Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Tokoh

Meninggal Dunia

Sedijono Humardani, alias mas gendon, meninggal dunia dalam usia 60 tahun. selama belasan tahun almarhum membenahi kesenian jawa. (pt)

20 Agustus 1983 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

SIANG itu Sasonomulyo berduka cita. Ada yang hilang di pendopo berhalaman luas di sebelah barat Keraton Kasunanan Surakarta itu. Sedijono Humardani, pimpinan Pusat Kebudayaan Jawa Tengah (PKJT) dan direktur Akademi Seni Karawitan Indonesia (ASKI) pergi untuk selama-lamanya. Memang ada tiga Humardani: Sardjono Humardani, tokoh (bekas) Partai Murba di Jawa Tengah Sudjono Humardani, jenderal, Irjenbang, dan Sedijono Humardani. Ketiganya bersaudara, putra Almarhum Humardani Djojosoedarmo. Humardani yang ketiga itulah -- dengan panggilan akrab Mas Gendon -- yang meninggal Minggu pagi pekan lalu di RS St. Carolus, Jakarta, dalam usia 60 tahun. Jenazahnya diperabukan di Jelambar, Jakarta Barat, kemudian dimakamkan di pemakaman keluarga Astana Janti, Polanharjo, Klaten (Jawa Tengah) Belasan tahun terakhir ini ia bekerja keras membenahi kesenian Jawa. Baginya, kesenian tradisional yang masih sangat lemah itu memerlukan pembinaan dan pemantapan. "Kesenian modern tanpa pembinaan pun bisa berjalan sendiri," katanya hampir di tiap kesempatan. Baginya semua kesenian adalah kontemporer, termasuk yang "tradisional" -- selama pelakunya dinamis dan kreatif. Karena itu ia tak setuju pada istilah kesenian tradisional. Sardono W. Kusumo, 38 tahun, penata tari, menilai selama ini Gendon berusaha "menerjemahkan" nilai-nilai atau konsep-konsep di balik kesenian Jawa -- satu hal yang sebelumnya sulit dimengerti dan tidak pernah dilakukan orang. "Untuk kalangan kesenian Jawa, dia itu seorang revolusioner," tambahnya. "Mas Gendon telah mendobrak kesenian Jawa yang selama ini lamban dan macet, menjadi kesenian yang terbuka. Ia melihatnya dengan kaca mata pemahaman modern," komentar Sal Murgiyanto, 37 tahun, ahli tari Jawa yang lain. Mendirikan PKJT sebagai subproyek Pelita pada 1969, lima tahun kemudian ia diangkat sebagai direktur ASKI -- keduanya di Solo. Bagi Gendon, kedua lembaga itu merupakan satu perangkat: ASKI sebagai wadah pembibitan kader kesenian, PKJT sebagai sarana penyaluran kreativitas. Gendon memadukan kegiatan kedua lembaga itu dalam bentuk berbagai konsep, program dan karya -- yang membuat namanya penting dalam kesenian Jawa. Melanjutkan pendahulunya -- Almarhum G.P.H. Hadiwidjojo, ahli kebudayaan Jawa terkenal -- Gendon "menarik" tari Bedhoyo Ketauang dan Srimpi Anglir Mendhung, yang dipercaya sebagai "ciptaan" Nyai Roro Kidul yang legendaris -- keluar dari tembok keraton. Ia bahkan memadatkan tarian yang dianggap sakral itu masing-masing dari 1« jam menjadi 20 menit, tanpa mengurangi bobotnya. Puluhan tahun sebelumnya ia menciptakan semacam opera yang kemudian berkembang menjadi Sendratari Ramayana. Ia juga memperkenalkan pakeliran padhet, yaitu pemadatan pementasan wayang kulit yang bahkan sudah ia rintis sejak muda. Pertunjukan wayang kulit yang biasa dipergelarkan semalam suntuk, dengan tetap memperhatikan bobotnya, ia ciutkan menjadi 3-4 jam. Timbul sikap pro dan kontra, tapi ia jalan terus, bahkan kemudian tampil dengan pedalangan dalam bahasa Indonesia. Usahanya mengangkat ASKI dari perguruan tingi kelas dua menjadi lembaga kesenian yang diperhitungkan, dimulai ketika ia memasukkan mata kuliah filsafat dan sejarah kebudayaan (Barat) dalam kurikulum -- hal yang sebelumnya merupakan barang aneh. Ia juga tak sean-segan memberi jatah minum susu dan melatih fisik para mahasiswa jurusan tari. Gendon pula yang berani membuat duplikat gamelan Sekaten Kiai Guntur Madu milik keraton Solo. Ia mewajibkan mahasiswanya menabuh gamelan yang dianggap keramat itu untuk menempuh ujian akhir. Gendon juga merangsang perkembangan sastra Jawa gagrag enggal (angkatan baru), menumbuhkan minat pementasan drama dalam bahasa Jawa, memberi gagasan baru dalam pementasan wayang orang dan ketoprak. Ia juga mendorong anak-anak remaja di sekolah-sekolah lanjutan berlatih membaca puisi dan bermain sandiwara modern. Untuk ukuran Solo, agak sulit mencari penggantinya. Barangkali menyadari hal itu, beberapa bulan sebelum sakit, hampir setiap hari, Gendon mendiskusikan pengelolaan PKJT dan ASKI dengan para asistennya. Jauh sebelumnya ia mengirim anak-anak didiknya belajar ke luar negeri untuk program doktor, misalnya Sutarno dan Rahayu Supanggah (Prancis), Sri Hastanto (Inggris). Gendon sendiri telah membentuk sebuah presidium terdiri dari lima orang muridnya. "Siapa yang akan memimpin presidium, masih akan digodok," kata Bambang Murtiyoso, seorang di antaranya. Dan Bambang juga belum tahu pasti apa yang akan dilakukan PKJT dan ASKI untuk meneruskan rintisan Gendon. Ini mungkin karena seniman yang telah tiada ini begitu dominan di lingkungan kedua lembaga tadi selama hidupnya. Dan orang macam Gendon memang langka: mampu merangkul dan membina seniman tradisional, sekaligus memberi kesempatan luas kepada seniman modern.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus