BAGI Robert Sudjasmin nasib baik agaknya bagaikan sepotong jarum yang mesti dicari di padang rumput. Nasib sial berkalikali dialaminya. Dimulai ketika iamembeli tanah seluas 8.230 m persegi di Kawasan Kelapa Gading Permai dari Kantor Lelang Negara di Jakarta seharga Rp 629 juta. Hampir dua tahun ini iatak kunjung dapat menguasainya. Tanah ini ternyata diklaim PT Summarecon Agung, developer Kelapa Gading Permai. Muncullah sengketa. Gara-gara persengketaan, dokter gigi yang juga pengusaha itu tak hanya gagal mewujudkan niatnya membangun rumah sakit di tanah yang disengketakan. Rumahnya di Kelapa Gading Permai, yang dibelinya dari Summarecon, disita pula oleh hakim. Dua pekan lalu, kemalangannya lengkap. Majelis hakim Pengadilan NegeriJakarta Utara, akhirnya mengabulkan gugatan Summarecon atas tanah sengketa itu. Robert dinyatakan kehilangan hak atas tanah yang dibelinya Rp 629 juta. Menurut keterangan Yusuf Abdullah, pengacara Robert Sudjasmin, kliennya membeli tanah yang disengketakan itu dari BPUN (Badan Urusan Piutang Negara) melalui lelang resmi di Jakarta pada 5 Maret 1990. Berdasarkan transaksi ini, Robert mengantongi sertifikat hak milik tahun 1974, yang diperkuat keterangan BPN (Badan Pertanahan Nasional). "Kalau tanah itu milik orang lain kan tidak mungkin dilelang BPUN," kata Yusuf Abdullah. Namun, pihak Summarecon yakin bahwa areal yang dibeli Robert itu merupakan bagian dari real estate Kelapa Gading Permai yang luas keseluruhannya 220 hektare. Pihak Summarecon mengaku telah membeli tanah itu sekitar tahun 1988 dari PT Raka Utama. Raka Utama sendiri membelinya dari Staf Umum Angkatan Darat (SUAD) pada tahun 1983. Majelis hakim yang dipimpin Thomas Sumardi menganggap bukti yang disodorkan Robert Sudjasmin tidak cukup kuat. BPUN, BPN, maupun Robert Sudjasmin dinilai tidak dapat menunjukkan lokasi tanah dengan jelas. "Jelas bukti-bukti itu asli, tapi palsu. Karena, ketika ditanya mereka tidak dapat menunjukkan lokasinya. Ini kan artinya tidak sah," kata Thomas. Hakim juga menunjuk alasan lain. Dalam persidangan, kata hakim, pihak BPUN tidak bisa menunjukkan catatan dan bukti lain pemakaian uang hasil lelang. "Mereka tidak dapat menunjukkan bukti, uang hasil penjualan lelang itu. Dengan begitu berarti jual-beli itu patut diragukan," ujar Thomas kepada Ivan Haris dari TEMPO. Alasan itu tentu saja janggal bagi pihak Robert Sudjasmin. Karena, jika hasil lelang di BPUN "menguap" entah ke mana larinya, tentu bukan tanggungjawabnya. Ia memiliki kuitansi pembelian tanah yang lelangnya diadakan secara terbuka. Sekali lagi Robert kena getahnya. Di samping itu di persidangan sebenarnya terungkap beberapa kejanggalan yang diabaikan hakim. Kejanggalan ini menjadi serius karena belakangan berekor dengan pelaporan dua saksi. Keanehan itu muncul di persidangan, ketika Summarecon menyodorkan salah satu bukti kepemilikan tanahnya. Bukti ini adalah daftar nama pemilik tanah ProyekSUAD yang kemudian dijual ke PT Raka Utama itu. Dalam daftar yang dikeluarkan pada 20 Juni 1967 itu tertera tanda tangan Soejono, selaku Wakil Komandan Komando Markas Staf Angkatan Darat (KOMASAD). Dalam persidangan, Soejono mengeluarkan pernyataan bahwa ia tidak pernah menandatanganinya. Ketika daftar itu dibuat, yang memuat tanda tangan Soejono bertanggal 20 Juni 1967, Soejonobelum menduduki jabatan Wakil Komandan KOMASAD. Ia menduduki jabatan itu baru pada 17 September 1970. Karena keterangannya diabaikan, pekan lalu Soejono melaporkan Summarecon ke polisi. Tuduhannya, pemalsuan tanda tangan. "Jelas Summarecon telah memalsukan tanda tangan saya," bunyi laporan Soejono. Kesumiran lain, terlihat pula pada akte tanah yang dipegang Summarecon. Akte ini tidak sesuai dengan dokumen yang ada di notaris. Namun, justru NotarisSoesilo Soemarsono dalam sidang tampil sebagai saksi dituduh mengubah akte asli sehingga berbeda dengan salinannya. Entah mengapa majelis hakim berpendapat memang notarislah yang mengubah akte yang asli. Soesilo, Seperti Soejono, melaporkan Summarecon ke polisi. Ia tidak terima dituduh telah mengubah akte asli yang dibuatnya pada 1985. "Buat apa saya mengubah akte. Saya kan tidak tahu enam tahun setelah dibuat akan terjadi sengketa antara Summarecon Agung dan Robert Sudjasmin," tulisnya di rubrik surat pembaca di media massa. Dengan adanya dua laporan itu, kasus sengaketa tanah Summarecon Robert Sudjasmin ternyata berekor. Namun, masih sulit ditebak bagaimana dampaknya pada keputusan hakim. Sebenarnya Robert Sudjasmin pernah melaporkankan pemalsuan bukti kepemilikan Summarecon itu. Perkara pidana ini sudah sempat disidangkan di PengadilanNegeri Jakarta Timur, tapi kemudian macet. Dengan menangnya gugatan perdata Summarecon, perkara pidana itu terancam gugur. Namun kini, ekor perkara perdata yang baru saja diputus berbalik ke situ. G.Sugrahetty Dyan K.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini