PUNGUTAN liar dalam pengurusan kewarganegaraan pernah
terbongkar. Berbagai permainan "mafia peradilan" diungkapkan
Opstibpus, dua tahun lalu, termasuk kerja sama pejabat
pengadilan dengan calo warga negara. "Biaya pengurusan
kewarganegaraan yang mestinya Rp 200 ribu bisa jadi Rp 1,7
juta," kata Ketua Opstibpus (waktu itu), Laksamana Sudomo.
Buntut operasi itu empat hakim senior di Pengadilan Negeri
Jakarta Pusat diberhentikan dari jabatannya.
Sepikah bisnis kewarganegaraan setelah itu? Ternyata tidak. Awal
Agustus ini muncul keluhan seorang korban pungli di rubrik surat
pembaca harian Merdeka. Pembaca, yang memakai nama samaran Wong
Sala itu, bersama dua orang saudaranya telah mendapat putusan
Presiden RI untuk jadi WNI dan telah disumpah di Pengadilan
Neeri Surakarta, 8 Juli lalu. Tapi sebelum disumpah, tulisnya,
ia diwajibkan panitera pengadilan untuk membayar biaya
penympahan sebesar Rp 50 ribu.
Selanjutnya, Wong Sala itu menulis, salah seorang saudaranya
mencoba meminta keringanan kepada panitera tersebut. Namun
mendapat jawaban yang tak enak: "Kalau tidak bisa, tidak usah
jadi warga negara." Lebih tak enak lagi, ketika permintaan
panitera itu dipenuhinya, ternyata pembayaran Rp 50 ribu itu
tanpa kwitansi atau bukti pernbayaran lain.
Keluhan itu segera mendapat tanggapan Menteri Kehakiman Ali
Said. Melalui Humas Departemen Kehakiman, Drs. Rahardjo, Menteri
menegaskan bahwa untuk penyumpahan semacam itu tidak ada biaya
sepeser pun. Pada hari surat pembaca itu disiarkan, Ali Said
memerintahkan Ketua Pengadilan Negeri Surakarta, Setyo Harsoyo,
mengusut pungli di pengadilannya. Bila terbukti, begitu menurut
Rahardjo, panitera itu akan dikenai tindakan tegas.
Pengusutan itu ternyata tidak memakan waktu lama. Ketua
Pengadilan Negeri Surakarta mengaku bertanggung jawab atas
pungutan Rp 50 ribu itu. Tapi, "di sini tidak ada pungli,"
bantahnya. Yang ada, menurut Setyo, pungutan resmi sebesar Rp 50
ribu itu berdasarkan keputusannya sendiri dan menjadi peraturan
yang berlaku di pengadilannya saja. "Itu demi keadilan dan
pemerataan," katanya. Sebab, tambahnya, perkara pidana dan
perdata juga dikenai biaya perkara. "Masak untuk pencari status
WNI, yang nantinya akan memperoleh jaminan hukum dan fasilitas
lain, tidak dikenakan biaya," ujar Setyo lagi.
Peraturan yang dikeluarkan dua bulan lalu dan sejak itu telah
dikenakan terhadap 42 orang calon WNI, menurut Setyo, diperlukan
pengadilannya untuk biaya juru sumpah, saksi, atau
pemanggilan-pemanggilan yang kadang-kadang jaraknya jauh. Namun
ia tidak keberatan kalau peraturan itu harus dicabut. "Kalau
atasan tidak mengizinkan, tentu kami cabut," katanya.
Mencabut kembali peraturannya rupanya satu-satunya pilihan untuk
Setyo. Rahardjo pekan lalu menilai bahwa kebijaksanaan hakim itu
sebagai "pungutan resmi yang tidak sah." Sebab itu Menteri
Kehakiman menginstruksikan agar Kantor Wilayah Kehakiman Jawa
Tengah mengusut kebijaksanaan Setyo itu.
Rahardjo tidak lupa mengingatkan adanya Keppres 14 A/1980 yang
isinya melarang semua pungutan bila tidak tercakup dalam
Anggaran Pendapat Negara atau tidak disetorkan ke kas negara.
Selain itu, Menteri Kehakiman, 13 Juli 1981, juga mengeluarkan
surat yang mencabut semua keputusan terdahulu mengenai
pungutan-pungutan resmi. Keputusan yang dicabut itu, menurut
Rahardjo, termasuk biaya administrasi untuk pengurusan surat
kewarganegaraan yang besarnya Rp 3.000.
Tapi Keppres atau SK Menteri Kehakiman itu masih dilanggar di
sana-sini. Salah seorang WNI yang disumpah di Pengadilan Negeri
Jakarta Pucat pekan lalu, Ong Tjin Kian alias Ahyan, 24 tahun,
mengaku membayar Rp 1,5 juta untuk status baru itu. Pemuda itu
tidak tahu persis untuk apa saja uang sebanyak itu dan bagaimana
proses kewarganegaraannya keluar. "Perantara yang tahu
liku-likunya, saya tahunya hanya dikabulkan," ujar Ahyan. Sebab
itu ia masih harus membayar komisi perantara sebesar 20% dari
biaya.
Seorang yang mengaku perantara kewarganegaraan, Cipto,
mengatakan bahwa urusan yang ditanganinya rumit, memakan waktu
lama dan biaya banyak. Pungli pun, menurut Cipto, hal biasa.
Misalnya, biaya untuk memasukan permohonan menjadi WNI di
Pengadilan Negeri Jakarta Pusat, dalam kwitansi ditulis Rp
3.000, tapi dibayar Rp 10.000. "Itu untuk mempercepat proses,"
kata Cipto lagi. Dan yang namanya proses tercepat itu pun bisa
memakan waktu dua tahun.
Tapi tuduhan itu segera dibantah Kasubsie Kewarganegaraan
Pengadilan Negeri Jakarta Pusat Tince Pirsowu Kainama. Untuk
pemisahan bukti WNI anak dari orangtuanya, atau istri WNA yang
ikut suami WNI, tidak ada pungutan sepeser pun. Satu-satunya
yang dikenai pungutan Rp 3.000 ialah proses naturalisasi dari
WNA ke WNI. "Uang itu resmi masuk kas negara," kata Tince. Lalu
bagaimana dengan cerita semacam Ahyan atau Cipto.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini