Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Buku

Debat di antara cendekiawan

Pengarang: benedict anderson dan audrey kahin. penerbit: cornell modern indonesia project, ithaca, 1982.

20 Agustus 1983 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

INTERPRETING INDONESIAN POLITICS: THIRTEEN CONTRIBUTIONS TO THE DEBATE. Oleh: Benedict Anderson dan Audrey Kahin Penerbit: Cornell Modern Indonesia Project, Ithaca, 1982, 180 halaman. BUKU ini sama sekali tidak memenuhi apa yang dijanjikan oleh penulis kata pengantarnya, Daniel S. Lev. Menurut Lev, "Makalah-makalah dalam kumpulan ini merupakan pemikiran teoretis tentang politik Indonesia yang paling berpengaruh selama dua dasawarsa yang lalu." Padahal, ada sejumlah tulisan penting, dibanding beberapa karangan yang dimuat, tidak hadir dalam kumpulan ini. Karangan tersebut, antara lain, "The Idea of Power in Javanese Culture" oleh Ben Anderson (dalam Claire Holt, Culture and Politics in Indonesia), "Indonesia: Growth or Development" oleh Rex Mortimer (dalam bukunya Showcase State), "The Bureaucracy in Political Context: Weakness in Strength" oleh Don Emmerson dalam Karl Jackson and Lucian Pye, Political Power and Communications in Indonesia), "Patrimonialism and Military Rule in Indonesia" oleh Harold Crouch (World Politics, July 1979). Di samping itu, contoh-contoh ini semua membahas aspek-aspek dari sistem pemerintahan Orde Baru. Belum tersentuh tulisan tentang Demokrasi Terpimpin, seperti, "The Dynamics of Guided Democracy" oleh Herb Feith (dalam Ruth McVey, ed., Indonesia) yang tersohor itu, dan banyak artikel lain yang mempengaruhi pengertian kita tentang zaman itu. Kalau Interpreting Indonesian Politics bukanlah koleksi pikiran yang terbaik, lalu apa gunanya untuk para pembaca yang ingin memperdalam pengertian tentang politik Indonesia dan perkembangannya? Saya kira dua jawaban dapat dikemukakan. Pertama, lebih dari sepertiga (lima dari tiga belas) esai ini belum pernah diterbitkan. Di antara lima ini yang menonjol adalah "Perspective and Method in American Research on Indonesia" oleh Anderson (1973), suatu kecaman yang sangat keras terhadap penelitian orang Amerika tentang Indonesia, dan "Orders of Meaning: Understanding Political Change in a Fishing Community in Indonesia" oleh Emmerson (1975), studi kasus tentang akibat politik sebuah kebijaksanaan pembangunan Pemerintah Daerah Jawa Timur. Jawaban kedua, koleksi ini mencerminkan usaha kedua redakturnya dalam mencari-cari pendekatan atau kerangka konsepsi yang bisa menjadi fondasi kukuh untuk menerangkan sifat dasar dan arah atau dinamikanya sistem politik Indonesia. Dengan mengumpulkan esai-esai ini mereka bertujuan memamerkan beberapa macam pendekatan dan, yang lebih penting lagi, berbagai garis pemikiran yang telah berkembang dalam perdebatan antara para ahli selama ini. Makalah pertama, "The Birth of the Idea of Bali" oleh James A. Boon, tidak membahas masalah politik Indonesia zaman merdeka, melainkan berisi laporan orang Belanda tentang sistem pemerintahan di Bali pada abad keenam belas. Menurut Boon, persepsi pelaut Eropa itu sangat dipengaruhi oleh pengertian mereka tentang India, khususnya sistem monarki Hindu. "Seandainya mereka berlayar dari sebelah timur Bali dan bukan dari barat, mungkin sekali mereka akan melihat Bali dalam kerangka Pemerintahan Polynesia yang tidak monarkis," tulis Boon. Dengan memuat makalah ini, Anderson dan Kahin nampaknya mau memperingatkan kita pada awalnya bahwa usaha pengamat asing untuk mengerti Indonesia tidak mudah (dan mungkin mustahil) dilepaskan dari konteks dan asumsi kebudayaan dan pengalaman orang itu sendiri. Perdebatan Harry Benda dan Herbert Feith (yang terjadi pada tahun 1964-1965) mengenai zaman demokrasi liberal berlatar belakang soal persepsi ini. Feith dikecam Benda sebagai kebarat-baratan dalam kesimpulannya bahwa demokrasi liberal gagal oleh karena para problem-solvers (yang dimaksudkan adalah pemimpin politik yang pragmatis, moderat, dan cenderung bersifat birokratis-teknokratis dalam pemecahan persoalan) dikalahkan oleh solidarity-makers (pemimpin yang mengandalkan diri pada dukungan massa). Menurut Benda, analisa Feith kurang historis, dalam pengertian bahwa pemimpin yang dinamakan problem-solvers itu tidak mewakili Indonesia yang asli, melainkan diciptakan oleh zaman penjajahan. Hal ini dicap Benda sebagai sebuah deviaton (penyampingan) dalam sejarah Indonesia. Indonesia setelah merdeka digambarkan Benda ibarat sungai yang kembali kepada alurnya. Para pengamat dinasihatinya supaya mencari hakikat Indonesia dalam sejarah prakolonialnya dan bukan dalam kerangka konsepsi (dianut oleh sebagian besar ahli-ahli ilmu sosial pada waktu itu) yang berasumsi bahwa masa depan negara dunia ketiga akan mengulangi pengalaman Barat pada periode revolusi industrinya. Feith menjawab bahwa perombakan dalam struktur sosial, ekonomi, dan politik, meskipun baru sebagian (partial modernization) sudah tidak dapat dibendung lagi. Masa depan Indonesia akan ditentukan bukan oleh tolakan sejarah melainkan oleh tarikan modernisasi. Tugas yang dilimpahkan Almarhum Prof. Benda kepada murid-muridnya untuk mengamati Indonesia dari dalam, bukan dari luar dan dengan kaca mata Barat, ternyata sulit dipikul. Tema pokok makalah Anderson tentang penelitian orang Amerika di Indonesia pada tahun lima puluhan dan enam puluhan ialah bahwa kami (ahli-ahli Amerika) sangat dipengaruhi oleh kepentingan power-holders (pemegang kekuasaan) di Washington. Metode bandingan dan teori modernisasi (yang sangat populer kala itu) dicelanya sebagai cara untuk memajukan tujuan-tujuan luar negeri Pemerintah Amerika Serikat di dunia ketiga. Mengapa periode 1950-1957 dilihat peneliti Amerika sebagai surutnya demokrasi konstitusional dan bukan pasangnya kemandirian radikal? Mengapa orang Tionghoa di Indonesia selalu dilihat sebagai minoritas rasial dan tidak pernah sebagai burjuasi komersial? Mengapa jarang ada orang mengadakan penelitian tentang peranan politik ABRI atau politik luar negeri Amerika terhadap Indonesia (yang memaksakan Pemerintah Indonesia waktu itu bertindak seakan-akan ekspansionis) ? Meskipun cukup pesimistis tentang kemungkinan akan perubahan arah dalam penelitian orang Amerika, Anderson mengusulkan tiga macam studi yang menurut dia akan bermanfaat: interpretasi kebudayaan a la Clifford Geertz dan James Siegel (dan Anderson sendiri dalam "The Idea of Power in Javanese Culture"), analisa kelas berdasarkan teori neo-Marxis, dan studi historis-empiris (contohnya: Nationalism and Revolution in Indonesia oleh George Kahin) yang dilengkapi dengan metode bandingan yang tidak berpretensi universal (contohnya: Barrington Moore). Sebagian besar dari makalah yang belum saya bahas memperbincangkan Orde Baru dari segi neo-Marxis atau sebagai bureaucratic polity (sistem pemerintahan yang didasarkan pada pejabat). Dua pendekatan ini, menurut pendapat saya, belum begitu berkembang sebagai metode atau kerangka untuk mengerti hakikat sistem pemerintahan Indonesia sekarang. Kedua-duanya tumbuh di Amerika Latin di mana mereka dipakai untuk menelaah sebuah tipe sistem politik yang terletak di dalam konteks pembangunan ekonomi yang (dibandingkan dengan Indonesia) jauh lebih maju dan jauh lebih dikendalikan oleh Sang Raksasa dari Utara (Amerika Serikat). Lagi pula, kedua-duanya, kendati pun tidak pro-Barat dalam implikasinya, masih bersifat "universal dan mekanistis" (meminjam istilah Anderson). Teori bureaucratic polity juga menarik sebagai usaha untuk lebih mengerti hubungan antara tiga lembaga yang terpenting di Indonesia sekarang -- Kantor Presiden, ABRI/Hankam, dan birokrasi sipil -- dan juga kenapa Orde Baru bisa tahan dua kali lebih lama (sampai sekarang) dari rezim sebelumnya. Gagasan Dwight King bahwa kunci kelestarian Orde Baru terletak pada limited pluralism (sebuah kebijaksanaan politik yang membatasi kebebasan berorganisasi seperti di dunia liberal, tapi juga tidak menghapuskan organisasi-organisasi otonom seperti di negara totaliter) saya kira masih harus dikembangkan dengan data dan argumentasi yang lebih lengkap. Makalah terakhir, "Orders of Meaning" oleh Emmerson, mengembalikan kita kepada tema Benda tentang pengamatan dari dalam dan dari luar. Secara langsung esai ini tidak mencoba menginterpretasikan atau menggambarkan sistem politik Orde Baru. Tujuan Emmerson ialah untuk mengerti secara konkrit dan terperinci akibat pelaksanaan sebuah kebijaksanaan pemerintah terhadap setiap lapisan masyarakat yang bersangkutan, khususnya yang paling miskin. Kasusnya adalah sebuah "krisis politik" yang terjadi di Muncar, Banyuwangi, Jawa Timur, pada tahun 1974. Dengan sangat teliti digambarkan betapa kompleksnya kepentingan sosio-ekonomis dari berbagai golongan masyarakat -- umpamanya, nelayan biasa, pengambek (yang empunya uang), dan juragan darat (yang empunya kapal) -- dan betapa dalamnya jurang antara makna (meaning) yang diberikan setiap golongan kepada tindakan sendiri, golongan lain, dan pemerintah setempat. Akibatnya adalah bahwa keinginan pemerintah daerah untuk sekaligus menaikkan jumlah ikan yang diambil dari laut dan membagi lebih rata hasilnya tidak tercapai. Konon semua pengamat politik Indonesia, termasuk para pelaksana kebijaksanaan pembangunan dapat menarik manfaat dari pendekatan Benda, setidak-tidaknya dalam versi Emmerson. R. William Liddle, Guru Besar Ilmu Politik pada Ohio State University, Columbus, AS.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus