Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Tokoh

Keras Kepala dalam Ratusan Film

Ia tidak suka didikte. Bila Idris diminta menjadi ilustrator film, kepada produser dan sutradara ia tegas menyatakan tak mau terlalu diintervensi.

21 Oktober 2013 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Saya mengenal dunia ilustrasi musik film juga lewat bapak saya. Bapak saya mengerjakan musik film sejak 1930-an. Saya selalu ikut dalam setiap rekamannya. Jadi saya melalui proses dari bawah.

Saya mulai diajak bermain musik untuk film buatan Perusahaan Film Nasional Indonesia (Perfini) dan Persatuan Artis Indonesia (Persari) pada 1953. Ketika itu, Perfini dan Persari merupakan dua perusahaan film terbesar. Film yang saya garap antara lain Tamu Agung (1955) dan Tiga Dara (1956). Pada 1962, untuk pertama kalinya saya membuat ilustrasi musik film Djakarta By Pass. Lalu berlanjut dengan film Matjan Kemajoran (1965) dan Kapal Keruk Tudjuh Belas (1967).

Pada 1967, saya membuat ilustrasi musik film bergenre drama laga, Petir Sepandjang Malam. Itu adalah film saya yang mendapat penghargaan pertama kalinya. Penghargaan di tingkat regional pertama saya terima di Festival Film Asia lewat film Lumpur (1970). Sejak itu, hampir setiap tahun saya dipercaya menggarap ilustrasi musik. Dan penghargaan itu pula yang membuat saya menjadi lebih tegas saat terjadi tarik-ulur dengan produser atau sutradara.

Seorang ilustrator musik film seperti arsitek. Ia membantu sutradara mengisi kekosongan adegan serta memberi efek emosi dalam cerita. Sebelum membuat ilustrasi, saya harus berdiskusi dulu dengan produser, sutradara, dan penulis skenario. Tapi saya tidak suka didikte. Makanya, sebelum tanda tangan kontrak, saya sampaikan mekanisme kerja saya. Saya sampaikan ke produser bahwa film itu memang berasal dari uang dia, tapi untuk musik, ini tanggung jawab saya.

Musik saya buat setelah saya melihat filmnya dulu. Biasanya kemudian musik diburu-buru. Zaman dulu tidak seperti sekarang. Belum ada telepon seluler. Para musikus yang saya ajak bermain harus saya datangi satu per satu. Beberapa rumah mereka bahkan tidak terjangkau kendaraan umum.

Memang banyak tantangan dan gangguan yang saya hadapi ketika membuat ilustrasi musik film. Tak hanya berdebat dengan produser dan sutradara, ada juga tekanan dari pemerintah. Contohnya ketika saya membuat ilustrasi musik untuk film Yang Muda Yang Bercinta. Di situ kan ada W.S. Rendra yang melawan Soeharto. Gara-gara itu, Sjumandjaja, sutradara film tersebut, dipanggil Kodam Jaya. Saya juga ditakut-takuti. Mereka bilang musik yang saya buat ikut memberikan gereget yang menunjukkan perbedaan antara yang kaya dan yang miskin, antara penguasa dan rakyat.

Tapi yang paling menjengkelkan kalau berurusan dengan sutradara yang berlagak sok tahu tentang musik. Kalau bertemu dengan mereka, biasanya saya tanggapi dengan santai, "Ya udah, Anda saja yang buat, saya berhenti." Saya sadar sikap keras saya ini bisa menuai kebencian yang membuat mereka enggan bekerja sama lagi dengan saya. Tapi saya tidak peduli. Bagi saya, prinsip profesionalitas harus dijunjung tinggi. Tapi bukan berarti saya menolak sama sekali setiap usul yang datang. Usul yang bagus tentu akan saya terima dengan baik.

Kendala lain adalah teknik rekaman yang masih sangat terbatas. Hingga 1970-an, permainan setiap alat musik tidak bisa dipisah-pisah seperti saat ini. Musikus dan soundman harus punya perhitungan matang. Bila ada yang salah, rekaman harus dimulai dari awal. Jangankan satu detik. Satu frame saja yang tidak tepat, rekaman itu harus kami ulang. Semua persoalan itu kadang banyak menyita energi dan waktu. Namun, di tengah berbagai tekanan itu, saya lebih cepat tumbuh. Berbagai masalah dan kesulitan itu justru membuat saya lebih arif.

Saya orang yang tidak menyukai sistem footage dalam menggarap ilustrasi musik film. Biasanya, musik yang dibuat para ilustrator harus diukur berdasarkan waktu di akhir proses editing. Nah, kalau saya tidak. Misalnya ketika saya membuat ilustrasi musik untuk film Budak Nafsu (1983), yang rekamannya dibuat di Jepang. Orang-orang mengaku bingung.

Waktu itu saya sampai di Jepang pukul tujuh malam. Dari sana saya dan beberapa rekan yang lain langsung menuju studio melihat editan akhir dan membuat catatan kecil tentang adegan film. Setelah itu, saya kembali ke kamar hotel ditemani sutradara dan asisten produser. Di hotel itu juga saya langsung membuat ilustrasi musiknya di atas partitur. Saya tidak tidur semalaman. Saya menulis musik, membuat interpretasi berdasarkan adegan, karakter tokoh, dialog, dan tuntutan cerita. Pekerjaan itu selesai pukul tujuh pagi.

Pukul sembilan pagi, orang studio datang mengambil partitur yang saya buat dan memecahnya menjadi beberapa partisi. Ada cello, biola, dan lainnya. Setelah itu, dengan para pemain musik Jepang, kami langsung rekaman dan selesai pukul tiga sore. Malamnya baru saya mixing, memasukkan film ke adegan. Dan ternyata pas sesuai dengan. Sjumandjaja, sutradara film itu, bingung. "Dris, kok musiknya bisa pas?" Saya menjawab, "Lha, memang kenapa?"

Saya sempat vakum cukup lama setelah menggelar konser pamit yang bukan pamitan yang sebenarnya. Pekerjaan membuat ilustrasi musik kembali saya jalani beberapa tahun lalu dengan film animasi Hang Tuah (2011). Tawaran itu saya terima setelah menonton film tersebut. Tapi justru ilustrasi inilah yang paling sulit. Menemukan roh musik bagi film animasi ternyata bukanlah pekerjaan mudah.

Kalau dihitung-hitung, hingga kini saya sudah menangani 300 film dan sinetron dengan kurang-lebih 900 aransemen dan 500 lagu. Dua puluh di antaranya mendapat penghargaan dari dalam dan luar negeri. Yang paling banyak saya dapatkan dari Festival Film Indonesia. Jumlahnya sepuluh.

Purwani Diyah Prabandari, Riky Ferdianto

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus