NASIB gedung yang dulu jadi tempat perundingan, di Linggarjati,
masih belum baik juga. Gedung tua yang nyaris ambruk itu sejak
1965 sudah dimaksud diperbaiki. Tahun itu Nyonya Ratu Aminah
Hidayat meletakkan batu pertama sebagai tanda dimulainya
pemugaran. Tahun 1970, Hotel Duta Indonesia mencoba memugarnya,
tapi hotel itu lantas tamat riwayatnya.. Ketika Nyonya Poppy
Syahrir dan Bung Hatta meninjau ke sana di tahun 1975, keduanya
menganggap betapa SOS-nya gedung tersebut. Akhirnya Pertamina
turun tangan.
Belum selesai mendandani monumen, Pertamina sendiri melorot.
Akhirnya tahun 1977 Departemen P & K mengeluarkan biaya tidak
kurang dari Rp 37 juta. Dan Pebruari kemarin, gedung yang sudah
dipugar itu diresmikan oleh (waktu itu) Menteri P & K Syarief
Thayeb.
Gedungnya tegak kembali. Hanya isinya masih kosong. Perabotan
yang dulu memenuhi gedung tersebut, kabur entah ke mana. Yang
ada, dan yang asli dari dulu, cuma satu: Endang Sukarta, yang
usianya kini sudah setengah abad.
Dia ini penduduk asli Linggajati (demikian nama asli
Linggarjati), yang tadinya jadi pelayan Hotel Merdeka. Hotel
tersebut tidak lain adalah Gedung Linggarjati itu. Sebelum
namanya berobah jadi Merdeka, ketika zaman Jepang hotel ini
bernama Hokay Riokay, dan di zaman Belanda bernama Hotel
Restoornd. "Saya kagum dan terharu melihat bagaimana Syahrir
bertengkar dengan van Mook," kata Sukarta--biarpun dia tidak
mengerti apa yang dibicarakan.
Sukarta, tugasnya waktu itu melayani keperluan para tamu. "Saya
selalu melihat perundingan dengan suasana tegang," ujarnya.
"Tidak ada tentara Belanda di sekitar tempat perundingan. Yang
ada tentara kita yang berjaga-jaga dengan senjata sederhana."
Sukarta kemudian berkata, hanya Sutan Syahrir yang tidak tinggal
di hotel itu. Almarhum menginap di sebuah rumah Tionghoa, 1,5 km
dari tempat perundingan.Rumah Tionghoa tersebut kini jadi
gudang mesiu.
Sukarta, saksi hidup yang perlu di"rawat", kini oleh Departemen
P & K ditugaskan jadi penunggu gedung. Katanya lagi tentang
perundingan Linggarjati: "Perundingan biasanya dilakukan malam
hari. Siang hari para utusan mengadakan pertemuan dan membuat
rumusan-rumusan." Dalam perundingan itu antara lain terdapat
juga Lord Killairn sebagai pihak penengah. Pihak Indonesia
diwakili antara lain oleh Maria Ulfah Santoso Mohammad Rum,
A.K. Gani dan Susannto Tirtoprodjo.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini