Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Tokoh

Bukan Sekadar Pelihara Reptil

Komunitas Reptil Bandung mengenalkan dan mengedukasi masyarakat tentang perawatan hewan reptil.

8 Oktober 2023 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar
Penggemar reptil menjawab pertanyaan pengunjung di festival Pet Euphoria di Paris van Java, Bandung, Jawa Barat, 6 Oktober 2023. TEMPO/Prima Mulia

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Poin penting

  • Komunitas Reptil Bandung meramaikan Pet Euphoria dengan membawa aneka satwa reptil.

  • Kelompok itu terbuka bagi mereka yang tidak memelihara reptil.

  • Komunitas Reptil Bandung punya tim penyelamatan atau rescue.

Aneka satwa dan pemeliharanya berdatangan meramaikan acara Pet Euphoria di Paris van Java Mall atau PVJ Bandung pada akhir pekan ini, 6-8 Oktober 2023. Bertempat di area Sky Level yang luasnya sekitar 1.000 meter persegi, acara ini diikuti sejumlah kelompok pencinta hewan yang, antara lain, membawa kucing, anjing, serangga, dan musang.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Komunitas Reptil Bandung, misalnya, menyiapkan 20 anggotanya sambil membawa hewan kesayangan mereka. Jenisnya, antara lain, ular pucuk, piton, sanca kembang, sanca dahan, dan ular kadut. Selain itu, ada iguana, gecko, biawak, dan kura-kura. 

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Di komunitas yang dibentuk pada 20 April 2009 itu, para anggotanya kebanyakan memelihara ular. “Karena gampang memelihara ular dan makannya hanya seminggu sekali,” kata Reyhan Granadi, anggota Komunitas Reptil Bandung, Jumat, 6 Oktober lalu.

Mahasiswa 25 tahun dari sebuah kampus swasta di Bandung itu kini memelihara gecko, yaitu sejenis tokek, dan dua ekor ular sanca titipan teman. Dia telah menghentikan pembiakan atau breeding ular piton sejak tahun lalu karena tidak bisa membagi waktunya dengan jadwal kuliah.

Menyukai reptil sejak lama, Reyhan dulu memelihara iguana dan biawak. Dia bergabung ke Komunitas Reptil Bandung pada 2016 karena anggotanya aktif berkegiatan, seperti berkumpul dan saling berbagi pengetahuan. “Mau enggak mau saya juga jadi belajar. Sebab, malu kalau ditanya orang, reptil apa, tapi enggak tahu,” ujarnya. Terutama soal satwa liar yang suka masuk rumah warga, seperti ular sawo kopi, ular pucuk, atau biawak. 

Penggemar reptil membawa peliharaannya di festival Pet Euphoria di Paris van Java, Bandung, Jawa Barat, 6 Oktober 2023. TEMPO/Prima Mulia

Menurut Reyhan, anggota komunitas rutin berkumpul setiap Minggu pagi hingga siang sambil membawa hewan peliharaan masing-masing. Mereka memilih tempat nongkrong di bagian tengah dekat kolam air Taman Lansia, Kota Bandung, yang selalu ramai pengunjung setiap Ahad.

Di lain waktu, sambil mengajak anggota baru, mereka pergi ke alam bebas, seperti ke area dekat Curug Cimahi. Beberapa reptil satwa liar, seperti londok atau bunglon, ular sawo kopi, dan ular pucuk, mereka tangkap untuk dibahas, setelah itu dilepaskan lagi ke alam.

Jumlah anggota komunitas yang aktif kini sekitar 60 orang. Adapun yang kerap berkumpul 20-30 orang. Anggota paling muda seorang pelajar sekolah dasar dan tertua berumur 50-an tahun. Mayoritas anggota berusia 20-30 tahun, lelaki dan perempuan. Hewan peliharaan mereka umumnya ular, biawak, iguana, dan gecko. 

Menurut Ketua Komunitas Reptil Bandung, Diki Azaly Shaufyan, hampir setiap tahun ada regenerasi dari bergabungnya para anggota baru. Kelompok ini juga terbuka bagi mereka yang tidak memelihara reptil. Anggota seperti itu berkontribusi lewat kepedulian dan pengetahuannya soal reptil. “Sesuai dengan moto komunitas, yaitu tahu reptil, mengenal, dan peduli,” ujarnya.

Siapa pun bisa bergabung menjadi anggota biasa. Tapi, pada keanggotaan inti, ada syarat khusus yang perlu diuji perihal pengetahuannya tentang reptil. Ujian itu dinilai penting, terutama bagi mereka yang memelihara satwa berbisa seperti ular.

Diki, misalnya, yang termasuk anggota dengan spesialis ular berbisa tinggi, sempat memelihara puluhan hingga hampir seratus ekor ular. Golongannya dari ular yang berbisa menengah, tinggi, hingga mematikan. Misalnya ular cincin emas alias taliwangsa, ular bungka, ular hijau ekor merah, kobra, lalu king cobra dan death adder yang mematikan.

Pengunjung berfoto dengan biawak di festival Pet Euphoria di Paris van Java, Bandung, Jawa Barat, 6 Oktober 2023. TEMPO/Prima Mulia

Peliharaan sebanyak itu merupakan hasil pembiakan atau breeding. “Dulu di kami ada kegiatan pelestarian. Setengahnya kami lepas ke alam, selebihnya dipelihara,” ujar Diki. Pembiakan dan pelepasan itu hanya ditujukan pada jenis ular lokal. Sekarang jumlah ular peliharaannya sudah berkurang, tinggal tiga ekor dan tidak berbisa. Ular peliharaan dipakainya sebagai bahan edukasi ke masyarakat. 

Tidak jarang ular yang dibawa tergolong berbisa. Agar hewan-hewan itu tidak membahayakan siapa pun, komunitas menerapkan prosedur operasi standar (SOP). Misalnya memakai peralatan khusus, tidak mengeluarkan ular dari kandang untuk disentuh, dan kotaknya diberi keterangan agar diketahui orang lain. Komunitas juga menyambut undangan dari taman kanak-kanak hingga instansi pemerintah dan swasta serta kelompok pencinta alam. 

Sekali waktu Diki pernah ke Halmahera untuk mengajari tim petugas di sebuah pertambangan soal cara menghadapi berbagai reptil, seperti ular dan biawak. Satwa liar itu ditangkap untuk dilepaskan lagi ke alam. Selain merangkul penggemar dan pemelihara reptil, menurut Diki, edukasi merupakan bagian penting dari kegiatan komunitas. 

Seorang anggota yang dibantu senior di komunitas ada yang meriset tentang keberadaan jenis ular viper di Pulau Jawa. Hasilnya kemudian dibukukan. Bahan lain tentang reptil, ujar Diki, juga sudah dikumpulkan untuk diterbitkan, tapi masih harus direvisi ulang. 

Selain memiliki divisi pendidikan, Komunitas Reptil Bandung punya tim penyelamatan atau rescue. Bermitra dengan sebuah organisasi sejenis, anggota komunitas ikut membantu menangkap hewan reptil liar yang masuk ke rumah penduduk, seperti ular, untuk dilepaskan lagi di alam liar. Beberapa bulan lalu mereka terlibat dalam upaya evakuasi seekor buaya peliharaan yang ditinggal mati pemeliharanya di daerah Cimahi. Bekerja sama dengan petugas dari instansi berwenang, buaya itu bisa dipindahkan ke tempat lain untuk dipelihara. 

Anggota Komunitas Reptil Bandung di festival Pet Euphoria di Paris van Java, Bandung, Jawa Barat, 6 Oktober 2023. TEMPO/Prima Mulia

Di luar grup, Diki tidak menampik anggota komunitas berbisnis jual-beli reptil dari hasil peliharaan atau pembiakan. Transaksi seperti itu hanya berlaku secara personal, tanpa membawa nama kelompok. Sebab, Komunitas Reptil Bandung bukan wadah atau sarana jual-beli satwa. Dalam pemeliharaan reptil, menurut dia, perlu diperhatikan kondisi satwa secara fisik dari anatominya. “Karena memang ada beberapa yang menjual reptil itu dalam kondisi minus atau luka.”  

Soal pola makan, tiap jenis reptil berbeda-beda. Biasanya untuk reptil yang herbivora selalu makan setiap hari, tapi bisa kuat puasa selama tiga hingga tujuh hari. Begitu juga untuk reptil yang omnivora. Pola makannya bisa setiap hari atau beberapa hari sekali. Pada reptil seumur bayi atau remaja, pola makan idealnya berkomposisi 70 persen hewan hidup dan 30 persen sayur atau buah. “Pertumbuhannya lebih banyak membutuhkan kalsium dan protein dari hewan mangsa yang masih hidup,” ujar Diki.

Adapun untuk reptil herbivora, makanannya disarankan dicampur dengan serbuk kalsium minimal seminggu sekali. Jika terlalu sering, hal itu bisa menyebabkan penumpukan kalsium di dalam perut yang tidak bisa keluar atau mengalami bladder stone. Adapun jika kekurangan kalsium, reptil bisa terkena penyakit tulang metabolik atau metabolic bone disease yang dapat berakibat kelumpuhan. Reptil yang berdarah dingin juga wajib dijemur agar pertumbuhan dan pencernaannya baik. 

Sementara itu, ciri-ciri reptil yang sakit biasanya ditandai dengan mogok makan. Penyebab sakitnya bisa dari perubahan suhu yang drastis sehingga mengalami flu. Tertutupnya saluran pernapasan membuat reptil kesulitan mencium bau dari mangsa atau makanannya. Faktor lain penyebab mogok makan adalah mengalami kecelakaan, seperti menabrak kandang, jatuh dari ketinggian, atau terluka sehingga reptil butuh perawatan yang lebih intensif. 

Kandang reptil perlu dipastikan memiliki sirkulasi udara yang baik. Suasana dan kondisi di dalam kandang sebaiknya juga disesuaikan dengan habitat asli reptil dari segi suhu ataupun tampilannya. “Karena reptil sangat sensitif dengan suhu,” ujar Diki.

Reyhan, yang antara lain memelihara gecko jenis leopard, mengatakan perawatan reptil itu cukup mudah. Kandangnya bisa memakai stoples, tapi disarankan menggunakan kotak bening seperti akuarium ukuran sedang. Alas kandang cukup memakai kertas atau koran yang diganti seminggu sekali. 

Makanan gecko juga mudah diperoleh, yakni jangkrik. Waktu makannya tiga hari sekali. Sekali makan bisa 1-10 jangkrik, sesuai dengan ukuran tubuh gecko. Tempat air minumnya bisa memakai tutup botol atau bekas penutup galon air. Gecko yang kekurangan kalsium biasanya terkena penyakit tulang metabolik. “Disarankan untuk gecko yang masih kecil dikasih kalsium minimal seminggu dua kali secara rutin.”

ANWAR SISWADI (BANDUNG)

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya
Anwar Siswadi

Anwar Siswadi

Kontributor Tempo di Bandung

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus