Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Itulah yang terjadi pada Jessica Mila Agnesia ketika kembali berperan sebagai Alia dalam film Mata Batin 2, yang tayang pada Januari 2019.
Jessica menceritakan kejadian seram yang dia alami saat syuting film tersebut di kawasan Sentul, Kabupaten Bogor, Jawa Barat, pada Agustus lalu. Ketika istirahat dari pengambilan gambar yang dilakukan pada malam hari, dara 26 tahun ini mendengar daun pintu lemari kayu yang berada di dekatnya seperti digedor-gedor dari dalam disertai suara tangis perempuan.
Awalnya, Jessica mengabaikannya. Ternyata ibunya, Magdalene Jane Baker, yang berada di dekatnya, juga mendengar suara tersebut. “Jangan ganggu, ya,” kata Jessica, menirukan ucapan ibunya, kepada Tempo, dua pekan lalu.
Magdalene mengingatkan anaknya agar tidak takut. “Kita tidak boleh takut sama yang kayak begitu,” tutur Magdalene.
Jessica mengatakan teror yang dialaminya saat membintangi Mata Batin 2 tak separah pengalamannya di Mata Batin, yang tayang pada Oktober 2017. Itu pertama kalinya Jessica mengambil peran dalam film horor. Ia terbawa tokoh Alia, yang dibuka mata batinnya sehingga bisa melihat makhluk halus.
Banyaknya adegan diteror hantu sampai kesurupan membuat Jessica tak berani melihat wajah sendiri di depan cermin, takut tidur sendirian, sampai sering bermimpi seram.
Ahmad Fuadi. TEMPO/Hilman Fathurrahman W
Berburu Dokumen
Demi mendapatkan dokumen penting, novelis Ahmad Fuadi bertandang ke Amerika Serikat. Ia memperoleh banyak arsip tentang Indonesia selama sebulan berada di sana, Oktober lalu. ”Jumlahnya ribuan,” ujarnya, Ahad tiga pekan lalu.
Fuadi, 44 tahun, mengunjungi Negeri Abang Sam setelah mendapat residensi penulis, program yang dibiayai Komite Buku Nasional. Ia menyodorkan proposal tentang sejarah sebelum kemerdekaan Indonesia yang terekam dalam dokumen rahasia Amerika kala itu.
Selama ini, kata dia, cerita tentang perang kemerdekaan selalu dilihat dari sisi Indonesia atau penjajah. ”Dari sisi Amerika kok rasanya hampir enggak ada. Padahal waktu itu Amerika sudah menjadi negara superpower,” ucap penulis novel Negeri 5 Menara itu.
Fuadi pun bersurat dengan pustakawan di Library of Congress, Washington, DC; The National Archives at College Park, Maryland; dan National Security Archives, George Washington University. Mereka membalas permintaan Fuadi dan mengarahkannya ke bagian mana ia bisa datang. Dokumen-dokumen yang sudah terbuka untuk umum itu bisa dibaca oleh siapa pun. ”Mereka menyediakan fasilitas untuk membaca dan mengopi. Bisa difoto atau di-scan,” kata peraih Anugerah Pembaca Indonesia 2010 tersebut.
Banyak hal menarik yang ditemukan Fuadi. Misalnya, ada beberapa arsip yang menerangkan jalur perdagangan narkotik di Indonesia. Ada pula dokumen yang berisi saran agar Amerika membeli Hindia Belanda. ”Bayangkan kalau Hindia Belanda dulu dibeli Amerika. Kita menjadi negara bagian Amerika,” ujarnya. Dokumen tersebut akan menjadi latar belakang novel Fuadi berikutnya.
Prita Laura. TEMPO/Hilman Fathurrahman W
Berkat Kaus Gratis
Membacakan berita di televisi atau berbicara di depan umum adalah hal biasa bagi Prita Laura. Namun bagaimana jadinya kalau ia diminta memberikan materi di depan para penggemar band Slank? “Itu salah satu acara paling menantang untuk saya,” katanya seusai acara “Keterampilan Bicara di Depan Publik” dalam Tempo Media Week, Sabtu tiga pekan lalu.
Akhir Oktober lalu, Prita diminta berbicara tentang dampak membuang sampah ke laut dalam kegiatan Our Ocean Conference. Slank, musikus Monita Tahalea, grup musik Navicula, serta Menteri Kelautan dan Perikanan Susi Pudjiastuti juga turut mengisi acara tersebut.
Prita menyiapkan cerita panjang tentang bahaya membuang sampah sembarangan. Tapi, sesaat sebelum tampil, ia baru sadar bahwa jatah manggung-nya tepat setelah Slank bernyanyi. “Penonton sudah heboh nyanyi sambil bertelanjang dada. Aduh, kalau tiba-tiba saya masuk terus ngomong-nya formal, bisa-bisa saya dilempari batu,” ujar mantan presenter Metro TV itu.
Prita langsung putar otak. Ia mengubah rencananya. Ia buru-buru berjalan ke belakang panggung dan menghampiri panitia. “Ada kaus gratisan, enggak?” katanya.
Tepat saat diminta naik ke panggung, Prita berhasil mengumpulkan sekitar 30 kaus gratis dari panitia. Lalu ia berteriak kepada penonton, “Ada yang mau kaus gratis, enggak? Tapi jawab dulu pertanyaan saya, ya!”
Prita pun melontarkan pertanyaan diselingi dengan materi singkat tentang bahaya membuang sampah sembarangan. Materi tersebut kemudian ia tanyakan lagi dalam bentuk kuis. Kausnya ia lemparkan ke kerumunan penonton yang menjawab dengan suara paling kencang.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo