Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Hukum

Pungutan untuk pemerataan

Kasus pungli pengurusan surat kewarganegaraan di pengadilan negeri surakarta (solo). juga terjadi di jakarta. (hk)

20 Agustus 1983 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

PUNGUTAN liar dalam pengurusan kewarganegaraan pernah terbongkar. Berbagai permainan "mafia peradilan" diungkapkan Opstibpus, dua tahun lalu, termasuk kerja sama pejabat pengadilan dengan calo warga negara. "Biaya pengurusan kewarganegaraan yang mestinya Rp 200 ribu bisa jadi Rp 1,7 juta," kata Ketua Opstibpus (waktu itu), Laksamana Sudomo. Buntut operasi itu empat hakim senior di Pengadilan Negeri Jakarta Pusat diberhentikan dari jabatannya. Sepikah bisnis kewarganegaraan setelah itu? Ternyata tidak. Awal Agustus ini muncul keluhan seorang korban pungli di rubrik surat pembaca harian Merdeka. Pembaca, yang memakai nama samaran Wong Sala itu, bersama dua orang saudaranya telah mendapat putusan Presiden RI untuk jadi WNI dan telah disumpah di Pengadilan Neeri Surakarta, 8 Juli lalu. Tapi sebelum disumpah, tulisnya, ia diwajibkan panitera pengadilan untuk membayar biaya penympahan sebesar Rp 50 ribu. Selanjutnya, Wong Sala itu menulis, salah seorang saudaranya mencoba meminta keringanan kepada panitera tersebut. Namun mendapat jawaban yang tak enak: "Kalau tidak bisa, tidak usah jadi warga negara." Lebih tak enak lagi, ketika permintaan panitera itu dipenuhinya, ternyata pembayaran Rp 50 ribu itu tanpa kwitansi atau bukti pernbayaran lain. Keluhan itu segera mendapat tanggapan Menteri Kehakiman Ali Said. Melalui Humas Departemen Kehakiman, Drs. Rahardjo, Menteri menegaskan bahwa untuk penyumpahan semacam itu tidak ada biaya sepeser pun. Pada hari surat pembaca itu disiarkan, Ali Said memerintahkan Ketua Pengadilan Negeri Surakarta, Setyo Harsoyo, mengusut pungli di pengadilannya. Bila terbukti, begitu menurut Rahardjo, panitera itu akan dikenai tindakan tegas. Pengusutan itu ternyata tidak memakan waktu lama. Ketua Pengadilan Negeri Surakarta mengaku bertanggung jawab atas pungutan Rp 50 ribu itu. Tapi, "di sini tidak ada pungli," bantahnya. Yang ada, menurut Setyo, pungutan resmi sebesar Rp 50 ribu itu berdasarkan keputusannya sendiri dan menjadi peraturan yang berlaku di pengadilannya saja. "Itu demi keadilan dan pemerataan," katanya. Sebab, tambahnya, perkara pidana dan perdata juga dikenai biaya perkara. "Masak untuk pencari status WNI, yang nantinya akan memperoleh jaminan hukum dan fasilitas lain, tidak dikenakan biaya," ujar Setyo lagi. Peraturan yang dikeluarkan dua bulan lalu dan sejak itu telah dikenakan terhadap 42 orang calon WNI, menurut Setyo, diperlukan pengadilannya untuk biaya juru sumpah, saksi, atau pemanggilan-pemanggilan yang kadang-kadang jaraknya jauh. Namun ia tidak keberatan kalau peraturan itu harus dicabut. "Kalau atasan tidak mengizinkan, tentu kami cabut," katanya. Mencabut kembali peraturannya rupanya satu-satunya pilihan untuk Setyo. Rahardjo pekan lalu menilai bahwa kebijaksanaan hakim itu sebagai "pungutan resmi yang tidak sah." Sebab itu Menteri Kehakiman menginstruksikan agar Kantor Wilayah Kehakiman Jawa Tengah mengusut kebijaksanaan Setyo itu. Rahardjo tidak lupa mengingatkan adanya Keppres 14 A/1980 yang isinya melarang semua pungutan bila tidak tercakup dalam Anggaran Pendapat Negara atau tidak disetorkan ke kas negara. Selain itu, Menteri Kehakiman, 13 Juli 1981, juga mengeluarkan surat yang mencabut semua keputusan terdahulu mengenai pungutan-pungutan resmi. Keputusan yang dicabut itu, menurut Rahardjo, termasuk biaya administrasi untuk pengurusan surat kewarganegaraan yang besarnya Rp 3.000. Tapi Keppres atau SK Menteri Kehakiman itu masih dilanggar di sana-sini. Salah seorang WNI yang disumpah di Pengadilan Negeri Jakarta Pucat pekan lalu, Ong Tjin Kian alias Ahyan, 24 tahun, mengaku membayar Rp 1,5 juta untuk status baru itu. Pemuda itu tidak tahu persis untuk apa saja uang sebanyak itu dan bagaimana proses kewarganegaraannya keluar. "Perantara yang tahu liku-likunya, saya tahunya hanya dikabulkan," ujar Ahyan. Sebab itu ia masih harus membayar komisi perantara sebesar 20% dari biaya. Seorang yang mengaku perantara kewarganegaraan, Cipto, mengatakan bahwa urusan yang ditanganinya rumit, memakan waktu lama dan biaya banyak. Pungli pun, menurut Cipto, hal biasa. Misalnya, biaya untuk memasukan permohonan menjadi WNI di Pengadilan Negeri Jakarta Pusat, dalam kwitansi ditulis Rp 3.000, tapi dibayar Rp 10.000. "Itu untuk mempercepat proses," kata Cipto lagi. Dan yang namanya proses tercepat itu pun bisa memakan waktu dua tahun. Tapi tuduhan itu segera dibantah Kasubsie Kewarganegaraan Pengadilan Negeri Jakarta Pusat Tince Pirsowu Kainama. Untuk pemisahan bukti WNI anak dari orangtuanya, atau istri WNA yang ikut suami WNI, tidak ada pungutan sepeser pun. Satu-satunya yang dikenai pungutan Rp 3.000 ialah proses naturalisasi dari WNA ke WNI. "Uang itu resmi masuk kas negara," kata Tince. Lalu bagaimana dengan cerita semacam Ahyan atau Cipto.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus