SIANG itu Sasonomulyo berduka cita. Ada yang hilang di pendopo
berhalaman luas di sebelah barat Keraton Kasunanan Surakarta
itu. Sedijono Humardani, pimpinan Pusat Kebudayaan Jawa Tengah
(PKJT) dan direktur Akademi Seni Karawitan Indonesia (ASKI)
pergi untuk selama-lamanya.
Memang ada tiga Humardani: Sardjono Humardani, tokoh (bekas)
Partai Murba di Jawa Tengah Sudjono Humardani, jenderal,
Irjenbang, dan Sedijono Humardani. Ketiganya bersaudara, putra
Almarhum Humardani Djojosoedarmo. Humardani yang ketiga itulah
-- dengan panggilan akrab Mas Gendon -- yang meninggal Minggu
pagi pekan lalu di RS St. Carolus, Jakarta, dalam usia 60 tahun.
Jenazahnya diperabukan di Jelambar, Jakarta Barat, kemudian
dimakamkan di pemakaman keluarga Astana Janti, Polanharjo,
Klaten (Jawa Tengah)
Belasan tahun terakhir ini ia bekerja keras membenahi kesenian
Jawa. Baginya, kesenian tradisional yang masih sangat lemah itu
memerlukan pembinaan dan pemantapan. "Kesenian modern tanpa
pembinaan pun bisa berjalan sendiri," katanya hampir di tiap
kesempatan. Baginya semua kesenian adalah kontemporer, termasuk
yang "tradisional" -- selama pelakunya dinamis dan kreatif.
Karena itu ia tak setuju pada istilah kesenian tradisional.
Sardono W. Kusumo, 38 tahun, penata tari, menilai selama ini
Gendon berusaha "menerjemahkan" nilai-nilai atau konsep-konsep
di balik kesenian Jawa -- satu hal yang sebelumnya sulit
dimengerti dan tidak pernah dilakukan orang. "Untuk kalangan
kesenian Jawa, dia itu seorang revolusioner," tambahnya. "Mas
Gendon telah mendobrak kesenian Jawa yang selama ini lamban dan
macet, menjadi kesenian yang terbuka. Ia melihatnya dengan kaca
mata pemahaman modern," komentar Sal Murgiyanto, 37 tahun, ahli
tari Jawa yang lain.
Mendirikan PKJT sebagai subproyek Pelita pada 1969, lima tahun
kemudian ia diangkat sebagai direktur ASKI -- keduanya di Solo.
Bagi Gendon, kedua lembaga itu merupakan satu perangkat: ASKI
sebagai wadah pembibitan kader kesenian, PKJT sebagai sarana
penyaluran kreativitas. Gendon memadukan kegiatan kedua lembaga
itu dalam bentuk berbagai konsep, program dan karya -- yang
membuat namanya penting dalam kesenian Jawa.
Melanjutkan pendahulunya -- Almarhum G.P.H. Hadiwidjojo, ahli
kebudayaan Jawa terkenal -- Gendon "menarik" tari Bedhoyo
Ketauang dan Srimpi Anglir Mendhung, yang dipercaya sebagai
"ciptaan" Nyai Roro Kidul yang legendaris -- keluar dari tembok
keraton. Ia bahkan memadatkan tarian yang dianggap sakral itu
masing-masing dari 1« jam menjadi 20 menit, tanpa mengurangi
bobotnya. Puluhan tahun sebelumnya ia menciptakan semacam opera
yang kemudian berkembang menjadi Sendratari Ramayana.
Ia juga memperkenalkan pakeliran padhet, yaitu pemadatan
pementasan wayang kulit yang bahkan sudah ia rintis sejak muda.
Pertunjukan wayang kulit yang biasa dipergelarkan semalam
suntuk, dengan tetap memperhatikan bobotnya, ia ciutkan menjadi
3-4 jam. Timbul sikap pro dan kontra, tapi ia jalan terus,
bahkan kemudian tampil dengan pedalangan dalam bahasa Indonesia.
Usahanya mengangkat ASKI dari perguruan tingi kelas dua menjadi
lembaga kesenian yang diperhitungkan, dimulai ketika ia
memasukkan mata kuliah filsafat dan sejarah kebudayaan (Barat)
dalam kurikulum -- hal yang sebelumnya merupakan barang aneh. Ia
juga tak sean-segan memberi jatah minum susu dan melatih fisik
para mahasiswa jurusan tari. Gendon pula yang berani membuat
duplikat gamelan Sekaten Kiai Guntur Madu milik keraton Solo.
Ia mewajibkan mahasiswanya menabuh gamelan yang dianggap keramat
itu untuk menempuh ujian akhir.
Gendon juga merangsang perkembangan sastra Jawa gagrag enggal
(angkatan baru), menumbuhkan minat pementasan drama dalam bahasa
Jawa, memberi gagasan baru dalam pementasan wayang orang dan
ketoprak. Ia juga mendorong anak-anak remaja di sekolah-sekolah
lanjutan berlatih membaca puisi dan bermain sandiwara modern.
Untuk ukuran Solo, agak sulit mencari penggantinya. Barangkali
menyadari hal itu, beberapa bulan sebelum sakit, hampir setiap
hari, Gendon mendiskusikan pengelolaan PKJT dan ASKI dengan para
asistennya. Jauh sebelumnya ia mengirim anak-anak didiknya
belajar ke luar negeri untuk program doktor, misalnya Sutarno
dan Rahayu Supanggah (Prancis), Sri Hastanto (Inggris). Gendon
sendiri telah membentuk sebuah presidium terdiri dari lima orang
muridnya. "Siapa yang akan memimpin presidium, masih akan
digodok," kata Bambang Murtiyoso, seorang di antaranya. Dan
Bambang juga belum tahu pasti apa yang akan dilakukan PKJT dan
ASKI untuk meneruskan rintisan Gendon. Ini mungkin karena
seniman yang telah tiada ini begitu dominan di lingkungan kedua
lembaga tadi selama hidupnya. Dan orang macam Gendon memang
langka: mampu merangkul dan membina seniman tradisional,
sekaligus memberi kesempatan luas kepada seniman modern.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini