Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Hukum

Pengadilan gali vonis penyebab opk

Pengadilan negeri yogya, menjatuhkan vonis bagi pejambret (bromocorah) yang menewaskan nani, mahasiswi AKK di yogya. Kasus ini yang mendorong garnizun yogya melakukan opk. (hk)

20 Agustus 1983 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

PENJAMBRET Zulkarnaen bin Sidin selamat dari tuntutan hukuman mati. Ketua Majelis Hakim, Thomas Sumardi, yang masih berharap penjahat itu bisa memperbaiki diri, hanya menghukum 18 tahun penjara. Kendati demikian, hukuman itu ternyata masih memuaskan ratusan pengunjun yang memadati Pengadilan Negeri Yogyakarta, Rabu pekan lalu. "Kapok . . . untung tidak ditembak Garnizun," teriak seorang pengunjung, begitu hakim mengetukkan parunya. Selain untuk Zul, 22 tahun, Thomas juga memperingan tuntutan untuk Akmal, 22 tahun, yang membantu kejahatan itu, dari 20 tahun menjadi 12 tahun penjara. Penjambretan yang dilakukan kedua kawanan itu, 19 Maret lalu, menyebabkan meninggalnya Nani, seorang mahasiswi Akademi Kesejahteraan Keluarga di Yogya. Peristiwa itulah yang kemudian mendorong Garnizun Yogya melancarkan Operasi Pemberantasan Kejahatan (OPK). Akmal, mahasiswa Akademi Teknologi Nasional (Atnas), menuturkan bahwa malam Minggu itu ia berniat mencari makan malam bersama temannya, Zul, yang baru dua hari keluar dari LP Wirogunan Yogya. Mengendarai sepeda motor, Akmal memboncengkan zul. Sesampai di Jalan Abubakar Ali, tiba-tiba Zul berteriak: "Mal, tancap gas, saya menjambret dompet." Tapi belum sempat keduanya kabur, korban penjambretan, Eko Partoyo bersama pacarnya, Nani, berhasil menyusul dengan Yamaha bebeknya. Eko memepet Akmal. Tabrakan pun terjadi. Zul, menurut Akmal, segera menghunus pisau dapur. Tapi Akmal, menurut Eko, yang menantangnya duel. Duel memang tidak sempat terjadi. Kedua penjambret itu segera ramai-ramai dibekuk orang-orang yang ada di sekitar tempat itu. Tapi Nani, yang tergelepar di aspal, belakangan meninggal di rumah sakit. Kematian Nani itu, tuduh Jaksa Nyonya Sunarti, akibat tusukan pisau Zul. Tuduhan itu dibantah oleh pembela Zul, Yazis Wijayakusuma dan pembela Akmal, Syarif Han. Alasan pembela, visum dokter hanya menyebutkan, kematian itu akibat pendarahan pada otak karena terbentur benda tumpul. Hakim sependapat. Tapi kematian itu, menurut hakim, berkaitan erat dengan peristiwa di Jalan Abubakar Ali itu. Namun hakim juga tidak mengabulkan tuntutan jaksa yang meminta Zul dijatuhi hukuman mati. Jaksa Sunarti membenarkan bahwa ia menuntut hukuman maksimal dalam kasus itu. "Untuk itu perlu keberanian moral," ujar Sunarti. Pertimbangannya, pelaku utama adalah residivis, dan masyarakat menghendaki hukuman berat bagi pelaku kejahatan yang meresahkan. Zul sebelumnya memang pernah dibawa Sunarti ke pengadilan, juga karena menjambret. Di kota asalnya, Palembang, Zul terkenal sebagai penjahat dan tukang berkelahi. "Ia lari ke Yogya karena membunuh di Palembang," kata sebuah sumber. OPK, yang dilancarkan Garnizun, diakui Sunarti ikut pula mempengaruhi tuntutan hukumannya. "Tapi tidak ada orang yang langsung mempengaruhi saya," tambahnya. Ia hanya menginginkan, seperti juga OPK, tuntutannya itu bisa menjadi "terapi kejutan" bagi calon-calon penjahat. Terpengaruh atau tidak, beberapa waktu lalu Komandan Garnizun Yogya, Letkol Hasbi, membenarkan bahwa kasus itu salah satu faktor yang mendorongnya melancarkan OPK. Kematian Nani, menurut Hasbi, membuat keresahan semakin mencekam. "Bayangkan, hanya karena uang Rp 1.700, calon pengantin itu terbunuh," ujar Hasbi. Eko Partoyo memang merencanakan menikah akhir 1983 ini. "Tapi nasib menentukan lain," kata Eko, yang rajin berkunjung ke makam Nani. Ia merasa hukuman yang dijatuhkan hakim masih terlalu ringan. "Mereka berdua sadis. Saya hampir ketusuk ketika itu," tambah Eko. Mendiang Nani, menurut Eko, orang yang periang dan juga penakut. "Tapi, entah kenapa, ketika itu ia ngotot menyuruh saya mengejar orang yang menjambret tasnya," kenang Eko lagi. Akibatnya, .... Akibat yang lain dirasakan para gali-gali Yogya, tentunya, seperti yang kemudian banyak diberitakan -- masih lumayan Zul dan Akmal yang hanya mendekam di penjara. Tidak banyak komentar dari kedua terdakwa yang naik banding. Akmal hanya terpaku di kursi pesakitan dengan air mata meleleh. Sementara Zul hanya bilang: "Saya menjambret karena tidak punya uang untuk pulang kampung."

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus