Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
"Deg-degan…, itulah perasaanku sekarang," ucap Ganjar Pranowo sebagai pembaca puisi pertama dalam Pesta Rakyat Hari Pahlawan yang digelar atas kerja sama Tempo, Bank Indonesia, dan Kreavi di Museum Bank Indonesia, Jakarta Barat, Kamis pekan lalu. Perkataan Gubernur Jawa Tengah itu mengundang tawa hadirin karena diucapkan seperti layaknya membaca sajak.
Ganjar mengaku lebih sering bermain ketoprak dan wayang orang. Dalam acara bertajuk "Boeng Ajo Boeng" itu, untuk ketiga kali ia membaca puisi di depan publik. Sebelum naik panggung, politikus PDI Perjuangan ini bercerita, musikus Sawung Jabo yang pertama kali "memaksa"-nya membaca puisi di panggung. "Saya datang ke suatu desa di Purworejo, tiba-tiba diminta naik ke panggung, dikasih puisi untuk saya baca. Terus kata dia (Sawung), 'Anda itu cocok baca puisi.' Saya ge-er, tapi pas lihat video rekamannya, jelek juga," ujarnya tergelak.
Kamis pekan lalu, Ganjar membacakan puisi "Elegi Jakarta" karya Asrul Sani dengan apik dan lantang. Padahal ia baru membaca teks puisi itu dalam perjalanan kereta Purwokerto-Jakarta pada hari yang sama.
Gubernur Bank Indonesia Agus Martowardojo juga mengaku baru berlatih pada siang harinya. Saat berlatih, ia disarankan anggota stafnya membaca puisi diiringi musik. "Saya nurut aja." Walhasil, saat Agus membacakan puisi "Surat Bertanggal 17 Agustus 1946" karya Saini K.M., seorang anggota stafnya ikut naik panggung memetik gitar.
Hal yang sama dilakukan Direktur Utama Perusahaan Umum Percetakan Uang Republik Indonesia (Peruri) Prasetio. Ia membacakan "Krawang-Bekasi" karya Chairil Anwar diiringi petikan gitar Direktur Pemasaran dan Pengembangan Usaha Peruri Atje Muhammad Darjan, yang memainkan lagu Gugur Bunga.
Aktris Julie Estelle Gasnier sempat berdiskusi dua jam dengan aktor Arswendi Nasution sebelum membacakan puisi "Kembalikan Indonesia Kepadaku" karya Taufiq Ismail. "Bang Wendi menjelaskan puisi itu apa. Aku riset soal Taufiq Ismail, berusaha mengetahui konteks puisinya," ujar perempuan berdarah Prancis ini.
Maudy Ayunda, yang juga turut hadir, mengaku tak melakukan persiapan berlebih. Ia mengatakan membaca puisi harus dari hati agar dapat turut dipahami pendengar. "Aku memilih seperti bercerita," ujar Maudy, yang membacakan "Selamat Pagi Indonesia" karya Sapardi Djoko Damono.
Sutradara Riri Riza membacakan "Misalkan Kita di Sarajevo" karya Goenawan Mohamad. Ia menilai puisi itu seperti lagu sedih, balada tentang sebuah tempat yang begitu kaya, yang tercerai-berai karena perang. "Ini puisi yang tepat untuk diingat terhadap sebuah peristiwa penting," ujarnya.
Adapun produser Mira Lesmana, dalam pemulihan radang pita suara, bersemangat membacakan "Dan Kematian Makin Akrab (Sebuah Nyanyian Kabung)" karya Soebagyo Sastrowardoyo. "Duh, yang pasti merasa ngilu. Puisi ini bagus sekali," ujar Mira.
Selain pembacaan puisi, aktor Lukman Sardi bersama aktris Happy Salma dan Chelsea Islan tampil sepanggung membacakan fragmen pilihan dalam "Tetralogi Buru" karya Pramoedya Ananta Toer. Ketiganya mewakili sosok Minke, Nyai Ontosoroh, dan Annelies Mellema. Lukman menghafal naskah itu sejak empat hari sebelumnya. Sedangkan Chelsea—pernah mementaskan monolog ini di teater—membaca ulang naskah dua hari sebelum pentas. "Ibaratnya sudah tahu perasaan Annelies seperti apa," tuturnya.
Pembacaan puisi itu turut diramaikan Sekretaris Negara Pramono Anung; Menteri Komunikasi dan Informatika Rudiantara; Menteri Desa, Pembangunan Daerah Tertinggal, dan Transmigrasi Eko Putro Sandjojo; Direktur Utama BPJS Ketenagakerjaan Elvyn G. Masassya; Presiden Direktur PT Telkomsel Ririek Adriansyah; CEO General Electric Indonesia Handry Satriago; Gubernur Lampung M. Ridho Ficardo; dan CEO Bukalapak Achmad Zaky.
Pembacaan puisi ditutup oleh Menteri Agama Lukman Hakim Saifuddin, yang membacakan karyanya sendiri, yakni "Api" dan "Sandikala". "Dua puisi ini saya pilih, yang isinya sesuai dengan kondisi dan harapan saat ini, bagaimana kita sedang dilanda amarah," katanya.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo