PUKUL 10 malam, Kamis pekan lalu, seorang lelaki baya menenteng kotak flute memasuki lobi Hotel Sahid, Jakarta. Ia disambut Kiboud Maulana, Dali Tahir, Eddy Yusuf, dan Ebet Kadarusman. Mereka lantas bermain musik, irama Jazz. "Sudah sebulan aku main di sini," kata lelaki itu, pemusik jazz Bill Saragih. Status Bill, 56 tahun, hanya bintang tamu grup Audiensi, yang main tiap Kamis di sana. Kepintaran Bill menggenjot piano, meniup saksofon dan flute, menyanyi, membuat orang kangen padanya. Baru tahun lalu ia pulang dari Australia. "Aku di Australia bukan Bill Saragih, tapi Frank Sumatra," katanya dengan logat yang masih Medan. Lalu meluncurlah lagu Louis Armstrong tahun 1950-an, Sunny Side of the Street. Suaranya mirip Armstrong: berat dan serak. Penonton keplok. Suasana malam itu mirip reuni. Pemusik jazz datang ke sana membawa peralatan sendiri dan main. "Aku tak bakal pulang lagi ke Australia," kata Bill, yang berada di Sydney sejak 1972. Istrinya yang berkebangsaan Inggris, Anna Rosemary, akan menyusul ke Jakarta. Dia berniat membuka sekolah musik dengan dua tujuan. Pertama, menggali warna musik Indonesia untuk disumbangkan ke dalam jazz. "Masa, bosanova Amerika Latin bisa diterima jazz, musik kita tidak," ujarnya. Kedua, menciptakan penghibur profesional atau enertainer. Sebab, katanya, kalau penyanyi hanya bisa menyanyi saja di atas panggung, apa bedanya dengan menonton video atau mendengar kaset. Jadi, perlu hidup. Dan Bill memang "hidup". Hidup, Bill Saragih.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini