Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Wawancara

Komunikasi dengan Ulama Jangan Saat Genting Saja

14 November 2016 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

KETUA Umum Pengurus Besar Nahdlatul Ulama Said Aqil Siroj termasuk orang pertama yang disambangi Presiden Joko Widodo setelah demonstrasi 4 November lalu. Presiden menyampaikan terima kasih kepada pengurus organisasi itu karena selalu melantunkan pernyataan adem seputar unjuk rasa kasus dugaan penistaan agama oleh Gubernur DKI Jakarta Basuki Tjahaja Purnama tersebut.

Menjelang demonstrasi bertajuk Aksi Bela Islam II itu, misalnya, Nahdlatul Ulama meminta anggotanya—berjumlah lebih dari 40 juta orang—aktif menenangkan situasi dan menghindari provokasi. Said dan pengurus NU tidak menganjurkan nahdliyin ikut unjuk rasa tersebut. "Tidak ada demonstrasi dalam Islam," ucap Said.

Namun pujian tersebut dibalas kritik oleh pengurus NU. Said, 63 tahun, mengatakan pemerintah lamban dalam membangun komunikasi dengan sejumlah organisasi kemasyarakatan Islam, terutama menjelang demo 4 November. Ia mengatakan pemerintah jangan berkomunikasi dengan ulama saat situasi genting saja. "Kami senang sekali bila didekati dan diakui eksistensinya," ujarnya. Said juga menyesalkan pernyataan Presiden soal aktor politik yang menunggangi unjuk rasa.

Kamis pekan lalu, Said menerima wartawan Tempo Efri Ritonga, Raymundus Rikang, Reza Maulana, dan fotografer Aditia Noviansyah di pondok pesantrennya, Al Tsaqafah, di Jagakarsa, Jakarta Selatan, untuk sebuah wawancara. Duduk lesehan di ruang tamu sonder kursi tersebut, Said menyampaikan pandangannya soal pernyataan Gubernur Basuki tentang Surat Al-Maidah ayat 51, demonstrasi yang diwarnai kericuhan, hingga kritik PB NU terhadap pemerintah.

Apa pesan pertama yang Anda sampaikan kepada Presiden setelah demonstrasi 4 November?

Saya kritik, "Pak Presiden, kalau komunikasi dengan ulama itu jangan saat situasi genting saja."

Kritiknya pedas, ya?

Intinya ulama itu enggak akan macam-macam. Kami senang sekali bila didekati dan diakui eksistensinya. Enggak ada keinginan jadi bupati atau menteri. Apalagi saya, enggak kepingin kok jadi wakil presiden.

Kalau ditawari menjadi Menteri Agama tetap tak berminat?

Enggak, enggak. Tapi kalau bisa Menteri Agama itu dari orang NU, ha-ha-ha....

Menurut Anda, Presiden Jokowi berjarak dengan ormas Islam?

Saya tidak ingin mengatakan beliau jauh dengan kelompok muslim. Namun komunikasinya kurang sempurna dan perlu diperbaiki. Kalau ada undangan untuk menghadiri acara kelompok muslim, selalu diwakilkan. Saya bilang ke beliau, "Bapak saya beri panggung besar tiga kali, tapi tidak datang." Pertama, saat pengukuhan PB NU di Masjid Istiqlal, September 2015, yang datang Pak Jusuf Kalla. Lalu International Summit Moderate Muslim Leaders, Mei 2016, di Jakarta, yang datang Pak JK. Terakhir, saat Hari Santri Nasional yang dihadiri 55 ribu orang di Monas, Oktober lalu, yang hadir Wakapolri (Komisaris Jenderal Syafruddin).

Jadi Anda kecewa?

Kecewa sih ndak. Tapi bayangkan Pertemuan Puncak Pemimpin Muslim Moderat Sedunia itu dihadiri 33 negara. Monggo dibuka oleh Presiden, tapi enggak datang.

Apa tanggapan Presiden?

Beliau mengakui kurang menjalin komunikasi dengan organisasi keagamaan. Beliau mengatakan sibuk menyelesaikan persoalan dengan partai-partai politik pada dua tahun pertama pemerintahannya. Apalagi dia bukan ketua partai. Sekarang berhasil terbangun hubungan baik dengan semua pihak politik. Beliau mengakui akan membangun komunikasi dengan kekuatan masyarakat.

Presiden menerima kritik PB NU?

Beliau mengatakan akan memperbaiki. Masalah bangsa ini tak akan selesai bila cuma diurus birokrat dan aparat penegak hukum. Negara sebesar dan sekuat apa pun tidak boleh menyepelekan civil society, termasuk kelompok Islam tradisional seperti NU dan kelompok Islam reformis seperti Muhammadiyah. Kalau di Eropa, ada gereja, kelompok masyarakat yang bukan partisan, sebagai perekat masyarakat.

Mengapa Anda yakin organisasi seperti NU bisa membantu pemerintah membereskan urusan negara?

Karena kami lintas suku, ras, dan partai. Banyak orang NU di PDI Perjuangan, Golkar, Demokrat, PPP, dan, yang jelas, PKB.

Pertemuan di kantor PB NU itu inisiatif siapa?

Pihak Istana. Saya ditelepon Pak Pratikno (Menteri Sekretaris Negara) semalam sebelum kunjungan itu. Pola komunikasinya sama ketika Presiden hendak mengeksekusi bandar narkoba jilid pertama itu. Presiden datang pagi-pagi untuk minta dukungan NU.

Ada kritik lain yang belum tersampaikan dalam pertemuan itu?

Sebaiknya Presiden jangan meninggalkan Istana dan menerima delegasi pengunjuk rasa. Dalam hal ini, saya sama dengan Pak Din Syamsuddin (Ketua Umum Majelis Ulama Indonesia dan mantan Ketua Umum Pimpinan Pusat Muhammadiyah). Beliau kan pemimpin negara. Seharusnya mau menemui siapa pun.

Presiden menyebutkan alasannya meninggalkan Istana?

Tidak. Hanya, beliau menyatakan tidak akan mengintervensi proses hukum Ahok (Basuki Tjahaja Purnama).

Menurut Anda, apakah kata-kata Basuki Tjahaja Purnama yang mengutip Surat Al-Maidah ayat 51 termasuk penistaan?

Saya belum berani menyimpulkan penistaan atau bukan. Saya jelaskan ayat itu secara ilmiah, bukan karena kasus Ahok. Ayat ini artinya, "Jangan kamu jadikan orang Kristen dan Yahudi sebagai awliya." Awliya bisa bermakna kekasih, sahabat, pemimpin. Bisa juga wali bagi anak yatim. Konteks turunnya ayat itu adalah kondisi kaum muslim setelah kekalahan di Perang Uhud, 625 Masehi. Saat itu Nabi Muhammad terperosok di jurang dan patah gigi. Pasukan lawan, dari Mekah, terpancing isu kematian Nabi, lalu membubarkan pasukannya. Begitu mendapat kabar Nabi masih hidup, mereka marah dan berjanji akan kembali menyerang dengan pasukan yang lebih besar. Sebagian sahabat Nabi yang moralnya jatuh berencana meminta perlindungan orang Yahudi dan Kristen. Lalu turunlah ayat itu.

Jika konteksnya saat perang seperti itu, awliya diartikan sebagai pemimpin?

Bisa pemimpin, bisa teman. Berlindung sebagai teman. Tapi saya bukan ahli tafsir seperti Pak Quraish Shihab.

Tapi fatwa Majelis Ulama Indonesia sudah menyebutnya sebagai penistaan.

Saya yang paling pertama mengatakan bahwa MUI terlalu terburu-buru menyebut penistaan. Suatu masalah harus dikaji dulu oleh tim komisi fatwa, seperti soal Ahmadiyah dan sekularisasi. Kalau belum, itu bukan fatwa. Memang ada orang NU di sana, tapi kan kalau sudah di MUI, ya MUI. Lagi pula latar belakang pengurus MUI bermacam-macam, harus menyesuaikan dengan banyak irama.

Kalau soal penistaan masih sumir, mengapa peserta unjuk rasa bisa sebesar kemarin?

Sebenarnya kasus Ahok ini merupakan akumulasi dari ungkapan-ungkapan dia yang kasar. Seorang pemimpin sebagai figur publik dicontoh omongan, sikap, dan kelakuannya. Apalagi menyinggung-nyinggung Al-Quran. Bilang "Dibohongin pakai Surat Al-Maidah 51". Berarti ada orang yang menggunakan Al-Maidah 51. Orang itu ya pasti ulama. Bicara seperti itu, walaupun yang ngomong kiai haji, termasuk saya, pasti umat tersinggung. Ya, dikritik habis-habisan.

Anda merasakan ketersinggungan itu di akar rumput NU?

Saya dari Cirebon. Tapi anak-anak Cirebon bilang, "Walaupun Kang Said melarang, kami tetap berangkat." Begitu juga dari Indramayu, Sukabumi, Cianjur. Memang, kalau Islam dihina, umatnya akan marah. Namun NU tetap menjalankan fungsi sebagai penyeimbang dan mengimbau warga kami untuk tidak demo. Karena NU didirikan oleh Kiai Hasyim Asy'ari bukan untuk demo, tapi memperkuat civil society melalui pendidikan dan sebagainya. Kalaupun tetap ikut, jangan menggunakan atribut NU. Ada beberapa demonstran membawa bendera NU. Itu mereka cabut di jalan sisa peringatan Hari Santri, Oktober lalu. Masih banyak di Cianjur dan sekitarnya. Jadi bukan dibagikan dari pengurus.

Mengapa Anda melarang unjuk rasa?

Tidak ada demonstrasi dalam Islam. Menurut fiqih siyasah—politik Islam—jika merasa ada ketidakadilan, yang bisa ulama lakukan adalah menasihati pemerintah. Langkah kedua, pembangkangan sipil. Bukan melawan, melainkan tidak menaati perintah negara. Ketiga, ulama menemui pemimpin dan menyampaikan kritik yang lebih keras. Kalau tidak berubah, ini puncaknya, ulama salat malam untuk mengadu kepada Allah. Bermunajat. Imam Besar Al-Azhar, Abdul Halim Mahmud, pernah melakukannya setelah Presiden Mesir Anwar Sadat menjalin perdamaian dengan Israel. Bukan berdemo karena mudaratnya besar.

Anda melihat demonstrasi 4 November didorong oleh sentimen agama atau politik?

Mulai bakda salat Jumat di Istiqlal sampai pukul 18.00 merupakan demo yang betul-betul lahir ghirah—semangat keagamaan—terhadap Islam. Sejauh mana ghirah-nya, yang jelas berdemo dengan motivasi kecemburuan terhadap seseorang yang dianggap menghina Islam. Tapi, setelah pukul 18.00, mulai ada kerusuhan, kekerasan. Itu bukan demo untuk Islam dan Al-Quran. Itu sudah politik.

Banyak orang menyamakan pernyataan Gubernur Basuki dengan khatib yang melecehkan kitab suci agama lain saat salat Jumat.

NU sudah melarang khatib mengatakan begitu. Khotbah jangan diisi dengan caci maki, ujaran kebencian. Khotbah hendaknya diisi salawat dan ajakan meningkatkan ketakwaan kita kepada Allah.

Bagaimana jika khatib menyisipkan propaganda politik saat khotbah?

Menurut kitab kuning NU, khotbah itu sudah enggak sah. Namun silakan bila di luar khotbah.

Anda menyisipkan jargon NKRI harga mati dalam pernyataan sikap NU setelah demo 4 November. Apa konteksnya?

NU merasa semangat nasionalisme sudah pudar, terutama pada generasi muda. Begitupun semangat toleransi dan kebinekaan.

Pernyataan itu untuk melawan agenda kelompok Islam garis keras yang getol ingin mendirikan khilafah?

Intinya, persatuan di NKRI itu harus kita dahulukan. Masih banyak masalah yang harus kita selesaikan bersama. Ada ekonomi, narkoba, terorisme. Masalah Ahok itu kecil. Ada survei yang menyebutkan 37 persen orang Indonesia tak paham Pancasila. Sedangkan simpatisan ISIS (Negara Islam Irak dan Suriah) mencapai 4 persen. Artinya, ada sekitar 10 juta orang. Soal Pancasila, itu kesalahan Orde Baru karena memperlakukan Pancasila sebagai doktrin, yang lalu menjadi proyek dengan Badan Pembina Pendidikan Pelaksanaan Pedoman Penghayatan dan Pengamalan Pancasila. Ini membuat banyak pihak tak simpati.

Anda pernah menyatakan penganut wahabi itu menyebarkan teror. Apa maksudnya?

Pada dasarnya wahabi itu bukan teroris di Indonesia, tapi ajarannya sangat eksklusif. Mereka menilai semua orang salah, kecuali pemeluk wahabi. Ziarah kubur dan tawasul dianggap musyrik, peringatan Maulid Nabi dan Isra Mikraj disebut bidah. Kalau santri yang otaknya enggak waras lalu menerima doktrin semacam itu, bisa jadi teroris.

Apakah Anda punya bukti soal seruan itu?

Faktanya, tiga alumnus sebuah pondok pesantren di Cirebon adalah teroris. Mereka mengebom masjid Polres Cirebon, Hotel Ritz-Carlton di Jakarta, dan Gereja Bethel di Solo. Enggak ada kan teroris dari Pondok Pesantren Lirboyo, Jombang? Ha-ha-ha....

Paham radikal makin menonjol menyusul maraknya ormas Islam garis keras. Bagaimana NU merangkul mereka?

Kami enggak mau mendekat dengan ormas yang pahamnya keras sekali. Dengan Pondok Pesantren Ngruki asuhan Abu Bakar Ba'asyir, misalnya, kami pernah mengirim utusan ke sana, Kiai Marsudi Syuhud, saat menjabat Sekretaris Jenderal PB NU. Di sana semua santri diam, tidak menanggapi diskusinya. Sampai dia melawak pun tak ada santri yang tertawa. Masak, wajah Islam seperti itu? Hizbut Tahrir Indonesia enggak keras dan bukan teroris. Agendanya saja yang ingin mendirikan khilafah atau nation.

Pernah berdialog dengan Front Pembela Islam?

Enggak. Pikiran kami tak akan pernah bertemu. FPI itu kelompok lokal, bukan global. Kami punya garis anti-kekerasan. Tak ada ajaran di NU yang mengatakan kami paling saleh. Misalnya begini, ada khatib yang pernah menyerukan agar tak ragu mengkafirkan almarhum Gus Dur. Peristiwanya sekitar 12 tahun lalu. Ia lalu diturunkan oleh umat dan dimaafkan Gus Dur. Lalu FPI pernah memaksa Gus Dur turun dari mimbar. Banser NU marah-marah, tapi Gus Dur tak marah. Dia menjawab, "Wong khotbahnya sudah selesai, ya, turun." Prinsipnya, saya mau saja bertemu. Dari garis keras pun, silakan. Tapi enggak ada yang ajak bertemu. Intinya, Islam itu diamalkan, bukan diformalkan atau dikonstitusikan. Gambaran Islam yang benar adalah mereka yang jujur, solid, dan akur satu sama lain.

Ada informasi yang menyebutkan demonstrasi susulan akan terjadi pada akhir November.

Pemerintah sudah menjanjikan, dalam dua pekan, permintaan demonstran bahwa Ahok akan diproses hukum akan beres. Jadi ngapain demonstrasi lagi? Itu kan menghabiskan energi dan waktu serta mengganggu kelancaran ekonomi. Daripada demonstrasi seharian, lebih baik baca Al-Quran, baca buku, dan mendalami ilmu. Lebih baik berkaryalah.

Unjuk rasa itu disebutkan juga akan mendesak Presiden Jokowi turun lewat Sidang Istimewa Majelis Permusyawaratan Rakyat. Apa sikap PB NU?

Jika tuntutannya penistaan agama, silakan. Tapi, kalau tuntutannya menurunkan presiden, jelas melanggar undang-undang, inkonstitusional. Tak semudah itu menurunkan presiden. Intinya, NU akan selalu tetap bersama konstitusi.

Said Aqil Siroj
Tempat dan tanggal lahir: Cirebon, Jawa Barat, 3 Juli 1953 l Pendidikan: l S-1 King Abdulaziz University, Jeddah, Arab Saudi, Jurusan Ushuluddin dan Dakwah (1982) l S-2 Umm al-Qura University, Mekah, Arab Saudi, Jurusan Perbandingan Agama (1987) l S-3 Umm al-Qura University, Jurusan Akidah/Filsafat Islam (1994) l Karier: l Dosen pascasarjana Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah, Jakarta (1995-sekarang) l Wakil Direktur Universitas Islam Malang (1997-1999) l Organisasi: l Ketua Umum Pengurus Besar Nahdlatul Ulama (2010-sekarang) l Rais Syuriah Pengurus Besar Nahdlatul Ulama (1999-2004) l Wakil Ketua Tim Gabungan Pencari Fakta Kerusuhan Mei 1998 (1998)

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus