Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Tokoh

Iba Aidit


Terenyuh

27 Februari 2000 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

ADA cerita yang tercecer saat Abdurrahman Wahid berkunjung ke Eropa bulan lalu. Di Paris, ia sempat bertemu dengan Ibarruri, putri Dipa Nusantara Aidit, tokoh Partai Komunis Indonesia. Jalan menuju pertemuan ini dilukiskan Iba, kelahiran Jakarta 51 tahun lalu, cukup berliku. Iba, kini berprofesi juru rawat, mengajukan permintaan bertemu setelah ada pernyataan Gus Dur bahwa pelarian politik kini boleh pulang. Sejak 1965, Iba harus meninggalkan Indonesia dan berkelana di beberapa negara sebelum menetap di Prancis pada 1981.

Oleh pihak Kedutaan Besar RI di Prancis, janda mendiang Sudharsono ini diwajibkan ikut "litsus". Namun, tetap saja buntu. Tak kurang akal, dibantu Andree Feillard, peneliti Prancis yang dekat dengan kalangan Nahdlatul Ulama, Iba mencegat Gus Dur di bandar udara. Untung, Presiden tak keberatan. "Saya sungguh terenyuh," kata Iba kepada TEMPO lewat telepon saluran internasional.

Apa reaksi Gus Dur?

Gus Dur langsung bilang, "Sini, sini, duduk." Kemudian, Gus Dur memperkenalkan saya sebagai anak D.N. Aidit kepada orang-orang, yang jadi terheran-heran. Kemudian, dia tanya kapan saya pulang ke Indonesia. Saya bilang belum tahu karena saya datang ke sini justru untuk mengurus hal itu. Beliau lantas menyatakan tidak ada persoalan bila saya ingin pulang. Kebesaran hatinya terlihat saat mengatakan orang macam kami tidak butuh perlindungan karena memang punya hak untuk pulang. Apalagi pada 1965 itu saya masih kecil, 16 tahun.

Sebelumnya pernah bertemu dengan Gus Dur?

Pada tahun 1992. Gus Dur waktu itu mengatakan, saat pembantaian PKI, banyak Banser NU yang berperan. Ya, itu semacam permintaan maaflah. Beliau juga omong bahwa saat ibu saya meninggal, beliau hendak melayat tapi situasinya tidak memungkinkan.

Apa yang membuat Anda ingin pulang?

Tidak tahu, sejak kecil, pikiran saya itu hanya Indonesia. Walaupun saya belajar di Uni Soviet sejak bocah, tetap saja hati saya berada di Tanah Air.

Apa yang akan Anda lakukan kalau kembali ke Indonesia?

Oh, pertama-tama saya jalan-jalan dulu. Setelah itu, saya mau cari makam Ayah dan menengok makam Ibu. Sejak 1957, saya ke Moskow. Untung, pada 1965, saya sempat pulang dan menyaksikan meriahnya perayaan PKI. Sejak saat itu, saya jadi cinta Tanah Air.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum