Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Poin penting
Jogja Salsa Community (JSC) mulai berkumpul dan menari bareng sejak belasan tahun lalu.
Mayoritas anggotanya pekerja berusia 25-60 tahun.
JSC punya kegiatan rutin tahunan bersama komunitas salsa dari berbagai kota.
Saat Halloween tak harus tampil seram. Setidaknya penampilan sejumlah penari salsa yang bergabung dalam Jogja Salsa Community (JSC) tak membuat orang takut. Meski riasan wajah mereka coreng-moreng dengan polesan warna merah di sudut bibir dan kostum serba hitam, justru orang ingin bergabung untuk ikut menari bersama dalam acara Halloween Costume Social Dance Party di sebuah kafe di Yogyakarta pada 29 Oktober lalu.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
"Ya, saat Hallowen, kami datang, ngumpul, ngobrol, nari bareng," kata Koordinator JSC Herlin Anis saat dihubungi Tempo melalui sambungan telepon, Kamis malam, 3 November 2023.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Datang untuk ngumpul lalu menari salsa bareng itu dilakukan sejak 2009-2010. Bermula dari inisiatif dua pehobi salsa, yaitu Tono Effendi dan Novi Ramdhani, mengajak teman-temannya bersalsa bareng. Ajakan dari mulut ke mulut antarteman kemudian bersambut dengan pembentukan komunitas JSC. "Karena salsa itu kan social dance, ya. Ngumpul dan nari. Lebih kekeluargaan yang dibangun," ujar Herlin yang mulai bergabung sejak 2012.
Tak ada angka pasti jumlah anggota komunitas itu sejak berdiri hingga saat ini. Sebab, keanggotaannya cair. Tak ada pencatatan anggota. Mereka pun datang dan pergi. "Apalagi di Yogyakarta kan rata-rata mahasiswa. Kalau sudah selesai (pendidikan), ya balik, ganti orang lagi."
Belum lagi mereka punya kesibukan masing-masing. Selain itu, mayoritas anggota sudah bekerja. Usianya pun tak semuanya muda. Sekitar 25 tahun ke atas. Ada juga yang hampir 60 tahun.
Koordinator dan instruktur Jogja Salsa Community, Herlin Anis. Dok. pribadi
Sejauh ini, mereka cukup rutin menari bersama. Mereka juga menggelar jadwal latihan, baik yang berbayar maupun gratis, tiap tiga kali sepekan di tempat. Pada Ahad malam di Ndalem Ambarukmo, Rabu di Punokawan Resto, dan Jumat di Sheraton Hotel. Waktu latihan untuk kelas berbayar pukul 19.00-20.00. "Adanya kelas (berbayar) itu supaya peserta fokus," tutur Herlin.
Biayanya disesuaikan dengan patokan mahasiswa, yakni Rp 50 ribu per orang untuk sekali datang. Biaya itu sebagai bentuk penghargaan kepada instruktur atas ilmu yang diberikan. Ada 3-5 instruktur di komunitas tersebut, termasuk Herlin.
Sedangkan latihan gratis digelar sekitar pukul 20.00, seusai kelas latihan berbayar. Program itu disebut dengan istilah Social Dance atau Social Night. Tak perlu menggunakan kostum atau sepatu khusus. Bahkan bagi pemula bisa cukup mengenakan sepatu jenis sneakers. "Yang penting ada niat."
Menari salsa tak hanya menampilkan keindahan. Namun gerakannya tergolong gerakan cardio dance. Gerakannya bisa membakar kalori dan melatih fleksibilitas otot. Tapi, untuk menyebut salsa sebagai bagian dari olahraga, menurut Herlin, tiap orang punya pendapat berbeda. "Jadi, kalau orang berpikir salsa bikin badan jadi kurus, ya enggak juga," kata Herlin seraya tertawa.
Di sisi lain, menari salsa bisa melunturkan stres setelah seharian bekerja. Apalagi rata-rata orang di komunitas itu adalah pekerja kantoran, tak terkecuali Herlin. Mereka tidak hanya menari, tapi juga bertemu dengan banyak orang. "Jadi melatih otak untuk memberikan hormon kebahagiaan (endorfin). Stress release kalau bagi saya."
Herlin menuturkan tak perlu punya bakat untuk menari salsa. Yang terpenting adalah niat. Sebab, salsa bisa dipelajari semua orang. Ucapan itu pulalah yang dia sampaikan kepada para pemula yang ingin bergabung, tapi ragu pada kemampuannya.
Keniscayaan bahwa setiap orang bisa menari salsa diyakini karena tarian Latin itu dilakukan secara berpasangan. Biasanya laki-laki dan perempuan. Laki-laki berperan sebagai leader yang mengawali gerakan. Sedangkan perempuan sebagai follower yang mengikuti gerakan.
Komunitas Jogja Salsa Community. Dok. Jogja Salsa Community
Dalam teknik gerakan salsa, leader akan memberikan tanda kepada follower untuk menari. Dengan kata lain, follower menari dengan mengikuti penanda dari leader. "Jadi, mau menari di mana pun, dengan siapa saja, bisa. Ada sign dari leader-nya. Jadi tanpa koreografer pun bisa," tutur Herlin.
Sementara itu, tantangannya adalah bagaimana instruktur bisa mengimprovisasi gerakan dan teknik baru. Improvisasi diperlukan agar penari tak bosan dengan gerakan itu-itu saja. "Istilahnya upgrade teknik, ya. Di dunia dansa, kan selalu ada perkembangan."
Salah satu upaya yang dilakukan instruktur untuk berimprovisasi adalah mengikuti kelas pelatihan salsa yang diadakan secara internasional. Pesertanya tak harus datang, melainkan bisa ikut secara daring.
JSC juga punya kegiatan rutin tahunan bersama komunitas salsa dari berbagai penjuru kota. Namanya Salsa Arisan Nyok. Lokasi penyelenggaraannya bergilir antarkota, seperti Jakarta, Bandung, Yogyakarta, Surabaya, dan Malang. Acara kumpul tahunan kali ini digelar di Yogyakarta pada Februari lalu selama tiga hari di Kaliurang, Sleman.
Jumlah peserta yang hadir mencapai sekitar 400 orang. Tiap daerah menampilkan peserta untuk menari. "Puncak acaranya malam Minggu. Itu sampai jam 3 pagi," ucap Herlin.
Acara gathering pada tahun ini merupakan yang pertama kali sejak masa pandemi. Rencananya, tahun depan acara ini akan kembali digelar di Yogyakarta. "Maunya mereka di Yogyakarta lagi soalnya yang di Jakarta sibuk-sibuk. Tapi belum pasti juga tempatnya."
PITO AGUSTIN RUDIANA (YOGYAKARTA)
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo