Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Poin penting
John membedah lebih dari 100 rumah masyarakat miskin di Lembata.
John mendirikan taman bacaan hingga kelas bahasa Inggris untuk anak-anak Lembata.
John memberdayakan nelayan lewat penanaman terumbu karang.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Memikul buku dan karung beras untuk dibagikan ke masyarakat di desa-desa terpencil merupakan cara John S.J. Batafor meraih kebahagiaan dalam hidupnya. “Ketika mereka makan, baca buku, dan mereka bahagia, di situ saya bahagia. Itu bayaran terbesar yang saya dapatkan,” kata John kepada Tempo, Senin, 21 Maret 2022.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Kiprah relawan Komunitas Taman Daun itu dalam membantu kaum marginal selama bertahun-tahun ini baru saja mendapat apresiasi. Pada 25 Maret 2022, sebuah majalah nasional menjadikan John sebagai sosok inspiratif. Kendati demikian, pemuda berusia 34 tahun itu menilai sepatutnya penghargaan tersebut diberikan kepada orang-orang susah.
Taman Daun bergerak dari kegiatan literasi hingga membantu orang susah dan korban bencana. Bersama komunitas yang didirikan kakak sepupunya itu, John telah membedah lebih dari 100 rumah masyarakat miskin, khususnya yang berstatus janda, di Lembata, Nusa Tenggara Timur. Lembata merupakan tanah kelahiran John. Wilayah tersebut ditetapkan Presiden Joko Widodo melalui Peraturan Presiden Nomor 63 Tahun 2020 sebagai daerah tertinggal.
Salah satu rumah terparah yang pernah dibedah adalah milik seorang nenek bernama Areq pada 2020. Nenek Areq tinggal bersama dua anak dan enam cucunya di Desa Leudanung. Rumah itu beratap daun kelapa yang sudah kering, tanpa dinding, dan kamar tidurnya berada di lubang batu.
John lebih memprioritaskan membantu para ibu tunggal karena teringat akan sosok mamanya. Sejak kecil, ia turut merasakan penderitaan sang mama dalam membesarkan John sendirian. “Saya tidak mau melihat ada orang lain yang susah layaknya mama dulu.”
Anak-anak sedang membaca buku di taman bacaan yang didirikan Komunitas Taman Daun. Dokumentasi John S.J. Batafor
Adapun sebagai pegiat literasi, John mendirikan taman bacaan atau perpustakaan alam dan kelas belajar, termasuk kelas bahasa Inggris untuk anak-anak di daerah kelahirannya. Ia juga merekrut guru untuk setiap kelas belajar di 15 lokasi yang digaji dari hasil usahanya.
John memiliki beberapa bisnis, antara lain penyewaan homestay dan kapal. Bisnis penginapan menjadi tumpuannya membiayai semua kegiatan sosialnya, di samping menghimpun bantuan lewat media sosial. Sebanyak 80 persen dari biaya sewa itu disalurkan untuk kegiatan di Taman Daun.
John juga menawarkan program volunter bagi wisatawan yang menginap di homestay-nya. Mereka bisa tinggal dan makan secara gratis asalkan mau menjadi relawan di kelas belajar yang didirikan Taman Daun. Selain wisatawan lokal, turis asing dari Eropa, Asia, hingga Afrika pernah mengikuti program ini. “Jadi mereka turut berkontribusi untuk kemajuan Lembata.”
Turis asing menjadi relawan pengajar di kelas belajar Komunitas Taman Daun. Dokumentasi John S.J. Batafor
Perjuangan John dalam memajukan potensi daerahnya ini tak selalu berjalan mulus. Karena sering melibatkan turis asing dalam kegiatan sosial, ia pernah dituding menerima dana. Padalah, semua turis asing yang datang, kata John, niatnya murni menjadi relawan.
John mengaku masih kesulitan jika harus memberikan makan kepada para turis yang mengikuti kegiatan volunter. “Penderitaan kita di dalam rumah, kan, tidak bisa bilang ke orang karena takut tersinggung. Jadi kita diam dan sembunyikan, tidak tunjukin ke teman-teman relawan,” kata dia.
Di sektor lain, John dan para relawan komunitas menginisiasi perbaikan jalan rusak di beberapa tempat. Salah satunya dengan mengajak TNI dan warga Desa Lamalera, Desa Imulolong, dan Desa Posiwatu pada tahun lalu. Ketika bencana melanda NTT, John dan relawan turun tangan membuat hunian sementara, menyediakan air bersih, dan membantu memberikan pakan ternak milik para pengungsi.
Koordinator relawan Taman Daun, John S.J. Batafor, menanam terumbu karang di Teluk Lewoleba, Kabupaten Lembata, NTT. Dokumentasi Facebook John SJ Batafor
Dalam memberdayakan nelayan di kawasan Lembata, John dan para relawan juga menanam terumbu karang di Teluk Lewoleba. Ide ini diawali ketika melihat hamparan dasar laut seperti padang pasir dan banyak karang yang hancur. Setelah program tersebut berjalan selama tiga tahun, mulai banyak ikan yang menetap di karang itu sehingga memudahkan nelayan menangkapnya. “Nelayan banyak berterima kasih karena ada karang yang ditanam,” ucap warga Lewoleba Barat ini.
Keterlibatan John dalam aktivitas kemanusiaan dimulai setelah ia bebas dari penjara pada 2008. Ceritanya, pada tahun pertama kuliah ilmu pendidikan bahasa Inggris di Universitas Kristen Artha Wacana, John terlibat dalam perkelahian. Ia pun harus menerima hukuman 6 bulan kurungan di Lembaga Pemasyarakatan Kelas IIA Kupang. Sejak SMP, John memang sudah terlibat dalam berbagai kasus kenakalan remaja, seperti berkelahi dan mabuk-mabukan. Ia mengakui hidupnya hancur saat itu.
Titik baliknya dimulai ketika tinggal di Kupang. Tengah malam, John keluar kamar kosnya untuk mencari makan. Berbekal Rp 2.000, ia membeli roti dan air gelas di warung. Ketika ingin memakannya, John melihat ada seorang anak kecil tidur di emperan sambil memegang perut. Pemuda yang sudah menjadi yatim sejak usia 8 bulan ini pun dilema.
Namun ia akhirnya memberikan roti dan air kepada anak tersebut. “Saya perhatikan dia makan. Setelah itu, lapar saya hilang. Saya pulang dengan perasaan senang dan bisa tidur,” tuturnya. “Paginya, sudah ada 5 kilogram beras dan uang Rp 100 ribu dari teman saya.”
Relawan Taman Daun membuka kelas belajar di Desa Pasir Putih, Kecamatan Nagawutung, Kabupaten Lembata, NTT. Dokumentasi John S.J. Batafor
Sejak itu, John akrab dengan anak-anak jalanan. Ia juga mulai mengumpulkan buku-buku dan menyalurkannya ke desa-desa, sembari membangun taman bacaan. Kini, ia sedang memperluas pembangunan kelas belajar ke Alor dan Flores. Berkaca dari pengalamannya yang pernah salah jalan, ia bertekad memajukan pendidikan anak-anak di Lembata.
Berbagai kegiatan sosial itu sekaligus sebagai bentuk penyesalan dan permintaan maafnya kepada sang mama. Meski gagal memenuhi keinginan mama untuk menjadi sarjana, John ingin membuktikan bahwa sekolah-sekolah informal yang didirikannya merupakan toga sesungguhnya.
Namun ada satu keinginan pemuda kelahiran Desember 1987 itu yang belum tercapai, yaitu mendirikan rumah ibadah di dasar laut Lembata sebagai miniatur toleransi keberagaman di Indonesia. Rumah ibadah ini bakal dibuat menjadi media terumbu karang di Teluk Lewoleba, dan saat ini masih dilakukan pengumpulan material.
Tujuan besar John ialah memberkati ikan-ikan di laut. Manusia, kata dia, kebanyakan egois karena menganggap Tuhan hanya bisa memberkati mereka. Padahal ikan juga perlu diberkati. “Ketika ikan diberkati, maka ketika manusia makan ikan, dia makan dari hasil berkat Tuhan.”
FRISKI RIANA
Keterangan:
Artikel ini telah diperbarui pada Ahad, 27 Maret 2022, pukul 12.58 WIB dengan merevisi kalimat "Karena sering melibatkan turis asing dalam kegiatan sosial, ia dituding menerima banyak dana. Padahal tak semua turis asing yang datang merupakan kalangan berduit" menjadi "Karena sering melibatkan turis asing dalam kegiatan sosial, ia pernah dituding menerima dana. Padalah, semua turis asing yang datang, kata John, niatnya murni menjadi relawan".
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo