Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Film

Seorang Pelayan dan Tujuh Presiden

Terinspirasi kisah seorang pelayan Afro-Amerika yang mengabdi selama 34 tahun di Gedung Putih.

Forest Whitaker dan Oprah Winfrey duet yang luar biasa.

21 Oktober 2013 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

THE BUTLER
Sutradara: Lee Daniels
Skenario: Danny Strong dari artikel The Washington Post "A Butler Well Served by This Election".
Pemain: Forest Whitaker, Oprah Winfrey

"Segalanya dimulai dari putihnya kapas...."

Demikian Cecil Gaines (Forest Whitaker) bercerita tentang asal mula hidupnya yang dramatik di perkebunan kapas di Georgia pada 1926 ketika segregasi hitam dan putih masih berlaku dengan ketat.

Gaines kecil menyaksikan ibunya diperkosa dan ayahnya dibunuh oleh Thomas Westfall (Alex Pettyfer). Annabeth Westfall (Vanessa Redgrave) segera saja mengangkat dan mendidik si kecil Gaines sebagai pelayan di dalam rumah tangga pemilik perkebunan. Dengan cakap dan cepat, Gaines belajar melayani makan malam keluarga, membersihkan sendok dan garpu dengan teliti, dan berhasil menetap di zona netral, sehingga persoalan politik diskriminasi di kawasan selatan Amerika disingkirkan dari jiwanya. Keahlian rumah tangga dan sikap submisif inilah yang kemudian membawa Gaines melangkah ke Gedung Putih untuk kemudian berturut-turut meladeni tujuh Presiden Amerika Serikat.

Sebuah "Forrest Gump" déjà vu, film ini menceritakan pengabdian Gaines sejak pemerintahan Dwight Eisenhower (Robin Williams) menjulur hingga Presiden Amerika yang ke-40, Ronald Reagan. Gaines melayani berbagai presiden dengan aneka temperamen: dari John F. Kennedy (James Marsden), yang digambarkan sebagai sosok yang sungguh perhatian, hingga Lyndon B. Johnson (Liev Schreiber), yang mengadakan pertemuan dengan staf sembari duduk di jamban karena susah buang air. Dari Richard Nixon (mengapa pula John Cusack yang dipilih memerankan Presiden Amerika terburuk ini?), yang kerjanya menyemprot sumpah serapah, hingga Ronald Reagan (Alan Rickman), yang ngeyel tidak mau menjatuhkan sanksi terhadap pemerintah Afrika Selatan yang saat itu masih menjalankan politik diskriminatif apar­theid. Itu semua disaksikan oleh Gaines dengan sikap yang sama: menetap dengan dingin di zona netral.

Di rumahnya, situasi jiwa keluarganya justru panas membara. Sang istri, Gloria (dimainkan dengan cemerlang oleh Oprah Winfrey), merasa frustrasi karena perhatian suaminya sepenuhnya terpusat pada Gedung Putih. Gloria melarikan diri pada alkohol dan ke pelukan tetangganya, Howard (Terrence Howard). Apalagi karena putra sulung mereka, Louis (David Oyelowo), yang mereka harapkan duduk manis sebagai mahasiswa, ternyata ikut dalam protes sosial antidiskriminasi. Dari aktivis yang percaya jalan damai gaya Martin Luther King, Louis akhirnya bergabung dengan kelompok garis keras Black Panther yang memilih jalan senjata. Sang ayah seperti berada dalam dua dunia yang sama-sama menjepit. Dia meladeni serangkaian Presiden Amerika yang mempunyai sikap ambivalen terhadap soal diskriminasi, sementara anaknya adalah aktivis yang sepenuhnya menentang kebijakan pemerintahnya. Putra bungsunya dihardik oleh peluru Perang Vietnam dan istrinya dihajar oleh kekecewaan yang tak berkesudahan.

Penulis skenario Danny Strong mengaku terinspirasi sosok Eugene Allen, pelayan Gedung Putih yang mengabdi selama 34 tahun. Setelah pensiun pada 1986, Allen masih sempat menyaksikan naiknya Barack Obama sebagai Presiden Amerika. Namun persamaan atau inspirasi kehidupan Allen itu hanya berhenti di sana. Selebihnya: masa kecil yang tragis dan kehidupan keluarga yang berantakan adalah kreasi penulis skenario Danny Strong dan sutradara Lee Daniels. Sebagai sutradara, kekuatan Daniels justru terletak pada drama keluarga (kita sudah menyaksikan film terdahulunya berjudul Precious yang menggelegar itu). Karena itu, film ini terasa hidup ketika kamera menyorot pergolakan antara Gaines, Gloria, dan putranya, Louis. Adegan makan malam saat Louis membawa sang pacar yang bergaya sok revolusioner (baca: kurang ajar kepada orang tua) sungguh kuat; sebuah adegan yang menghasilkan rasa pedih sekaligus amarah.

Kelemahan film ini justru terletak pada sederetan bintang besar yang memeran­kan Presiden Amerika. Kecuali Alan Rick­man yang memerankan Ronald Reagan, para aktor diberi dandanan seperti akan menghadiri pesta Halloween. Apalagi John Cusack, yang diberi hidung prostetik dan menyajikan sumpah-serapah ala Richard Nixon, adalah kemubaziran.

Tentu saja film ini, terutama untuk seni peran Forest Whitaker dan Oprah Winfrey, akan dilirik berbagai festival. Akhir film ini bak sebuah kado dengan pita cantik untuk penonton yang haus akan penyelesaian yang menyenangkan. Adegan Obama, yang ditampilkan dari footage dokumenter, disumpah menjadi presiden bergantian dengan wajah Gaines di masa tua adalah sebuah konfirmasi: manusia tak selalu buruk hati.

Leila S. Chudori

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus