Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Pingsan!" teriak seorang pria bertopeng dan berkostum hitam campur merah. Dan, pada saat bersamaan, tangannya memancarkan kilatan petir menggelegar. Lalu cahaya terang memudar. Tampak semua pengeroyoknya tergeletak. Tinggallah Si Pemetir tegak berdiri. Kita mengenal tokoh ini sebagai Gundala Putera Petir.Â
Tokoh superhero ini adalah rekaan Hasmi, akronim dari nama aslinya, Harya Suraminata. Gundala begitu dikenal oleh penggemar komik pada 1970-1980-an awal. Hasmi memang piawai dalam meramu cerita dan tak jarang diselingi humor segar yang membuat gelak tawa pembacanya. Terlebih sejak munculnya sahabat Gundala bernama Nemo, tokoh jenaka yang merupakan perwujudan diri Hasmi sendiri. Nemo muncul pertama kali dalam episode Bentrok Jago-jago Dunia (1971). Total ada 23 judul (hingga 1982) seri Gundala yang selalu dinantikan penggemarnya saat itu.
Kepiawaian Hasmi mendongeng antara lain terlihat saat ia mengisahkan kemunculan Gundala. Adalah Sancaka, seorang ilmuwan muda (27 tahun), yang terobsesi membuat serum anoda antipetir. Dengan serum ini, orang tak akan tewas jika tersambar petir karena daya listrik langsung dihantarkan ke bumi. Kerja keras Sancaka membuahkan hasil. Namun ketekunan itu menyita waktu dan perhatiannya dari sang kekasih, Minarti. Akhirnya hubungan mereka putus. Sancaka sangat terpukul. Dia pun menghancurkan penelitiannya dan tanpa sadar berlari di tengah badai. Saat itulah kilatan petir menyambar tubuhnya. Blar!
Sancaka pingsan. Saat sadar, dia sudah berada di kerajaan petir. Pemuda ini rupanya diselamatkan dan diangkat anak oleh Kaisar Krons, Raja Petir. Sancaka diberi kalung sakti yang bila dikenakan wujudnya berubah menjadi sosok perkasa yang mampu memancarkan petir dari kedua telapak tangannya. Krons menamainya Gundala. Sejak saat itu, Gundala membasmi kejahatan dan membela kebenaran.
Hasmi mereka tokoh Gundala setelah serangkaian karya sebelumnya merupakan pesanan penerbit atau karena mengikuti tren. Karya pertamanya muncul pada 1968; sebuah komik bergenre silat dengan judul Merayapi Telapak Hitam (3 jilid). Saat itu kisah silat memang sedang booming setelah surutnya genre roman. Hasmi masuk gelanggang perkomikan atas bantuan adik sepupunya, Jan Mintaraga, yang mengenalkan ia kepada seorang penerbit. Jan lebih dulu kondang sebagai komikus. Tampaknya darah seni mereka menurun dari sang kakek, Moch. Choesien.
Masih pada tahun yang sama, Hasmi bertemu dengan Mukisi alias Si Muk, pemilik UP Kentjana Agung. Mukisi meminta Hasmi membuat komik bergenre superhero dengan tokoh mirip Tarzan. Maka lahirlah Maza Si Dewa Rimba. Setelah itu, pada 1969, Hasmi membuat jagoan imajinasinya sendiri yang diberi nama Gundala, artinya petir dalam bahasa Jawa. Bersama Gundala-lah namanya melambung tinggi. Ketenaran itu membuat Gundala tak hanya beraksi di lembar komik, tapi juga melebar ke medium seni lain. Gundala pernah diangkat ke layar perak dengan pemain utama Teddy Purba, dikemas dalam wayang boneka (potehi) yang ia garap bersama Arswendo Atmowiloto, dan dimainkan di panggung oleh Teater Gandrik.
Hasmi lahir di Yogyakarta pada 25 Desember 1946. Dia anak keenam dari tujuh bersaudara. Ayahnya bernama Soekarman Santadipraja. Hasmi menempuh pendidikan dengan lancar di Yogyakarta. Namun akhirnya ia meninggalkan bangku kuliah dan memilih total sebagai komikus. Pada 1971, Hasmi kuliah lagi di Akademi Bahasa Asing Jurusan Bahasa Inggris.
Hingga usia 31 tahun, Hasmi belum menikah. Hal itu tampaknya membuat ia resah. Tapi Hasmi menjadikan kegalauannya sebagai energi dan lahirlah komik Pengantin bagi Gundala (1977). Ini adalah kisah saat Si Putera Petir menemukan jodohnya bernama Sedha alias Merpati. Hasmi berharap nasibnya bisa seperti Gundala dan segera menikah. Namun lebih dari 20 tahun kemudian keinginan itu baru terlaksana. Hasmi menikah dengan Mujiyati dan dikaruniai dua putri.Â
Hasmi memang mendedikasikan seluruh hidupnya untuk seni. Selain membuat komik, dia aktif sebagai pemain teater, penulis skenario televisi dan layar lebar, serta sutradara. Mulai pertengahan 2013, Hasmi aktif kembali sebagai ilustrator untuk dua komik strip.Â
Beberapa pekan lalu, Hasmi mengeluh sakit perut. Dia dirawat dan menjalani operasi usus di Rumah Sakit Bethesda, Yogyakarta. Operasi berjalan lancar, sayang Tuhan berkehendak lain. Minggu, 6 November 2016, sekitar pukul 12.30, Hasmi dipanggil Sang Pencipta.
Para komikus muda pasti selalu ingat pesan komikus Wid N.S. (pencipta Godam) yang selalu dia ulang. "Dengan bayaran berapa pun, tetaplah berkarya segenap hati dan berikan yang terbaik karena pembacalah yang menilai cerita dan gambarmu, dan mereka tidak pernah tahu seberapa besar engkau dibayar."
Selamat jalan, Pak Hasmi.
Andy Wijaya, Kolektor dan Pemerhati Komik Indonesia
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo