INI bukan sebuah dapur umum untuk para prajurit, meski di situ tampak Pangab Jenderal Benny Moerdani. Dan ketika beras dalam dandang besar dari tembaga masak, Benny pun tampak lega. "Syukurlah, syukurlah," katanya. Itu berlangsung di Bangsal Gondorasan -- demikianlah nama dapur Istana Kasunanan Surakarta disebut -- Minggu malam yang lalu. Acaranya, selamatan menanak nasi, jenis upacara yang dilangsungkan tiap pertengahan bulan Maulud pada tahun Dal, yang terjadi delapan tahun sekali. Sudah tentu, ini bukan menanak nasi biasa. Air diambil khusus dari sebuah telaga di Gunung Lawu, gunung di perbatasan Jawa Tengah dan Jawa Timur. Kayunya, tak disebutkan dari mana, tapi, pokoknya, dari tempat keramat yang dirahasiakan. Yang hadir, para abdi dan kerabat keraton yang semuanya berpakaian putih. Hanya Paku Buw ono XII yang berpakaian Jawa lengkap, dengan jas berwarna abu-abu, memimpin upacara. Selain abdi dan kerabat keraton tak boleh dekat dengan tempat upacara, walau, misalnya, berpakaian adat Jawa. Bahwa Pangab mendapat izin, "Beliau 'kan panitia pembangunan kembali Keraton Solo," kata seorang abdi. "Jadi, dianggap orang dalam." Selain Benny yang malam itu berpakaian sipil resmi, berjas dan berdasi -- hadir pula Mensos, Nyonya Nani Soedarsono, yang memang termasuk kerabat, yakni besan PB XII. Konon, upacara kali ini termasuk sukses. Nyala api tak pernah ngambek, nasi pun matang pada waktunya, sekitar pukul 24.00. Itu penting. Sebab, matang tidaknya nasi bisa jadi perlambang. Kali ini melambangkan Keraton dalam keadaan makmur, rakyatnya tenteram sejahtera. Andai kata nasi tak matang-matang juga, pertanda rakyat dalam keadaan susah. Itu sebabnya ada ucapan "syukur" dari Benny Moerdani.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini