INILAH saat yang penuh tantangan bagi Takeo Fukuda, 78 tahun.
Masih menghadapi masalah di dalam negerinya yang belum sunyi
benar dari suasana resesi ekonomi, Perdana Menteri Jepang itu
kini jadi sorotan pers selama KTT ASEAN di Kualalumpur. Beberapa
waktu berselang, tak lama sesudah tampil sebagai orang No 1 di
Jepang, Fukuda ada menyatakan maksudnya untuk membina hubungan
yang lebih bersifat "dari hati ke hati" dengan para tetangganya
di Asia Tenggara.
Kini dia tengah diuji pemimpin kelima negara ASEAN akan
reaksinya terhadap beberapa tuntutan yang disampaikan baru-baru
ini di Tokyo oleh delegasi tingkat Menteri ASEAN yang dipimpin
Menteri Perdagangan Radius Prawiro. Dalam pertemuannya dengan
Fukuda, delegasi 7 Menteri itu menyampaikan serangkaian daftar
permintaan: antara lain bantuan epang sebesar $ 1,6 milyar
untuk pembangunan lima proyek komplementer (pabrik pupuk Urea di
Malaysia dan Indonesia, mesun disel di Singapura, super fosfat
di Pilipina dan soda ash di Muangthai).
Uluran tangan dari Jepang bisa dipastikan akan muncul. Sekalipun
permintaan yang semula berjumlah $ 1,6 milyar itu tipis
kemungkinan akan diberikan.
Surat kabar berpengaruh Yomiuri Shimbun belum lama berselang ada
menyebutkan jumlah $ 1 milyar sebagai angka yang akan
dipertaruhkan Jepang. Tapi rupanya ada kesulitan lain bagi PM
Fukuda untuk segera menjawab permintaan ASEAN. Kecuali studi
peniaiagan kemungkinan yang sudah rampung dibuat oleh Indonesia,
negara ASEAN lainnya kabarnya belum menyelesaikan studi itu.
Pertemuan KL Tak Mampu?
Bagaimana Jepang bisa menjawab kalau konsep yang harus dibikin
si pemohon sendiri belum selesai? "Asal Jepang sudah bilang
sanggup, itu sudah cukup buat kami," kata Menteri Radius kepada
pers di Tokyo Bisa diduga pertemuan tiga hari (4 s/d 6 Agustus)
di KL tak akan mampu menghasilkan rumusan yang kongkrit tentang
berapa bantuan Jepang. Dan berapa pula yang akan disalurkan ke
masing-masing anggota.
Sekalipun begitu, agaknya sulit bagi Fukuda untuk berkata
"tidak" atau "tunggu dulu" Baik menjelang maupun seusai
pertemuan tingkat Menteri Ekonomi se-ASEAN di Singapura bulan
Juni lalu, desakan kepada Jepang tera begitu kuat, hingga -
seperti dikatakan dalam sebuah artikel dari staf Mainichi
Shimbun baru-baru ini - telah menempatkan Fukuda dalam posisi
yang sulit untuk menolak Fukuda sendiri, sebagai veteran di
Kementerian Perekonomian Jepang semasa PM Takeo Miki, tentunya
cukup arif untuk mengetahui sejauh mana proyek yang diajukan itu
bisa dipertanggungjawabkan. Staf Fukuda kabarnya menduga,
jangan-jangan paket proyek yang disodorkan itu merupakan hasil
kompromi di antara ASEAN sendiri. "Mereka khawatir proyek-proyek
yang diajukan itu bisa bertentangan dengan yang sudah ada," kata
seorang pengusaha Jepang di gedung Wisma Nusantara, Jl. M.H.
Thamrin, Jakarta kepada TEM. PO "Kalau itu benar, maka uang
Jepang akan mengalir secara kurang bermanfaat."
Tapi besarkah permintaan bantuan yang $ 1 milyar itu? Beberapa
pejabat di Jakarta beranggapan "jumlah itu masih di bawah
gabungan pabrik LNG di Bontang dan Arun yang menelan $ 1,5
milyar lebih." Memang, apa artinya uang $ 1 milyar untuk lima
pabrik yang jelas merupakan proyek padat modal? Maka kalau
sampai kelima negara ASEAN tkh akan memaksakan pendirian proyek
itu, yang pasti mereka harus melakukan diplomasi kesana kemari
untuk mencari tamhahan pinjaman lagi. Dan bantuan (baca:
pinjaman) dari Jepang itu hanya merupakan pancingan untuk
memperoleh pinjaman yang lebih besar lagi.
Masalah lain yang dihadapi Jepang adalah ini: Kalau proyek itu
jadi dilaksanakan, industri pupuk dan discl swasta Jepang tentu
akan dimintai bantuannya. Dalam keadaan yang masih resesi dan
menghadapi kelebihan surplus sekarang ini, menjadi pertanyaan
bagahmana industri Jepang itu bisa diharapkan akan berscmangat
membantu proyek yang bakal jadi saingannya?
Tapi betapapun juga, tanpa perlu menyebutkan janji kongkrit,
Takeo Fukuda akan memberikan jawaban yang positif di KL. Jepang
lama sudah ingin punya wajahyang lebih shnpatik. Bukan bayangan
'binatang ekonomi' yang rakus. Dan Fukuda sadar kehadirannya
dalam forum puncak ASEAN merupakan kesempatan yang baik untuk
itu. Jangan lupa, beberapa negara industri masih menuding Jepang
menumpuk surplus neraca perdagangannya: suatu hal yang dipandang
memalukan dalam suasana ekonomi yang masih sulit (resesi)
sekarang.
Benci Kartel
Permintaan lain ASEAN agar Jepang menyediakan dana stabilisasi
sebesar $ 400 juta merupakan permintaan yang masuk akal. Sebagai
negara yang miskin bahan mentah, Jepang paling membenci adanya
kartel, yang bisa campur tangan terhadap pembentukan harga yang
bebas di pasaran.
Untuk menghindari hal ini, mungkin Jepang tak keberatan
mengadakan semacam Konvensi Lome, yang ada antara MEE dan
beberapa negara Afrika. Dengan persetujuan ini ditentukan
apabila satu negara mengalami penurunan hasil ekspor - untuk
sekian tahun dan sekian persen - maka kekurangannya itu dibantu
dengan uang dari dana khusus tersebut tanpa bunga. Bila ekspor
membaik lagi, bantuan dicabut. Nampaknya di sini juga negara
ASEAN bisa mengharapkan sesuatu yang positif dari Fukuda.
Problimnya sekarang adalah: Apakah semua permintaan bersama
ASEAN itu akhirnya akan mengurangi bantuan Jepang secara
bilateral kepada masing asing negara? "larapan kami," kata
Radius, "Jcpang tak akan mengurangi bantuan bilateralnya kepada
masing-masing anggota." "Bahkan sebaliknya, bantuan bilateral
ini bisa lebih besar lagi," kata Radius pula. Terlalu banyak
bagi Jepang? Tunggu saja sampai Fukuda mendarat di KL.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini