DJATIKUSUMO: Prajurit dari Kraton JANGKA JAYABAYA BIDANG kemiliteran bukan hal baru buat saya. Sejak kecil penghuni keraton sudah dididik kemiliteran, antara lain lewat pertunjukan wayang kulit. . Anak-anak diizinkan nonton sampai pukul 11 malam. Kami juga berlatih baris-berbaris. Di samping itu tentunya belajar pencak silat dan naik kuda. Saya dilahirkan dalam lingkungan yang dibayangi oleh sindrom Perang Diponegoro. Pada 1897--empat tahun setelah ayah naik tahta sebagai Sri Susuhunan Paku Buwono X--beliau mengumpulkan orang-orang tua, menganjurkan mereka agar mempelajari mengapa kita selalu kalah dengan penyerbu-penyerbu asing. Bukankah Keraton Surakarta selain pernah dimasuki Belanda, juga pemah diduduki Lnggris (1811--1816). Bahkan Prancis pun pemah mencengkeram kitas ecara tidak langsung, yakni ketika Negeri Belanda dikuasai Prancis. Dalam pertemuan itu Bapak minta kepada para orang tua keraton untuk mencari cara mengusir penjajah. Baru dua tahun kemudian, tahun 1899, mereka menjawab. Di antara sejumlah saran, yang terpenting adalah kita harus memiliki hanya satu pimpinan. Maksudnya, agar kita bisa mendirikan negara yang bersatu semacam Majapahit. Tidak terpecah-belah dalam beberapa pimpinan yang saling bersaing. Pada tahun 1905 Jepang mengalahkan Rusia. Ini meruntuhkan anggapan bahwa orang kulit putih tidak bisa dikalahkan oleh kulit berwarna. Maka Bapak mencoba mengirim kakaknya yang bernama Pangeran Kusumodiningrat ke Jepang, agar mendapatkan latihan bidang ketentaraan. Tapi Jepang menjawab, belum berpikir ke arah sana. Ide ini dilaksanakan Bung Kamo pada tahun 1942, ketika Jepang sudah menduduki Inodnesia. Mengapa Bapak menoleh ke Jepang? Tentunya tidak terlepas dari pengetahuan orang Jawa tentang Jangka Jayabaya atau Sabdo-Palon Noyo Genggong. Sabdo artinya sabda atau ucapan yang pasti. Palon adalah yang digembleng. Noyo artinya sakti, atau bisa juga berarti yang paling tua. Genggong, maksudnya bila ada daya pasti ada bahaya. Ini sebuah filsafat atau pandangan hidup. Dalam Sabdo Palon dikatakan, "Yang bisa mengusir kerbau bule adalah orang-orang cebol kepalang dari utara, yang membawa tongkat tebu wulung. Mereka berada di sini hanya seumur jagung." Dalam lingkungan seperti itulah Subandono--nama kecil saya-- dilahirkan pada 1 Juli 1917 atau pada hari ke-11 Poso, bulan puasa, di kedaton Surakarta. Ayah saya adalah Susuhunan Paku Buwono X. Dan Ibu bemama Kirono Rukmi, garwa ampeyan Sri Susuhunan, bukan permaisuri. Ibu berasal dari Kajoran, sebuah desa di selatan Klaten. Jadi saya ini punya darah desa. Kakek ibu saya memang seorang bangsawan, tapi nenek orang desa. Kelak lingkungan keraton dan suasana desa membentuk diri saya sebagai bangsawan sekaligus rakyat. Bapak menanamkan tekad untuk mengusir penjajah pada putra-putranya. Untuk itu modal penting yang harus kita miliki antara lain mengetahui kekuatan musuh. Itulah sebabnya Bapak mengirim kami ke sekolah Belanda. Mula-mula saya di sekolahkan di Europesche Lagere School--setingkat sekolah dasar--di Solo (192 1931). Hanya kalau libur saya pulang ke Kajoran. Bapak hanya sekali tiga bulan ke Kajoran, ke pesanggrahan yang dibangunnya. Agar kami lebih mengenal lawan, ada semacam tradisi baru di keraton waktu itu. Selepas sekolah dasar kami, putra-putra Sri Susuhunan, diharuskan keluar dari istana, hidup di lingkungan orang-orang Belanda. Bahkan putra tertua langsung disekolahkan di Negeri Belanda. Akan halnya saya, selepas sekolah dasar, saya dan adik saya dititipkan kepada keluarga Belanda di Bandung. Di kota itu kami melanjutkan pendidikan ke sekolah lanjutan Hogere Burger School (HBS' selama delapan tahun. Hanya kalau libur saya pulang ke Surakarta. Keluarga Belanda ini adalah keluarga seorang purnawirawan letnan kolonel yang tidak memiliki anak. Ada seorang anak angkat, anak Ambon, tapi waktu itu anak angkat itu sudah jadi dokter dan sudah berkeluarga. Dari keluarga Belanda itu saya memperoleh pengetahun tentang tingkah bku, cara berpikir, dan berbagai hal yang berkaitan dengan orang Belanda. Ternyata kemudian nasihat Bapak know well your enemy itu memang sangat menunjang karier militer saya. Oleh Bung Karno, saya diangkat menjadi kepala staf angkatan darat yang pertama pada 1948, posisi yang begitu strategis untuk berhadapan dengan musuh. PETA MUNGKIN banyak yang bertanya-tanya, mengapa setelah menyelesaikan sekolah menengah di Bandung saya tidak melanjutkan pendidikan di sekolah militer. Sebenarnya ayah ingin memasukkan saya ke Akademi Militer Breda di Negeri Belanda seperti kakak saya, G.P.H. Purbonegoro. Saya tidak mau. Mengapa? Karena kalau lulus dari sana, saya harus mengangkat sumpah setia kepada Sri Ratu dan konstitusi Negeri Belanda. Padahal saya tahu, sebenarnya mereka adalah musuh saya. Maka saya memilih instituut Technologie Delf di Nederiand (1936- 1939). Saya tidak menduga bahwa kemudian sumpah para siswa Akmii Breda tersebut bisa batal karena Belanda menyerah kepada Jepang, Maret 1942. Waktu itu Panglima Tentara Bebnda berkata, "Dengan ini tentara Koninklijk Nederlands Indische Leger (KNIL) dibubarkan." Maka para pemuda Indonesia lulusan Breda yang masuk KNIL, seperti Pak Suryadarma, yang kemudian menjadi KSAU itu, menyatakan sumpah tersebut batal. Memang ada usaha-usaha dari pihak Belanda untuk menuntut kembali kesetiaan itu setelah usai Perang Dunia 11. Misalnya, ketika kakak saya Purbonegoro menjadi penasihat militer Pemerintah Republik berada di kapal Renville. Ia didatangi Jenderal Spoor, yang pernah sekamar dengannya di Breda. Spoor mengingatkan bahwa lulusan Breda masih terikat sumpah setia kepada Sri Ratu. Kakak saya menjawab, "Itu kan sudah dibatalkan ketika Belanda menyerah kalah tanpa syarat kepada Jepang." Karena pecah Perang Dunia 11, pada Januari 1940 saya kembali ke Indonesia, meninggalkan Delf. Saya meneruskan pendidikan ke Intitut Teknologi Bandung, tahun 1940 sampai 1941. Sementara itu, Perang Pasifik pecah. Belanda semakin banyak merekrut pemuda Indonesia untuk dijadikan anggota milisi umum. Ketika itulah saya ingat tentang Sabdo Palon Noyo Genggong bahwa "Jepang akan berada di sini seumur jagung." Ketika itu saya sudah membayangkan saatnya tak lama lagi Jepang akan meninggalkan Indonesia. Pengetahuan tentang Jangka Jayabaya ini sedikit-banyak telah memotivasi saya untuk memasuki bidang kemiliteran. Maka, atas anjuran Ayah, saya masuk milisi Corps Opleiding voor Reserve Officieren (CORO) di Bandung, tahun 1941-1942. Lembaga pendidikan militer bagi para milisi ini bertugas mencetak perwira cadangan untuk KNIL. Saya memperoleh pangkat kopral. Waktu itu di Indonesia sudah ada Akademi Militer Bandung, cabang Akademi Militer Breda di Belanda. Cabang ini dibuka di tahun 1940, ketika Belanda dicaplok Jerman. Setahu saya, yang pernah masuk di Akademi itu antara lain Kartakusumah, A.H. Nasution, dan T.B. Simatupang. Saya sendiri tidak pernah mengikuti pendidikan di situ. Belum sampai delapan bulan saya di CORO, Jepang mendarat. Ketika itu taruna CORO ditempatkan di Tasikmalaya, untuk menjaga lapangan terbang Cibeureum. Karena itulah banyak perwira Belanda berhasil menyelamatkan diri dari kepungan Jepang. Tanggai 2 Maret 1942 CORO dipindahkan ke Ciater, Subang, Jawa Barat. Sesampai di sana, Senin sore, dor, dor, dor.... ternyata Jepang sudah menunggu. Sebagai kopral taruna CORO, tentu saja saya bertempur di pihak Belanda. Tanggal 8 Maret 1942 Belanda menyerah kepada Jepang.KNIL bubar. Rakyat Indonesia menyambut Dai-Nippon sebagai saudara tua dengan penuh kekaguman. Suatu kali Bung Kamo pergi ke Negeri Sakura, minta supaya Jepang melatih bangsa Indonesia di bidang kemiliteran. Kabarnya, di sana Bung Karno disuguhi demonstrasi latihan perang-perangan oleh siswa-siswa Akademi Miiiter Jepang, dan amat terkesan. Maka, atas per nintaan Sukarno, di akhir tahun 1943, dibentuklah PETA melalui O Samurai, semacam keputusan presiden. Saya masuk PETA di Solo. Yang harus dicatat, PETA bukan bagian dari tentara Jepang. Sebelum masuk PETA, saya menganggur. Sehari-hari saya latihan setengah kemiliteran dengan bocah-bocah di Solo: sekadar melatih fisik dan mental untuk menyiapkan diri bila sewaktu-waktu diperlukan. Ini bukan kesatuan, cuma kumpulan anak-anak muda saja. Nah, ketika Bung Karno minta sukarelawan dari kalangan pemuda-pemuda Indonesia, dari kumpulan kami itu banyak yang masuk, termasuk saya. Suatu hari saya bersama sekitar 15 pemuda Indonesia yang lain ditawari belajar di Akademi Militer Jepang. Saya menolak. Sebab, ini menurut pikiran saya waktu itu, kalau lulus lantas menjadi tentara siapa? Yang berangkat antara lain Pak Yoga Soegama, yang kemudian menjadi kepala Bakin dan sekarang rektor Universitas Persada, Jakarta. Jadi saya cuma masuk PETA, yang lengkapnya disebut Tentara Sukarela Pembela Tanah Air. Hanya dalam 18 bulan, Jepang berhasil membentuk pasukan siap tempur dari para prajurit PETA. Ini yang saya kagumi dari orang Jepang. Padahal prajurit- prajuritnya direkrut dari orang-orang desa yang cuma sekolah rakyat tiga tahun. Bayangkan, bagaimana melatih orang-orang desa yang masih lugu? Mereka belum pernah memegang senapan, apalagi mortir. Mungkin melihat saja baru waktu di PETA. Bagaimana mereka mengerti soal trigonometri dan koniometri yang diperlukan untuk menembakkan mortir? November, Desember 1944, sampai Januari 1945, saya mengikuti pendidikan di Bo'ei Giyugun Kanbu Renseitai, pendidikan calon perwira PETA, di Bogor. Kami dibagi dalam tiga kelompok. Kelompok pertama untuk calon komandan batalyon. Di kelompok ini banyak kiainya. Melihat para kiai sekonyong-konyong disuruh latihan baris-berbaris, ya aneh juga. Kelompok kedua, kelompok komandan kompi, temmasuk saya. Dan ketiga, kelompok calon komandan peleton. Saya termasuk angkatan pertama yang berlatih di Bogor. Latihan calon perwira amat keras. Kena tempeleng itu biasa. Tapi saya belum pernah ditempeleng. Pagi, siang, malam, terus latihan. Praktis tidur cuma enam jam. Padahal waktu itu musim hujan. Mestinya kami berlatih selama enam bulan. Entah bagaimana, cuma dilangsungkan tiga bulan. Kalau saya bandingkan dengan latihan di CORO, latihan di PETA itu luar biasa hebat. CORO itu latihan militer untuk ndoro, priyayi. Lha, wong Jepang sudah sampai di Singapura, tapi latihannya itu-itu juga, baris-berbaris dan menghafal teori. Pelatihnya pun terdiri atas para perwira Londo, Belanda, yang belum pernah berperang. Makanya, waktu Jepang menyerang, ada komandan yang bunuh diri. Juga banyak komandan yang tidak mau bagi memimpin prajurit. Lha, ini komandan apa. PETA lain. Kami dilatih oleh perwira-perwira yang terlibat pertempuran di Cina. Hebat. Bayangkan, bila 17 Agustus 1945 tidak ada PETA yang jumlahnya 65 batalyon atau kira-kira 70.000 perajurit, mau apa kita? Tentara KNIL sudah dibubarkan. PETA-lah yang memegang peranan. Makanya kemudian kita memilih Soedirman, anggota PETA, sebagai Panglima Besar. Dia tahu kemampuan dan keterbatasan pasukan kita. Delapan belas bulan orang-orang PETA tidur bersama-sama di bawah satu atap--sejak PETA dibentuk hingga Jepang kalah perang. So we know well each other. Karena pengalaman mengikuti PETA pula mengapa saya ditunjuk menjadi kepala staf angkatan darat. Bung Hatta tidak puas terhadap lulusan dari Breda. "Jangan-jangan mereka nanti mendidik perwira-perwira seperti di Breda, yang bisanya cuma mundur, bubar," kata Bung Hatta waktu itu. Pak Harto juga orang PETA. Beliau masuk dalam PETA khusus, yaitu pasukan yang dididik untuk gerilya. Mereka dilatih di Jaga Monyet, Jakarta. Sebelumnya mereka dilatih di Bogor. Pada 1945 itu boleh dikatakan ada tiga kelompok militer: PETA, bekas KNL, dan lasykar rakyat. Yang dari lasykar, misalnya Hizbullah, Pasukan Banteng, dan sebagainya. Para perwiranya terdiri atas mereka yang lulus dari Akademi Militer Mister Cornelis Jatinegara), seperti Pak Uripsoemohardp, lalu dari Akademi Militer Breda, Akademi Militer Bandung, dan darl PETA. Dari merekalah TNI terbentuk. Itu sebabnya pada 1947 kita mengadakan rekapitulasi dan rasionalisasi TNI untuk menghasilkan tentara reguler yang lebih baik. Selepas kemerdekaan, saya diminta oleh Pak Urip Sumahardjo Kepala Badan Keamanan Rakyat) membentuk satu batalyon BKR di Surakarta. Saya dipilih menjadi komandannya. Belum lagi lima bulan (kalau tak salah pada bulan Oktober 1945) BKR kami dua kali diminta membantu dor-dor-an dengan Jepang di Semarang. Di situ ada lelucon. Dulu sih tak terasa lucu, tapi sekarang mungkin lucu. Begini. Jepang mengusulkan gencatan senjata. Yang diutus oleh Pak Urip adalah Umar Slamet (ini bukan Slamet Riyadi, Iho). Mas Slamet juga bekas PETA dan Komandan BKR di Yogya. Kami pernah berlatih bersama di Bogor. Sekarang dia sudah almarhum. Sekitar pukul 18.30 saya dijemput Mas Slamet, padahal perundingan direncanakan pada pukul 12 malam. Dia rupanya ngeri sebab di markas Jepang ada senapan mesin Jepang. Akhirnya kami pergi bertiga--Mas Slamet, saya, dan Hadiwinangun (bekas Residen Cirebon)ke Jatingaleh--ke markas Jepang yang dijadikan tempat perundingan itu. Di markas Jepang terlihat banyak orang Jepang yang luka akibat pertempuran dengan anak-anak kita. Sebaliknya, di pihak kami juga banyak korban. Saya berbisik kepada Mas Sbmet sambil berjalan menuju ruang perundingan, "Mas, pokoknya kita harus selamat keluar dari sini." Perundingan dilakukan di ruangan komandan Jepang yang luas. Dia mempersilakan kami. Jleg! Kami duduk. Buiu kuduk saya berdiri sekaligus bangga karena bisa duduk sederajat dengan komandan Jepang. Tanpa banyak basa-basi kami segera membuka perundingan. Mas Slamet minta agar Jepang menyerah kepada pemerintah Indonesia. Jepang bngsung nggebrak! Dan Mas Slamet berbisik kepada saya, "Mas Djati, kalau kita mati di sini tidak ada orang tahu." Saya diam saja. Apa yang dikatakan Jepang? "Tidak ada ketentuan bahwa kami harus menyerah kepada pemerintah Indonesia. Kami hanya akan menyerah kepada Tentara Sekutu." Perundingan gagal. Syukurlah, kami dapat keluar dengan selamat. PERANG GURU YANG BAIK SELESAI Perang Dunia n Belanda harus membangun kembali negaranya yang rusak. Negeri Belanda itu rusak betul, Lho. Dari mana memperoleh uang. Tentunya mereka berharap dari jajahan-jajahannya. Dan yang memasukkan devisa paling besar waktu itu adalah perkebunan-perkebunan. Maka mereka membonceng Sekutu memasuki Indonesia, untuk menjajah negeri ini kembali. Letnan Gubernur Jenderai Van Mook, pemimpin tertinggi Belanda di Indonesia setelah PD 11, mengerahkan tentaranya ke Jawa dan Sumatera, dua pulau yang memiliki banyak perkebunan. Tentu saja van Mook tahu daerah-daerah mana yang perlu diprioritaskan. Sebab, dia adalah Direktur Departemen Urusan Ekonomi di Batavia sebelum PD II. Tapi Jenderal Spoor, yang memimpin tentara Belanda di Indonesia, harus menghadapi kenyataan yang sama sekali di luar dugaannya. Rakyat Indonesia melawan dengan gigih. Kepala intelejen Belanda di Australia rupanya memperoleh laporan yang salah. Intelintelnya melaporkan bahwa keadaan Indonesia belum berubah. Spoor mengira bila Belanda mendarat, mereka akan diterima dengan baik oleh rakyat. Dia tidak memahami bahwa selama Belanda pergi ada yang namanya PETA yang jumlahnya 65 batalyon atau kira-kira 70 ribu personel. Kalau jumlah tentara PETA dijadikan divisi, maka jumlahnya 7 divisi (1 divisi adalah 9 batalyon). Jumlah TNI kita memang 7 divisi. Bulan November--sebulan setelah bertempur melawan Jepang di Semarang--Pak Urip memanggil saya lagi. Dia bilang, "Kamu jadi panglima divisi. Pilih yang mana?" Maka, sejak 1 November 1945 sampai 1 Juni 1945 saya menjabat sebagai Panglima Divisi IV Tentara Republik Indonesia (TRI), bermarkas di Salatiga. Wilayah pertahanan saya meliputi Keresidenan Pekalongan, Semarang, dan Pati. Di daerah-daerah itu Sekutu sudah masuk. Ha... waktu itulah saya berhadapan dengan Sekutu yang berintikan tentara Inggris di dataran tinggi Rawa Pening dan Semarang. Saya pernah pula menjadi delegasi perundingan genjatan sejata di Semarang. Sekutu memang pernah mencoba memasuki Jawa Tengah lewat Magelang, tapi kami dorong lagi ke Ambarawa dan Semarang, lalu akhirnya ke Surabaya. Begitu bersemangatnya perlawanan rakyat dan tentara kita. Banyak yang berkata, "Pak, habiskan itu Inggris." Saya jawab, "Mereka habis, kita juga habis." Lha, mereka lebih terlatih ketimbang kita, kok. Persenjataannya pun lebih lengkap, canggih lagi. Nganggo montor mabur, nggago mortir, nganggo panser, nganggo reno-reno (memakai pesawat terbang, mortir, panser, dan macam- macam). Lagi pula kebanyakan dari tentara Inggris itu orang India dan Pakistan, yang disebut Gurkha. "Mereka itu kawan kita. Bukankah India dan Pakistan sendiri ingin merdeka? Mengapa harus kita bunuh? Dorong saja ke Surabaya," kata saya. Tentara Inggris sendiri tampaknya tak terlalu bersemangat bertempur dengan kami. Sebab, tugas mereka sebenarnya adalah melucuti tentara Jepang, bukan bertempur melawan bangsa Indonesia. Jepang sudah dilucuti, jadi apalagi? Mungkin itulah yang mendorong Inggris mengajak kita mengadakan perjanjian gencatan senjata di Semarang, kalau saya tidak lupa, pada bulan Maret 1946. Lalu mereka mundur ke Surabaya. Praktis di Jawa Tengah dan Jawa Timur Sekutu hanya berada di daerah pesisir, seperti Surabaya. Seingat saya, kota di pedalaman yang bisa dimasuki Sekutu adalah Bandung. Saya nggak pemah mengerti mengapa mereka berhasil memasuki Bandung. Padahal medannya lebih berat ketimbang Jawa Timur. Untuk mencapai Bandung kan harus melalui daerah bergunung-gunung. Mengapa pasukan kita tidak menggugurkan gunung-gunung itu untuk menghambat Sekutu? Atau menghancurkan jembatan-jembatan besar yang curam itu. Juni 1946 terjadi reorganisasi di jajaran tentara. Saya ditunjuk menjadi Panglima Divisi V (1 Juni 1946 - 1 Maret 1948). Wilayah teritorial saya meliputi Bojonegoro, Pati, dan Muncung. Divisi V disebut juga dengan Divisi Ronggolawe, ini nama seorang senopati Majapahit yang berhasil menangkal ekspedisi tentara Kubilai Khan. Anggota pasukan saya antara lain Sudharmono (sekarang wakil presiden) dan Ismail Saleh (menteri kehakiman). Mula-mula markas saya berada di Mantingan, persis di tengah hutan jati. Di masa itulah, dan di hutan jati pula, saya mengawini Raden Ayu Suharsi, tepatnya pada tahun 1947. Aneh juga, Wong, manten anyar (pengantin baru), kok di tengah hutan. Kelak, kami dikaruniai tiga orang anak dan lima cucu. Aksi polisionil Belanda I pecah tahun 1947. Waktu itu saya sudah Panglima Divisi V Ronggolawe. Perlawanan rakyat berkecamuk di Jawa Timur. Duiu aya khawatir Belanda menyerang saya. Ternyata mereka tidak terlalu peduli pada hutan jati yang menyebar luas dari sebelah timur Bojonegoro sampai Kedung Jati, dan ke sebelah selatan hingga Ngawi. Kami tidak berdiam diri. Saya mengerahkan pasukan ke sektor Gresik-Lamongan. Dalam suasana seperti itu ternyata banyak perwira dan taruna kita yang rewel. Ada yang maju-mundur untuk turun ke medan pertempuran. "Kita harus ikut bertempur," begitu saya tegaskan kepada perwira-perwira dan taruna-taruna itu. Mereka berkata, "Kalau gugur bagaimana?" Saya jawab, "Lho, perang kok tanya kalau gugur. Kalau prajurit- prajurit biasa boleh gugur, apa kamu tak boleh gugur? ini pelajaran, guru perang terbaik adalah perang itu sendiri. Sekarang ada kesempatan untuk perang, ada musuh di depan mata. Cari musuh itu susah, mahal." Agustus 1947 saya memindahkan markas ke Cepu tempat minyak. Situasinya sudah berubah. Pertempuran dengan Belanda mereda. MENJADI JEMBATAN PIKIRAN TAHUN 1948 Pemerintah Republik memanggil saya ke Yogya. Waktu itu sudah Kabinet Hatta, menggantikan Kabinet Syahrir. Sejak saat itu saya semakin dekat dengan Bung Kamo. Saya berkenalan dengan beliau pada tahun 1947, ketika Panglima Besar Soedirman mengajak saya menghadiri sidang-sidang Dewan Siasat Militer, lembaga yang dipimpin langsung oleh Bung Kamo. Di situ ternyata saya cukup diperlukan. Terus terang saja, di antara kawan-kawan militer yang lancar berbahasa Inggris dan Belanda kan saya. Pak Dimman sendiri mengenal Bung Kamo baru setebh Pak Dimman menjadi Panglima Besar, Iho. Nah, untuk menghadapi orang-orang pintar, seperti Bung Hatta, Syahrir, Bung Kamo, dan menteri-menteri, Pak Dirman membawa saya. Mungkin karena beliau merasa sebagai orang desa, guru sekolah Muharnmadiyah, yang agak sulit memahami cara berpikir tokoh-tokoh brilyan di kabinet. Saya sendiri mengakui bahwa Bung Kamo, Bung Hatta, dan lain-lain adalah orang hebat yang berpikir secara modem dan pernah belajar di mana-mana. Sebaliknya, banyak anggota kabinet yang tidak memahami jalan pikiran Pak Dimman, Gatot Subroto, dan para pemimpin militer yang umumnya dari desa. Itu sebabnya saya juga dipercayai oleh anggota kabinet dan pemimpin-pemimpin militer untuk menjembatani mereka. Sekali waktu, seusai sidang Dewan Siasat Militer, Bung Kamo bilang pada saya, "Lain kali jangan mengajak Gatot Subroto." Saya tanya kenapa. "Aku ndak mengerti pikirannya," jawab Bung Karno. Lha, Gatot itu blak-blakan. Dia pernah bilang, "Aku iki wong bodo. Sekolah dasar wae ora rampung." (Aku ini orang bodoh. Sekolah Dasar saja tidak selesai.) Memang komandan-komandan resimen umumnya dari desa. Ada guru Taman Siswa, guru Muhammadiyah, ada kiai, dan sebagainya. Kolanel Sungkono (sebelum Rekapitulasi berpangkat Mayor Jenderal, lalu diturunkan menjadi Kolonel), Panglima Divisi VI Jawa Timur, pendidikannya cuma sampai sekolah dasar. Tapi harus dicatat, di kalangan rakyat yang didengar justru orang-orang militer ini. Pak Sungkono, Gatot Subroto, Pak Dirman, misalnya. Makanya sering saya katakan PETA adalah satria bambangan--satria dari desa. Seumpama mereka bukan dari desa, kami tak akan mendapat dukungan orang desa. Mereka mendukung karena anak-anak mereka menjadi prajurit kami. Rakyat pula yang menyediakan logistik untuk tentara. Dalam Dewan Siasat Militer sering dibicarakan kemungkinan Belanda menyerang kembali. Dan kami yakin itu akan terjadi. Kami pun bersiap-siap dan berbagai alternatif sudah dipikirkan. Misalnya, ada rencana Bung Kamo dan Bung Hatta akan diungsikan luar negeri bila Belanda menyerang. Alternatif lain, para pemimpin negara, termasuk Bung Karno dan Bung Hatta, akan ikut bergerilya bersama-sama militer dan rakyat. Dewan juga telah merencanakan untuk membentuk Pemerintahan Darurat Republik Indonesia (PDRI), untuk membuktikan pada dunia bahwa Pemerintah Republik yang sah masih ada. Di samping itu diputuskan pula untuk membentuk wadah setiap angkatan, termasuk angkatan darat. Nah, Bung Karno mengusulkan agar kepala staf angkatan adalah orang yang mengenal lawan dan kawan. Kebetulan saya dianggap memenuhi syarat menduduki jabatan kepala staf angkatan darat (KSAD) yang pertama (1 Maret 1948 -1 Mei 1950). Belanda akhirnya benar-benar menyerang Yogyakarta, 19 Desember 1948. Harl itu juga Dewan Siasat Militer bersidang. Bung Karno, Bung Hatta, dan sejumlah anggota kabinet lainnya tetap tinggal di istana. Diputuskan juga untuk membentuk PDRI di Bukittinggi dan sebagian lagi di Aceh. Teman-teman PDRI yang masih hidup antara lain Jenderal Hidayat, Jenderal Askari. Semula di Jawa juga ada anggota Kabinet PDRI, misalnya, Menteri Soepeno yang kemudian gugur. Dl New Delhi, India, juga dibentuk wakil Pemerintah di luar negeri. Mengapa Bung Karno dan anggota kabinet tidak lari ke luar negeri atau ikut bergeriilya? Bila mereka ke luar negeri, Belanda tentu punya alasan untuk menyatakan Republik sudah tenggelam, dan menyatakan perlawanan rakyat Indonesia adalah tindakan kriminal. Kalau mere ka ikut bergerilya, siapa yang bisa menjamin keselamatan mereka? Belanda tentu akan berusaha membunuh mere- ka, sedangkan kemampuan pasukan kita belum cukup tangguh. Dengan adanya PDRI dan wakil pemerintah Republil di luar negeri, ekslstensi negara Indonesia tetap ada. Dan ketika Bung Karno dan Bung Hatta ditangkap Belanda, mereka hanyalah warga negara Indonesia biasa. Dengan demikian Belanda tidak bisa menyatakan Republik telah tenggelam karena kita masih memiliki Pemerintah Darurat. Hampir seluruh anggota kabinet hadir daiam sidang Dewan Siasat Militer itu Tapi, sepengetahuan saya tidak ada yang dari TNI. Meskipun Panglima Besar Soedirman, T.B. Simatupang, Suryadharma, ada di istana waktu itu. Waktu itu A.H. Nasution berada di jawa Timur. Lapangan Terbang Maguwo (sekarang Adisucipto) sudah jatuh ke tangan Belanda. Saya tidak tahu mengapa Nasution tidak memasuki kota (Yogyakarta), melainkan ke Batu Ceper. Padahal jarak antara Yogya dan Batu Ceper paling-paling cuma 40 kilometer. Bisa saja ditempuh dengan 12 jam jalan kaki. Waktu itu, sebagai KSAD, saya berkantor di kantor Menteri Pengairan, di selatan Maguwo. Selain sebagai KSAD waktu itu saya juga bertanggung jawab atas keselamatan para taruna. Jumlahnya tak banyak, kira-kira 150 orang. Mereka ini adalah calon perwira pengganti. Saya juga tidak hadir dalam sidang Dewan Siasat Militer itu. Latif Hendraningrat, Panglima Komando Militer Yogyakarta Kota, dua kali menelepon saya. Dia bilang, "Kau dipanggil Bung Kamo ke istana." Saya jawab, "Sidang Kabinet toh akan jalan tanpa saya. Kalau saya pergi dari sini, para taruna ini akan buyar." Saya juga titip pesan kepada Latief agar disampaikan kepada Bung Karno, "Kalau sampai pemerintah dan kepala negara ke luar negeri, kita bisa dinyatakan tenggelam." Mengapa saya tidak ke istana dan memilih bertahan di markas? Perhitungan saya, kalau saya pergi ke Istana, para taruna akan buyar Asrama itu terletak tidak jauh dari marka Brigade Soeharto. Sebelum 19 Desember saya sudah melihat gelagat bahwa Belanda akan menyerang. Saya bilang kepada para taruna, "Sekarang kita ke luar kota, menghadang Belanda di Semaki." Ketika itulah Pak Harto datang. Dia menanyakan langkah-langkah apa yang harus diambil. Saya tanya, pasukannya di mana? Menurut perintah Panglima Besal Soedirman, pasukan Brigade Soeharto ditempatkan di sepanjang jalan antara Karanganyar (Bagelen) dan Wates (Yogyakarta). Jadi di dalam kota hnya ada salu kompi. Satu peleton di Maguwo, dua peleton di sebelah barat. Saya bilang kepada Pak Harto, "Saya mau menghadang Belanda di Semaki." Sesampai di Semaki, saya bertemu dengan satu regu CPM. Saya bertanya kepada mereka, "Mana batalyon yang mestinya di cini?" Mereka menjawab, "Sudah berangkat tadi malam." Seluruh pasukan Siliwangi yang berada di Semaki (satu balyon) dan di Jembatan Gajah Wong (dua batalyon) sudah pergi. Praktis Yogyakarta kosong. Yang tinggal hanya satu kompi Brigade Soeharto, dua kompi taruna di bawah tanggung jawab saya, dan sejumlah lasykar. Praktis, sewaktu memasuki Yogyakarta, Belanda tidak memperoleh perlawanan. Seandainya pasukan Siliwangi tidak pergi, keadaannya mungkin akan lain. Mungkin bisa ramai. Selesai berperang, saya katakan kepada mantan Kepala Staf Divisi Belanda di Jawa Tengah. "You hebat betul." Dia menjawab dengan agak heran, "Sebetulnya kami menurunkan satu atau dua kompi pasukan payung hanya untuk mengacau saja. Kami sudah perhitungkarn mereka akan habis. Tapi ketika kami mendarat kok tidak ada perlawanan?" Teryata pesawat Belanda sedikit. Lha, wong yang menerjunkan pasukan payung itu hanya tiga pesawat Dakota DC-2 yang diterbangkan dari Andir, Bandung. Sesuai menerjunkan pasukan di Yogya, pesawat-pesawat ini pula yang diperintahkan ke Semarang untuk mengangkut batalyon cadangan ke Maguwo. Dan tiba di Yogya 20 Desember, sehari setelah awai penyerbuan. Belanda juga melancarkan serangan melalui darat. Belanda masuk ke Yogyakarta kan menyusup melalui Boyolali, daerahnya Slamet Riyadi. Slamet-lah yang bertugas menahan Belanda di daerah itu. Namun, pertahanan Slamet bobol. Maklum, pasukan Slamet paling-paling cuma satu batalyon sedangkan Belanda dua batalyon. Belanda kemudian menyerbu Kaliurang, ke markas Komisi Tiga Negara (KTN), tidak langsung ke kota (Yogyakarta). Memang sasaran Belanda adalah Kaliurang, untuk mengisolasi tim KTN yang ditugaskan oleh PBB. Setelah perjanjian Renville, PBB meman sudah mengambil alih penanganan atas konflik Indonesia- Belanda--hal yang belum dilakukan setelah Perjanjian Linggarjati. Dengan isolasi tersebut KTN tidak bisa berhubungan dengan Dewan Keamanan PBB utuk melaporkan tindakan Belanda yang menyerang Yogyakarta tanpa restu PBB. Posisi saya tidak diserang, karena Belanda memang tidak punya pasukan. Baru setelah saya pindah ke utara, Belanda sering mengadakan patroli, tapi tidak berhasil menduduki markas. Sekali-sekali terjadi pertempuran kecil-kecilan Menjelang KMB, Konperensi MeJa Bundar, saya masih bolak-balik Jakarta-Yogya. Saya menjadi anggota Gencatan Senjata Pusat di Jakarta, khusus di bidang militer. Ketuanya Pak Wongsonegoro. PERISTIWA 17 OKTOBER TAHUN 1950 berlaku Undang-Undang Dasar Republik Indonesia Serikat (UUD RIS) yang bersifat liberal demokratis. RIS memang telah dibubarkan pada Agustus 1950. Tetapi UUD-nya tetap jalan. Baru kemudian diganti dengan UUD Sementara yang juga liberal demokratis. Ya, dengan segala hommat pada rekan-rekan politisi, waktu itu usia kabinet rata-rata hanya 18 bulan. Bagaimana mereka sempat memikirkan program kerja dan pembangunan. Banyak menteri yang tidak tahu harus melakukan apa. Kekuasaan formal memang di tangan kabinet. Tetapi nyatanya yang didengar hanya Bung Karno. Rakyat jadi tidak tahu di mana letak kekuasaan itu sebenarnya. Pernah sekali waktu terjadi peristiwa lucu yang sebenarnya sangat serius. Partai-partai politik tidak bisa membentuk kabinet. Akhirnya Bung Kamo mengeluarkan Surat Keputusan yang bunyinya begini "Presiden Republik Indonesia, Sukarno. Dengan ini menunjuk warga negara Indonesia Sukarno untuk membentuk kabinet." Sekarang kita boleh tertawa. Tetapi dulu itu masaiah serius. Lalu pemimpin-pemimpin partai politik dikumpulkan di istana. Saya lupa, di Istana Bogor atau istana Merdeka. "Sudah, sekarang bentuk kabinet," kata Bung Kamo. "Nanti dulu, Bung. Kami perlu bicara dengan pimpinan partai lainnya," jawab orang-orang partai. "Lho, katanya kamu itu pemimpin rakyat. Kok, begini saja mesti mengadakan pembicaraan dulu. Boleh. Silakan," Bung Kamo menyahut. Mereka angkat telepon. Padahal semua telepon sudah diputus. Akhimya terbentuk kabinet Ali Sastroamidjojo (PNI), minus Masyumi. Sesudah itu keluar lagi Surat Keputusan Soekamo. "/Dengan Ini warga negara Soekarno menyerahkan kembali tugasnya kepada Presiden Republik Indonesia Soekarno." Coba, coba, bayangkan. Kacau. Dalam setting kekacauan kabinet itulah peristiwa 17 Oktober 1952 terjadi. Saya memang aktif dalam gerakan tersebut. Ketika itu saya perwira tinggi di Kementerian Pertahanan. Jabatan saya Kepala Biro Perancang Operasi merangkap Kepaia Biro Pendidikan Pusat (1 Juii 1950--1 November 1952). Sayalah yang mula-mula mengambil inisiatif mengumpulkan para pimpinan TNI (AU, AD, AL) di aula Hankam sekarang. Saya bilang, "Mbok ya sekarang kita kembali saja ke UUD 1945. At least kita bisa tahu siapa yang harus bertanggung jawab atas kekuasaan yang ada menurut UUD 1945 itu. Sebab, kenyataannya, rakyat hanya mendengar Bung Kamo, Presiden. Padahal ada Perdana Menteri selaku pemegang kekuasaan pemerintahan." Tidak tercapai konsensus dalam pertemuan itu. Entah bagaimana ceritanya, apa yang telah saya mulai itu dioper oleh Markas Besar Angkatan Darat, yang KSAD-nya waktu itu A.H. Nasution. Sementara itu, suara-suara dari kaum politisi tentu saja menentang. Mereka tetap menginginkan liberalisme. Tapi bagaimana kita bisa membangun kalau sebentar-sebentar kabinet diganti? Bagaimana membicarakan kembalinya Irian Barat kaiau setiap 18 bulan ada kabinet baru? Hubungan miiiter dengan sipil memang tak enak. Kami begitu mendongkol pada oknum-oknum partai. Mau tidak mau, peristiwa lama diungkit pula: waktu perang gerilya kaiian di mana? Ketika itu tidak ada orang-orang partai yang turun ke tengah rakyat, membantu gerilya. Yang pemah saya jumpai cuma Jaksa Agung Kasman Singodimedjo. Beliau dua kali berjalan dari Jawa Barat ke Jawa Timur, bolak-balik. Maklum, beliau itu kan bekas PETA. Jadi, tidak takut. Politisi lainnya? tidak ada. Jangankan membantu, memberi semangat kepada rakyat saja tidak. Pada hari kejadian (17 Oktober) saya baru minum kopi bersama sejumlah perwira senior, seperti T.B. Simatupang, Dan Yahya, dan lain-lain di Kementerian Pertahanan. Di luar terdengar ramai-ramai demonstrasi. Tak lama kemudian kami mendapat telepon dari Istana, disuruh datang. Dalam perjalanan ke Istana, saya melihat meriam, tank, panser nongkrong di kantor telepon dekat Istana. Sampai di Istana, ternyata sudah ada KASAD Nasution dan perwira-perwira senior lainnya. Bung Kamo dan Bung Hatta juga sudah ada. Saya dan T.B. Simatupang bergabung. Di situlah perwira-perwira TNI mengusuikan untuk kembali ke UUD 1945 dan agar parlemen dibubarkan dalam waktu dekat ini. Ada kejadian lucu lagi. Sesudah usul TNI disampaikan, kami omong-omong santai. Kawilarang mau merokok. Dia berada di sebelah saya. Saya sederet dengan Askari dan Kawilarang. Asbak ada di depan saya. Saya berikan kepada Askari supaya diteruskan kepada Kawilarang. Waktu dipegang Askari, mrucut, jatuh ke lantai dan pecah, derr. Wartawan-wartawan di luar mengira ada apa-apa. Mereka pikir keadaan di dalam tegang betul. Padahal cuma asbak jatuh. Ada anggapan kekacauan itu disebabkan karena Partai Sosialis Indonesia (PSI) ke tubuh TNI. Sebenarnya tidak begitu. Yang menjadi Sekretaris Jenderal Pertahanan waktu itu adalah Ali Budiardjo. Dia itu PSI. Simatupang juga dituduh PSI karena istrinya adalah adik Ali Budiardjo. Tapi, sepengetahuan saya, tidak. Simatupang memang banyak didengar oleh orang-orang PSI karena dia memang brilyan. Tapi keliru kabu dia disebut sebagai PSI. Nasution juga bukan. Waktu itu dia sudah tidak punya kekuatan apa-apa. Orang-orang partai menghendaki dibentuknya tentara profesional meniru Barat. Sebagian kecil perwira militer pun berpikir begitu. Haa, mungkin ini yang dimaksud adanya orang partai yang menyusup ke militer. Tapi sebagian besar TNI menolak. Karena kalau kami meniru Barat berarti mengkhianati rakyat. Sebab, sejarah TNI tidak terlepas dari peranan rakyat. Rakyat-lah yang membantu dalam perang gerilya. Militer-lah yang didengar rakyat ketika para politisi tidak bisa menjalankan pemerintahan. TNI bukan hanya sekadar alat politisi sipil Apalagi kalau sipilnya semau gue. Cekcok terus. Sampa akhimya konflik di mana-mana. Kalau nasi sudah jadi bubur, militer yang disuruh menyelesaikan. Lihat peristiwa DI-TII, PRRI-Permesta. Militer disuruh menembak bangsa sendiri. Siapa yang senang menembaki bangsa sendiri? Mereka sebagai politisi, enak. Kalau sudah tidah bisa menyelesaikan masalah bisa mundur. Lha, militer? Masa, tentara dibubarkan? Kan tak mungkin. Sesudah peristiwa 17 Oktober itu Nasution diberhentikan sebagai KSAD, digantikan oleh Bambang Sugeng. Gatot Subroto (wakil Kasad) juga dicopot. Saya sendiri disuruh ke Amerika, ke Port Levenberg. Saya bilang, saya tidak mau. Sebab, Levenberg itu jatah untuk Panglima Divisi. Saya ini bekas Kasad. Akhirnya, saya disuruh ke Bandung, menjadi Komandan Sekolah Staf dan Komando Angkatan Darat (SSKAD, sekarang Seskoad), menggantikan Mokoginta. Di situ saya menjabat sejak 1 November 1952 sampai 13 Februari 1955. Sedangkan yang disuruh ke Levenberg adalah Mokoginta. Dia paling aktif menyiapkan peristiwa 17 Oktober itu. Gatot Subroto pulang ke Ungaran. Saya disebut-sebut sebagai calon pengganti Nasution sebagai Kasad. Kalau itu benar, saya nggak akan mau. "Wong Jowo iku ora ilok mbaleni sego wadang." (Tidak pantas bagi orang Jawa memakan kembali nasi basi). Dulu saya pernah Kasad. Lagi pula saya ini termasuk biang keladi 17 Oktober. Mana mungkin Bung Karno memilih saya. Kemudian saya menjadi Direktur Zeni Angkatan Darat (29 Februari 1955-24 Juni 1958). Di dalam pasukan Zeni itu ada Try Soetrisno (Pangab sekarang) dan 51 orang yang memiliki kemampuan rata-rata sama. Misalnya, Dirjen Imigrasi sekarang, Rony Sikap Sinuraya. Beberapa di antara mereka ada yang menjadi gubernur. Semasa menjadi Direktur Zeni saya pernah membantu Panglima Jamin Ginting menyelesaikan PRRI/Permesta. Saya ada di Sumatera kira-kira lima bulan. Saya berusaha agar konflik tersebut dapat diselesaikan tanpa meninggaikan rasa sakit hati. Boleh dikatakan saya bertindak sebagai penengah antara pihak Jamin Ginting (pemerintah) dan Kolonel Simbolon (PRRI). Saya bilang kepada orang PRRI, "Kalau memang Pemerintah tidak becus melaksanakan pembangunan, dengan cara kalian ini pelaksanaan pembangunan akan lebih jauh lagi." Saya juga ingin menunjukkan kepada dunia luar bahwa PRRI adalah persoalan dalam negeri yang bisa diselesaikan dengan baik. Negara lain tak usah campur tangan. Anda tahu kan, AS ketika itu diduga terlibat membantu PRRI. KONFRONTRASI INDONESIA-MALAYSIA BUNG Karno menunjuk saya sebagai duta besar luar biasa dan berkuasa penuh di Malaya (1 Juni 1963--25 Agustus 1963). Jadi sebelum sempat terbentuk Malaysia, saya sudah ditarik pulang. Saya ini bangsawan, orang keraton. Bung Karno tahu yang paling berkuasa di Maldya juga keluarga bangsawan. Suatu malam diadakan pertunjukan kesenian Indonesia. Saya dipersilakan duduk di kursi yang biasanya dipakai oleh Yang Dipertuan Agung, kepala negara Malaya. Kawan-kawan duta besar dari negara sahabat mengomel, "Mengapa you, Duta Besar Indonesia, duduk di tempat yang cuma diperuntukkan Yang Dipertuan Agung?" Sambil bergurau saya menjawab, "Begini. Rakyat Malaya itu separuh kepunyaan Yang Dipertuan Agung, separuh lagi kepunyaan saya. Soalnya, Yang Dipertuan Agung itu keturunan Bugis." Orang sering tidak tahu apa yang dihasilKan oleh Kabinet Dwikora. Ketika itu saya ikut menyusun Deklarasi Malaya, Filipina, Indonesia (Maphilindo)-suatu kawasan damai di Asia Tenggara. Indonesia dan Malaya mengakui Mindanao sebagai bagian integral dari Filipina. Tetapi Indonesia dan Malaya minta otonomi yang seluas-luasnya untuk wilayah itu. Yang penting lagi adalah Malaya, Filipina, Indonesia tidak akan menerima pangkalan asing. Apabila masih ada pangkalan asing di kawasan ini, sifatnya hanya sementara. Pangkalan asing itu juga tidak boleh dipakai untuk melancarkan subversib ke negara tetangganya. Ternyata Malaya merasa keberatan melaksanakannya. Tentara Inggris masih berada di negara itu. Bung Karno tidak suka. Inilah yang mempertajam konfrontasi. Maklum, selain sedang dilanda gelombang anti-Barat, kita masih mencurigai Inggris. Bung Karno menghendaki agar pemerintah Malaya tidak memberi izin kepada Inggris membangun pangkalannya di sana. Tetapi pemerintah Malaya mempertahankannya. Kata Pemerintah Malaya, "Apa sih Indonesia maunya? Kalau Inggris keluar dari sini, saya harus menghadapi kaum komunis Cina. Indonesia enak. Kaum komunisnya orang Indonesia sendiri." Bung Karno tidak menerima alasan tersebut. Hubungan Indonesia-Malaya pun semakin runcing. Saya dipanggil pulang dan didudukkan menjadi Penasihat Presiden untuk urusan konfrontasi. Praktis, saya menjadi Dubes di Malaya hanya kira-kira 100 hari. Sebagai penasihat, saya mencoba menyadarkan Bung Karno bahwa desakannya--agar Malaya mengusir Inggris--momentumnya tidak tepat. Kalau dipaksakan justru akan menyulitkan Malaya karena persoalan komunis Cina itu. Di tengah suasana runcing itu datang Jaksa Agung Amerika Bob Kennedy, adik Presiden Amerika Robert Kennedy. Bob menyarankan agar Bung Karno membubarkan Dwikora dan mengadakan gencatan senjata. Bung Karno segera mengadakan sidang, dihadiri para menteri Kabinet Dwikora, membahas saran Bob itu. Saya juga hadir. "Bagaimana pendapat saudara-saudara?" kata Bung Karno. Saya memberikan pendapat: "Katanya kita ini tidak perang dengan Malaya. Mengapa sekarang kita akan mengadakan cease-fire? Artinya, kita mengakui perang dengan Malaya?" Bung Karno menggebrak meja. Brak! Pokoknya, saya perintahkan cease-fire (gencatan senjata). Menjelang meletusnya G30S-PKI, Bung Karno memang sudah menunjukkan sikap yang cenderung keras, ingin selalu didengar. Fisiknya sudah tidak baik. Sepuluh hari setelah peristiwa G30S-PKI, saya berangkat ke Kerajaan Maroko sebagai duta besar luar biasa dan berkuasa penuh. Saya tidak tahu persis kejadian-kejadian yang berkaitan dengan G30S-PKI. Selama di Maroko saya tidak banyak tahu perkembangan Indonesia. Rakyat Maroko, sepengetahuan saya, tidak mengikuti perkembangan terakhir di Indonesia. Mereka tidak mengikuti peristiwa G30S-PKI dan pergantian kehasaan yang terjadi--saya tidak mau mengatakan Bung Karno jatuh atau dijatuhkan. Walaupun di sana ada taman yang bernama Sukamo. Jadi sebenamya negeri kita dikenal di sana. Sebab, ketika Maroko baru saja merdeka, yang membiayai perjuangannya di PBB adalah Indonesia. Saya hanya setahun di Maroko. Kemudian pindah ke Prancis. Selanjutnya, sebagai purnawirawan, saya menjadi anggota Penqurus Besar Persatuan Pumawirawan Angkatan Bersenjata Republik Indonesia (Pepabri) dari 1970- 978. Lalu, dari 1978-1983 menjadi Wakil Ketua Dewan Pertimbangan Agung. Zaman Bisnis BERSAMAAN waktunya ketika saya diangkat menjadi anggota DPA, Pak Harto meminta saya untuk duduk di Tim P-7, sampai sekarang. Siapa bilang tim ini tidak penting? Tim Penasihat Presiden mengenai Pelaksanaan Penghayatan dan Pengamalan Pancasila (Tim P-7) adalah satu-satunya lembaga yang bisa omong dengan bebas dengan Presiden. Siapa yang bisa bicara blak-biakan dengan Pak Harto selain Tim P-7? Siapa? Apa ada menteri yang berani blak-blakan? Ora wani--tak berani. Secara rutin Tim P-7 sekali dua bulan atau sekali tiga bulan berbicara dengan Pak Harto. Setiap kali pertemuan berlangsung rata-rata sekitar satu setengah jam. Apa yang dibicarakan, itu rahasia kami. Selain di Tim P-7, saya menjalankan apa saja yang mau saya jalankan. Bisnis. Sekarang ini orang kan harus bisnis. Sekarang ini zaman economic built up. Saya bergerak di bidang apa saja. Macam-macam. Bidang pariwisita, perkayuan, bidang pendidikan teknik dan teknologi, dan bidang teknik sipil. Saya ini kan pernah menjadi Direktur Zeni, Menteri Pariwisata, dan Telekomunikasi. Sekolah saya teknik sipil. Nah, sekarang bagaimana memanfaatkan pengetahuan dan pengalaman itu untuk berbisnis membantu terciptanya economic built up. Dulu, sebagai anggota DPA, kita tidak boleh bisnis. Sekarang saya bukan DPA lagi. Maka apa salahnya saya menjalankan bisnis? Pensiun jenderal tidak cukup. Cuma Rp 300 ribu.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini