seorang wartawan bernama Sari Nirmala (Julie Estelle). Dia menghilang entah di mana. Sementara itu, Angga diperintahkan bekerja sama dengan Wisnu (Edward Akbar) dan bos paramiliter bernama Gerram (iya, dengan dua “r”) yang mengembangkan berbagai kedahsyatan teknologi, termasuk invisibility cloak tadi.

Pada saat memburu “sarang pemberontak” itulah Angga bertabrakan dengan masa lalunya. Ada Sari Nirmala yang kini ternyata menjadi bagian penting dari kelompok Reformis dan seorang gadis kecil yang memanggilnya “ibu” yang membuka mata Angga selebar-lebarnya tentang posisi politiknya selama ini.

Film politik?

Ya dan tidak.

Tidak, karena sesungguhnya niat film ini memang ingin memasuki genre laga. Itu pula sebabnya sosok Hollywood seperti Mario Kassar (produser Rambo dan Basic Instinct) sampai terbang ke Jakarta menemui si pencipta cerita ini. Ada dua hal yang sebetulnya menjadi perhatian dalam film ini. Pertama, seluruh dialog dilakukan dalam bahasa Inggris (Amerika) dengan alasan Randy “agar bisa dinikmati penonton internasional”. Kedua, genre film laga kontemporer Indonesia yang dihidupkan kembali oleh sutradara Gareth Evans melalui The Raid dan The Raid II lazimnya melibatkan tokoh-tokoh antagonis dari dunia preman, mafia, dan sejenisnya. Kali ini Randy berupaya melibatkan sosok politik dan bisnis yang intim dengan dunia preman. Tentu saja itu sah karena pada dasarnya setiap negara (demokratis atau tidak) memiliki pasukan paramiliter yang bergerak secara tidak resmi tapi diam-diam dibiarkan atau bahkan didukung pemerintah. Elemen inilah yang dimanfaatkan sebagai cerita.

Wisnu, si pemimpin paramiliter, berhadapan dengan Angga untuk menghadapi kaum Reformis. Sedangkan Angga, protagonis kita, untuk beberapa saat bimbang dan akhirnya pada satu titik dia menyadari harus bergerak bersama kaum Reformis. Kenapa Angga berbalik arah, ya nonton saja.

Yang penting untuk mata kita adalah Angga merekrut kawan-kawannya mantan marinir yang ganteng semua. Mereka semula menolak ambisi Angga yang sinting: ingin menyelamatkan Indonesia bersama kaum Reformis. Kawan-kawan Angga itu adalah Oggi (Verdi Soleiman), sahabat Angga yang setia; Spec (Chicco Jerikho), yang rambut gondrongnya mencapai bahu, jago sniper, dan hanya mengucapkan dua kata selama film; Bara (Rio Dewanto), si jago bertarung yang nekat; Tino (Arifin Putra), ahli strategi yang sinis; serta Ethan (Mike Lewis), ahli teknologi.

Bersama Angga, mereka menamakan diri Foxtrot Six. Dengan modal pengalaman sebagai marinir, moral, dan sedikit nekat, keenam cowok ganteng dengan dukungan kaum Reformis itu lantas memburu si penguasa dan kroninya yang konon tak keberatan menghajar rakyatnya sendiri. Targetnya: salah satu dari mereka mengakui konspirasi mereka dan disebarkan ke khalayak.

IMDB

Saya rasa elemen politik-politikan film ini kita kesampingkan dulu demi menyaksikan perkelahian demi perkelahian dan pertarungan demi pertarungan yang dikoreografikan oleh tim Iko Uwais itu. Pertama, latar computer-generated imagery (CGI) Foxtrot Six memang keren. “Indonesia” seolah-olah pada 2031 menjadi sebuah “negara antah berantah” yang kelabu, dingin, dan otoriter. Adegan para mantan marinir versus pasukan “halimun” yang bersembunyi di balik invisibility cloak juga unik; meski idenya jelas terinspirasi dari kisah Harry Potter, dalam film ini Randy memanfaatkan CGI untuk menunjukkan kedahsyatan teknologi paramiliter yang keji.

Namun, di luar adegan-adegan laga itu, film ini mengandung masalah besar. Film laga, bagaimanapun dahsyatnya menampilkan adegan laga, tetap harus bertumpu pada cerita yang meyakinkan. Saya paham bahwa kali ini Randy mungkin tak ingin mengulang cerita-cerita si baik versus si jahat yang biasanya diartikan si baik melawan kelompok preman atau mafioso. Kejahatan juga bisa dilakukan sebuah pemerintah resmi. Premis ini sebetulnya menarik dan sering dieksekusi berbagai film Hollywood. Tapi sulit bagi saya untuk percaya penokohan para kaum antagonis film ini karena mereka cenderung menjadi komikal.

Ada serangkaian titik di dalam plot film ini yang juga selalu mengundang tanda tanya yang semula saya kesampingkan demi kenikmatan menonton film. Tapi akibatnya justru kenikmatan itu tak kunjung tiba, karena terlalu banyak plothole (lubang dalam cerita) yang membuat saya akhirnya menyerah. Misalnya bagaimana sang anak bisa dengan sigap membantu secara teknis atau bagaimana protagonis kita tak perlu melalui kedukaan yang mendalam ketika harus kehilangan seseorang yang dicintainya.

Penggunaan bahasa Inggris untuk dialog film Indonesia bukanlah sesuatu yang terlarang. Tapi jika tujuannya sekadar Indonesia bisa dikenal dan diterima penonton Barat? Bukankah film seperti The Raid meledak meski bahasa pengantar di dalamnya adalah bahasa Indonesia? Bukankah film-film martial art yang menjadi panutan Quentin Tarantino tetap berbahasa Mandarin. Sekali lagi, ini bukan masalah “nasionalisme”. Keenam pemburu dalam film ini tak ada masalah dalam berbahasa Inggris dengan aksen Amerika. Tapi, sama saja seperti melihat Gong Li dalam film Miami Vice (Michael Mann, 2014) berbahasa Inggris, kita lantas saja tahu dia tetap lebih bersinar saat menggunakan bahasa ibu.

Namun ini sebuah debut. Ada sutradara film senior pernah mengatakan, seorang sutradara baru yang bergairah pasti akan belajar dan menciptakan karya berikutnya dengan lebih perhitungan. Saya berharap Randy juga demikian.

LEILA S. CHUDORI

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

IMDB

 

Sutradara: Randy Korompis

Skenario: Randy Korompis

Pemain: Oka Antara, Chicco Jerikho, Rio Dewanto, Arifin Putra, Verdi Soleiman, Julie Estelle, Mike Lewis, Joshua Pandelaki

 

Produksi: Rapid Eye Pictures MD Pictures

 

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya
Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus