Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
LAPORAN tata kelola dana perkebunan kelapa sawit yang disusun Komisi Pemberantasan Korupsi akhirnya rampung pada Jumat dua pekan lalu. Disiapkan lebih dari empat bulan, laporan Tim Koordinasi dan Supervisi Bidang Pengelolaan Perkebunan Kelapa Sawit itu akan menjadi rujukan bagi Komisi untuk memberikan rekomendasi kepada pemerintah pada awal Desember nanti.
Deputi Pencegahan KPK Pahala Nainggolan mengatakan isi laporan itu mempertanyakan alokasi dana sawit yang dikelola Badan Pengelola Dana Perkebunan (BPDP). "Kami heran alokasi dana sawit tidak seimbang. Hampir 90 persen untuk subsidi biodiesel," kata Pahala, Kamis pekan lalu.
Resmi beroperasi pada 16 Juli 2015, BPDP bertugas mengumpulkan pungutan ekspor atas minyak sawit mentah (crude palm oil/CPO). Besarannya US$ 50 per ton untuk ekspor CPO dan US$ 30 per ton untuk olein. Dana pungutan yang diambil dari pelaku ekspor sawit ini mayoritas digunakan untuk menutup biaya pengolahan biodiesel dalam program pencampuran 20 persen bahan bakar nabati ke dalam solar.
Apabila harga CPO di bawah US$ 750 per ton, pengekspor sawit cukup membayarkan pungutan ini tanpa bea keluar. Namun, saat harga melejit di atas ambang batas, jumlah bea keluar dikurangi pungutan CPO Fund. Pungutan ini tak masuk ke kas negara, tapi langsung disalurkan ke pelaku industri.
Persoalannya, menurut kajian Komisi, penggunaan dana sawit untuk subsidi biodiesel berlawanan dengan Undang-Undang Nomor 39 Tahun 2014 tentang Perkebunan. Merujuk pada pasal 93 ayat 4, Ketua Tim Koordinasi dan Supervisi Sawit Sulistyanto mengatakan perhimpunan dana dari pelaku usaha perkebunan semestinya hanya digunakan untuk urusan perkebunan, semisal peremajaan perkebunan, bukan menyubsidi industri.
Komisi juga mempertanyakan dasar hukum perumusan Peraturan Presiden Nomor 61 Tahun 2015 yang ujuk-ujuk memperluas penggunaan dana sawit. Dalam aturan tersebut, BPDP boleh mengalokasikan dana sawit untuk kebutuhan pangan, penghiliran industri perkebunan kelapa sawit, serta penyediaan dan pemanfaatan bahan bakar nabati jenis biodiesel.
Penelusuran Tim Koordinasi dan Supervisi atas laporan keuangan 2015 yang diperoleh dari BPDP menemukan badan dana sawit ini telah mengalokasikan duit Rp 1,59 triliun atau 89 persen dari total penghimpunan dana untuk biodiesel dan penelitian. Adapun total penghimpunan dana dalam laporan keuangan pada periode tersebut sebesar Rp 2,7 triliun. "Tapi, kalau dicek alokasi ke perusahaan penerima, kebanyakan untuk subsidi biodiesel saja," ujar Sulistyanto.
Perusahaan penerima subsidi biodiesel, menurut Sulistyanto, tak lain grup-grup sawit besar. Tanpa merinci satu per satu nama perusahaan tersebut, ia menyatakan ada sepuluh perusahaan besar yang menikmati dana subsidi biodiesel. Salah satu yang terbesar di antaranya kelompok Wilmar Group, yakni PT Wilmar Nabati Indonesia dan PT Wilmar Bioenergi Indonesia, yang menerima hampir 55 persen dana sawit. Adapun PT Musim Mas memperoleh 16,4 persen dana.
Seorang anggota tim yang mengikuti proses pembahasan di lingkup internal KPK mengatakan ada temuan lain yang mengindikasikan CPO Fund menguntungkan perusahaan besar. Indikasi itu muncul ketika KPK membandingkan data pungutan ekspor dengan penerimaan subsidi setiap perusahaan produsen biodiesel. Hasilnya, rata-rata grup sawit besar menerima subsidi biodiesel lebih besar ketimbang pungutan ekspor yang disetorkan. Pungutan ekspor dari Grup Wilmar, misalnya, hanya sekitar Rp 800 miliar. Sedangkan perusahaan ini memperoleh subsidi biodiesel sebesar Rp 1,7 triliun.
Temuan lain yang menguatkan indikasi tersebut adalah alokasi dana yang jauh lebih sedikit untuk program peremajaan tanaman (replanting). Undang-Undang Perkebunan jelas menyebutkan penggunaan dana sawit akan dikembalikan ke perkebunan.
Berdasarkan laporan keuangan BPDP, menurut Sulistyanto, alokasi dana sawit untuk program replanting tak sampai 1 persen. "Kalau dilihat di laporan 2015 hanya dialokasikan sekitar Rp 12 miliar," ucapnya. "Itu pun kami belum tahu realisasinya."
Deputi Menteri Koordinator Bidang Pangan dan Pertanian Musdhalifah Machmud tak membantah kabar bahwa mayoritas dana sawit saat ini mengalir untuk subsidi biodiesel. Sebab, CPO Fund memang dibentuk untuk merespons harga komoditas sawit yang anjlok ke posisi US$ 400 per ton lantaran stok berlebih. "Kami mencari cara untuk mempertahankan produksi kelapa sawit Indonesia," ujarnya.
Dalam seminar yang digelar bersama pelaku usaha dan asosiasi petani sawit pada kuartal pertama tahun lalu, Musdhalifah menyebutkan solusi yang muncul untuk mengurangi pasokan CPO adalah menciptakan pasar di dalam negeri. Caranya: lebih banyak membakarnya menjadi bahan bakar nabati alias biodiesel. "Usul itu justru muncul dari perusahaan yang bahkan tidak punya pabrik biodiesel," kata Musdhalifah. Keuntungan dari skema ini diharapkan berganda: devisa untuk impor solar bisa dihemat, harga CPO di pasar dunia terkerek naik.
Masalahnya, harga biofuel—yang perhitungan rata-ratanya adalah harga CPO ditambah US$ 125 biaya pengolahan per ton—ternyata masih lebih mahal dibanding harga solar bersubsidi. Selisihnya mencapai Rp 675 per liter. Dengan konsumsi solar dalam satu tahun mencapai 17 juta kiloliter, akan ada pembengkakan dana Rp 11,47 triliun jika program ini dipaksakan. "Jadi, ya sudah, salah satu solusinya dana pungutan ekspor itu digunakan untuk subsidi produksi biodiesel di dalam negeri," ujarnya. Belakangan, dana itu disebut sebagai CPO supporting fund.
Meski demikian, Musdhalifah mafhum dana energi yang berasal dari pelaku usaha kelapa sawit ini harus dikembalikan peruntukannya ke kelapa sawit. "Jadi bukan hanya biodiesel, soal replanting juga kami kejar terus ke BPDP," ucapnya.
Direktur Utama BPDP Sawit Bayu Krisnamurthi tak membantah soal dana sawit yang mayoritas mengalir ke perusahaan-perusahaan sawit besar. Alasannya, pemilik pabrik biodiesel adalah perusahaan-perusahaan besar tersebut. Wilmar Group, Bayu mencontohkan, adalah salah satu produsen terbesar biodiesel sehingga pasokannya paling banyak.
"Kami tidak ada kepentingan, siapa pun grup besar itu," kata Bayu. Tugas BPDP, menurut dia, sesungguhnya hanya juru bayar. Begitu ada pengajuan klaim, badan ini memverifikasi ke Direktorat Jenderal Energi Baru Terbarukan dan Konservasi Energi soal jatah kuota perusahaan tersebut. "Soal kenapa mereka yang mendapat kuota, yang menetapkan EBTKE, bukan kami yang menentukan."
Bayu memastikan pengelolaan dana sawit bukan sekadar untuk subsidi biodiesel ataupun kepentingan produsen biodiesel. Sebab, menurut dia, dampak dari peningkatan konsumsi biodiesel ini adalah peningkatan harga. Ia mencontohkan, harga tandan buah segar yang sebelumnya hanya berkisar Rp 800-900 per kilogram kini naik signifikan ke level Rp 1.700 per kilogram.
Jumlah biodiesel sawit yang terserap pun meningkat dari triwulan I 2015 sebesar 517 ribu kiloliter menjadi 658 ribu kiloliter pada triwulan I 2016. Besarnya selisih harga biodiesel sawit yang harus dibayar BPDP pada triwulan I 2016 sebesar Rp 3.125 per liter. Adapun pada triwulan II 2016 sebesar Rp 6.061 per liter.
Komisaris Utama PT Wilmar Nabati Indonesia sekaligus Komisaris Wilmar Group, Master Parulian Tumanggor, memaklumi adanya tudingan bahwa Wilmar menikmati alokasi subsidi biodiesel yang besar ketimbang menyetor pungutan ekspor. Menurut dia, hal itu wajar mengingat kapasitas produksi Wilmar juga besar. Ia mengatakan kuota biodiesel yang diberikan kepada produsen skemanya proporsional dengan kapasitas produksi perusahaan. "Misalnya, Wilmar kapasitas produksi sekarang ini 3,2 juta ton. Itu sebabnya kami mendapat sekitar 30 persen dari kapasitas," kata Tumanggor, Kamis pekan lalu.
Tumanggor tak sepakat jika CPO Fund disebut menguntungkan perusahaan besar, apalagi bila hanya dibandingkan dengan data pungutan ekspor. Menurut dia, sebagai eksportir, Wilmar memang hanya menyetor Rp 800 miliar. Untuk proses biodiesel di dalam negeri, Wilmar juga menyerap dan membeli CPO yang tidak diekspor. "Jadi volume ekspor Wilmar bisa saja kecil. Tapi, dalam rangka memproses CPO, produksi kami lebih besar karena saya membeli dari perusahaan-perusahaan lain."
Musim Mas punya penjelasan berbeda ihwal pungutan ekspor yang tak sebanding dengan subsidi yang diterima perusahaan produsen biodiesel. Senior Corporate Affairs Manager Musim Mas Group, Togar Sitanggang, menduga ada kekeliruan soal data yang digunakan Komisi Pemberantasan Korupsi sehingga seolah-olah perusahaannya meraup subsidi lebih besar ketimbang menyetor pungutan ekspor. "Soal itu tidak benar, pasti ada data yang keliru," ucap Togar, Kamis pekan lalu.
Menurut dia, bisa jadi data setoran pungutan ekspor Musim Mas terlihat kecil karena belum dikelompokkan dalam entitas sebagai grup. "Ada eksportir CPO Grup Musim Mas yang mungkin tidak KPK ketahui sebagai grup kami," ujarnya.
Ayu Prima Sandi, Muhamad Rizki
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo