Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
TSUNAMI di Selat Sunda, 22 Desember lalu, mengingatkan orang pada Widjo Kongko. Peneliti tsunami Badan Pengkajian dan Penerapan Teknologi itu pernah memaparkan hasil penelitiannya ihwal potensi tsunami di Jawa bagian barat dalam seminar yang digelar Badan Meteorologi, Klimatologi, dan Geofisika di Jakarta, 3 April lalu. Menurut kajiannya, jika terjadi tumbukan dua lempeng besar (megathrust), Kabupaten Pandeglang, Banten, akan menjadi wilayah dengan ancaman tsunami terbesar. Ombaknya diperkirakan setinggi 57 meter.
Pernyataan Widjo saat itu mengejutkan banyak pihak setelah muncul di media dalam jaringan (online). Kepolisian Daerah Banten bahkan sempat menelepon Widjo, menanyakan soal berita itu. Ia mengatakan pangkal soalnya ada media yang menggunakan kata ”prediksi” ihwal potensi tsunami itu. Prediksi, menurut dia, berbeda dengan potensi. ”Prediksi seperti meramal sehingga menimbulkan kesalahpahaman masyarakat. Penyebutan prediksi itu kurang pas,” ujar Widjo dalam wawancara khusus dengan wartawan Tempo, Nur Alfiyah dan Shinta Maharani, di rumahnya di Ngaglik, Sleman, Daerah Istimewa Yogyakarta, Rabu pekan lalu.
Widjo, 51 tahun, tak sampai dipidanakan. Tapi ia kecewa karena pemerintah tak melakukan antisipasi meski kajian sudah banyak dilakukan. Selain Widjo, ada banyak peneliti yang mengkaji potensi tsunami di Selat Sunda. ”Paper dan peta sudah kami sampaikan. Tapi apakah itu yang menjadi kebijakan?” tutur Perekayasa Balai Teknologi Infrastruktur Pelabuhan dan Dinamika Pantai BPPT itu.
Dalam wawancara dua jam yang diselingi beberapa -panggilan telepon itu, Widjo menjelaskan nasib kajian tsunami di Indonesia, kondisi mitigasi bencana, dan masalah anggaran.
Apakah penelitian Anda soal tsunami di Selat Sunda sama dengan tsunami 22 Desember lalu?
Skenarionya berbeda. Waktu itu BMKG meminta saya berbicara tentang potensi tsunami di Jawa bagian barat. Saya membuat permodelan megathrust. Saya tidak membuat permodelan tsunami dari Anak Krakatau karena keterbatasan waktu. Tapi teman saya, Boedi Ontowirjo dari BPPT, pada 2012 membuat permodelan tsunami dari Anak Krakatau. Yang dia bikin itu mirip dengan kejadian sekarang.
Jadi tsunami itu sudah dikaji oleh peneliti?
Iya. Yang di Sesar Palu-Koro (penyebab gempa di Donggala dan Palu yang menyebabkan tsunami pada 28 September lalu) itu bahkan sebelumnya sudah jadi disertasi mahasiswa ITB. Sudah diserahkan ke gubernur. Itu jelas, di sana ada ancaman bahaya.
Bagaimana dengan tsunami sebelumnya, seperti di Aceh, Pangandaran, dan Mentawai?
Pasti ada kajiannya. Paper dan peta sudah kami sampaikan. Tapi apakah itu yang menjadi kebijakan?
Kajian-kajian tersebut selesai di meja seminar saja?
Ya, seminar atau paper. Enggak ada yang sampai ke kebijakan, khusus yang mitigasi bencana dan tsunami. Siapa yang salah? Apa karena belum ada lembaga yang menyambungkan? Saya enggak ngerti.
Bagaimana respons pemerintah ketika dijelaskan potensi bencana tersebut?
Contohnya kasus saya. April lalu, saya bilang ada potensi tsunami 57 meter di Pandeglang dari permodelan menggunakan megathrust. Saya kemudian hendak dipanggil Polda Banten karena komplain dari investor. Yang soal potensi tsunami Bali (April 2018), saya juga diperingatkan orang persatuan hotel. Katanya, nanti enggak ada wisatawan yang ke Bali.
Apa yang seharusnya mereka lakukan?
Seharusnya, kalau melihat ada akademikus yang melakukan kajian, panggillah untuk presentasi, benar atau enggak. Nanti dibandingkan dengan narasumber lain, jadi diskusi. Dimasukkan sebagai satu kebijakan untuk penyusunan tata ruang. Bukan malah meributkan penelitiannya hingga dipersoalkan polisi.
Apa yang dipersoalkan dari penelitian Anda?
Ada media online mempublikasikan presentasi saya dengan menggunakan kata ”prediksi” terkait dengan tsunami setinggi 57 meter itu. Prediksi berbeda dengan potensi. Prediksi seperti meramal sehingga menimbulkan kesalahpahaman masyarakat. Tokoh masyarakat Pandeglang menelepon saya untuk memastikan kebenaran berita itu. Dia bilang warga Pandeglang siap mengungsi. Saya menangis dan bilang potensi tsunami itu hanya kajian, bukan prediksi. Polda Banten menelepon saya dan menanyakan soal berita itu. Mereka sempat meminta saya membuat surat pernyataan.
Anda sempat diperiksa polisi?
Tidak. Polisi hanya sering menelepon saya.
Apa yang Anda lakukan setelah itu?
Saya mengalami trauma dan tidak menyangka bisa sampai dipersoalkan oleh polisi. BPPT menggelar jumpa pers di Jakarta dan meminta maaf. Tapi saya merasa itu adalah kajian ilmiah. Di luar negeri, peneliti bebas bicara menyangkut hasil penelitiannya.
Pemerintah tidak menyadari akan ancaman tsunami?
Ya, enggak. Kalau aware kan sudah ada tindakan yang jelas.
Kenapa tsunami akibat Anak Krakatau ini tidak terdeteksi?
Karena bukan dari gempa tektonik. Kalau gempa tektonik, pasti terekam oleh seismograf.
Itu sebabnya ada dua versi informasi awal, dari Badan Nasional Penanggulangan Bencana yang menyebut air pasang dan BMKG yang menyebut tsunami?
Iya. Awalnya enggak ngeh itu tsunami. Namun saya bilang itu tsunami karena mirip dengan yang di Palu, tapi periode waktunya lebih panjang. Bentuk gelombangnya juga gelombang tsunami, bukan yang lain. Waktu itu saya berdiskusi dengan Pak Rahmat (Kepala Pusat Gempa dan Tsunami BMKG Rahmat Triyono) dan Pak Daryono (Kepala Bidang Informasi Gempa Bumi dan Peringatan Dini Tsunami BMKG) via grup WhatsApp. Saya langsung bilang ini Anak Krakatau.
Apa yang membuat Anda menduga itu berasal dari Anak Krakatau?
Saya tahu Krakatau sedang ada aktivitas. Saya kan belajar tsunami. Sumber-sumber tsunami itu bukan hanya tektonik, tapi bisa runtuhan atau yang lain. Saya bilang ke Pak Rahmat, ”Ini ada runtuh besar, cuma enggak terpantau.” Saya minta dia tanya ke PVMBG (Pusat Vulkanologi dan Mitigasi Bencana Geologi). Badan Geologi punya alat-alatnya di sana. Dapat konfirmasi seismograf milik PVMBG rusak pukul 21.03, ada kemungkinan karena longsor atau apa. Kalau begitu berarti confirm. Mungkin, karena besar, sampai rusak.
Mengapa sampai tak terpantau?
Fenomena ini jarang. Sebanyak 95 persen kejadian tsunami selalu didahului dengan gempa tektonik. Selebihnya dari longsor, letusan, dari bawah laut, dan lain-lain. Di Indonesia, saya kira baru ada yang begini. Di negara lain pun jarang sekali. Jarang juga ditulis di paper. Kalaupun ada, mungkin kejadian di masa lampau, purba. Mungkin di Italia dan Jepang ada. BMKG juga tidak punya sensor khusus untuk memantau yang seperti ini. Jadi enggak ada peringatan, wong sistemnya enggak ada.
Bagaimana dengan alat pendeteksi buoy?
Buoy itu alat untuk memantau perubahan tinggi muka air laut. Setelah tsunami Aceh 2004, ada bantuan dari Jerman dan Amerika Serikat. Tapi, sejak 2012, sudah tak ada proyek ini.
Kenapa proyeknya dihentikan?
Enggak ada anggaran. Harga satu buoy itu sekitar Rp 6 miliar, cek lagi harganya (menurut pakar instrumentasi kebencanaan Pusat Teknologi Reduksi Risiko Bencana BPPT, Iyan Turyana, harga satu unit buoy produk dari luar negeri di atas Rp 7 miliar). Kalau BPPT yang bikin, harga bisa separuhnya. Teknologinya kita mampu, mungkin enggak 100 persen.
Untuk yang separuh harga itu pun enggak ada anggarannya?
Itu baru biaya investasinya, belum termasuk maintenance yang mahal. Setahun harus ada satu atau dua kali layar untuk pemeliharaan, yang mungkin butuh waktu dua minggu. Sehari butuh sekitar Rp 150 juta. Belum baterai, patroli, dan sebagainya. Memang mahal, tapi itu untuk keselamatan kita bersama.
Bukannya tiap ada tsunami presiden meminta ada perbaikan atau pembelian buoy?
Ya, saya ingat betul presiden memerintahkan kita harus buat buoy ini pada 2012, tapi anget-anget tahi ayam saja itu. Sampai sekarang kita enggak punya peringatan. Itu hanya menjadi perintah, karena sampai di bawah belum tentu ada anggarannya.
Apa dampak dari tak adanya buoy itu?
Kita itu buta. Di laut yang luasnya dua pertiga wilayah kita, kalau ada apa-apa, seperti kejadian tsunami itu, kita tidak tahu. Kita hanya tahu dari model, mungkin dari radar.
Artinya, pemerintah belum memprioritaskan mitigasi bencana?
Ya, pemerintah belum memprioritaskan. Nyatanya, inilah, Selat Sunda enggak ada sistem peringatan dininya. Ini kan masuk mitigasi bencana. Wong lagi main band, senang-senang, tiba-tiba tung dari belakang. Enggak ada peringatan. Pada 2004, ada gempa dan tsunami. Oke, kita belajar. Tahun 2007 kemudian ada Undang-Undang Penanggulangan Bencana. Kita punya milestone, bagus itu. Tapi pada 2006 ada gempa bumi dan tsunami di Pangandaran. Pada 2010, ada tsunami di Mentawai, kita enggak ada buoy karena hanyut. Mungkin kecantel nelayan atau bagaimana.
Lalu peringatan dini seperti apa yang kita punya?
Ada sistem peringatan dini untuk gempa tektonik. Sistem itu satu rantai dengan banyak sensor, yang saling mengkonfirmasi. Nah, kalau untuk tsunami akibat yang lain-lain itu, sensornya saja tak ada, ya, enggak ada input. SOP-nya juga belum pernah dibuat. Kita enggak punya alat pemantau di laut, itu masalahnya.
Peringatan dini tsunami dari BMKG itu dari mana sumbernya?
Peringatan dini tsunami oleh BMKG sekarang dari model, bukan dari sensor yang ada di tengah laut.
Artinya, itu bukan prediksi?
Itu memodelkan. Hasil dari simulasi, tapi enggak yakin betul.
Apakah ini yang menyebabkan BMKG mengakhiri peringatan dini tsunami di Palu, padahal sedang terjadi tsunami?
Karena enggak ada alat di laut, jadi hanya mengandalkan simulasi. Setelah itu, BMKG mendapatkan laporan ada dua pasang-surut di Mamuju enam sentimeter. Peringatan dini tsunami langsung dicabut. Padahal sebelumnya terjadi tsunami di Palu. Masalahnya, ada pasang-surut di Talise, Palu, tapi alatnya enggak mengirimkan data, walaupun alatnya merekam. SOP BMKG kan 3-5 menit setelah kejadian harus memberikan informasi. Tapi, kalau enggak ada datanya, harus ngomong apa?
Semua kajian tentang tsunami membahas tentang potensi, termasuk kajian Anda. Apakah belum ada teknologi yang bisa memprediksi tsunami?
Sampai sekarang enggak bisa memprediksi. Kita meramal sesuatu yang kita enggak tahu. Itu alam di bawah sana, bagaimana kita meramal kejadiannya.
Widjo Kongko (kedua dari kiri) saat klarifikasi BPPT mengenai potensi tsunami Pandeglang, di kantor BPPT, Jakarta, April 2018. bppt.go.id
Apa bedanya potensi dengan prediksi?
Kami menghitung, misalnya lempengan itu kan jalan terus. Kalau di sana-sini jalan, berarti ada tumbukan yang kira-kira menimbulkan energi yang tertahan. Energi yang tertahan itu dihitung. Itu potensi energi yang tersimpan di situ. Lepasnya kapan, belum ngerti. Untuk memprediksi gempa, misalnya, kami harus mengetahui struktur tanahnya. Berarti kami harus ngebor di laut dalam. Bisa dibayangkan berapa harganya. Wong buoy yang buat antisipasi, untuk mitigasi, kita saja enggak ada anggarannya.
Dalam kajian soal tsunami pada April lalu, Anda juga menyebutkan Jakarta akan kena dampaknya. Apa penyebabnya?
Saya simulasi menggunakan megathrust, lempeng besar yang saling menumbuk di daerah subduksi. Megathrust berbahaya karena bisa menyebabkan tsunami, contohnya tsunami Aceh. Saya menggunakan potensi megathrust yang ada di Pulau Enggano, Selat Sunda, dan Jawa bagian barat. Potensi tsunami paling tinggi 57 meter. Tsunami itu kan merambat. Rambatan paling cepat terjadi di Pandeglang hingga Ujung Kulon. Ketinggiannya bervariasi, misalnya Jakarta berpotensi 5 meter, Bekasi 2,8 meter. Ketinggian tsunami di Jakarta Utara, Pandeglang, Lebak, Sukabumi, Ciamis termasuk kategori tinggi. Kecepatannya berbeda-beda, ada yang 5-10 menit, ada juga 20 menit hingga 3 jam.
Seberapa besar daya rusak tsunami 57 meter itu?
Itu tergantung akurasi data. Kalau input data keliru, ketinggian bisa jadi 20, 30, bahkan 60 meter. Tapi enggak mungkin lebih kecil angkanya. Pandeglang itu parah karena dekat dengan sumber tsunami. Ujung Kulon potensi tsunaminya besar, tapi kan di sana enggak ada orang. Yang parah di Pandeglang, Lebak, dan Pelabuhan Ratu karena kawasan wisata dan banyak hotel. Ada juga industri petrokimia.
Bagaimana Anda membuat permodelan potensi megathrust itu?
Saya menggunakan ilmu yang saya dapat ketika mengambil S-2 di Jurusan Teknik Sipil dan Lingkungan Iwate University, Jepang (2004), dan S-3 di Jurusan Teknik Pantai Leibniz University Hannover, Jerman (2011). Saya memakai perhitungan potensi tsunami yang biasa dipakai di Jepang. Namanya Tunami. Ada software-nya.
Perhitungannya bagaimana?
Perhitungannya menggunakan rumus-rumus logika algoritma. Rumus matematika itu kemudian di-input dan simulasinya menggunakan komputer. Hasilnya, potensi tsunami setinggi 57 meter di Pandeglang bagian bawah. Saya menggunakan peta tektonik. Intinya, melalui permodelan ini, perlu kajian tsunami di setiap daerah, khususnya Jawa, karena maraknya pembangunan dan rencana pembangunan di daerah pantai.
Anda juga mengkaji soal potensi tsunami di New Yogyakarta International Airport, yang sedang dibangun.
Di sini ada megathrust juga. Kalau terjadi tumbukan, ada energi yang tersimpan. Kalau energi itu lepas, akan kena. Saya sudah memodelkan tinggi tsunami 10-15 meter dalam waktu kira-kira 20 menit. Bayangkan, runway cuma 200-300 meter dari bibir pantai. Pembangunan bandar udara akan jadi magnet untuk membangun di kanan-kirinya. Siapa yang mau buat mitigasinya? Seharusnya pemerintah daerah. Jadi tata ruang di sana harus diatur. Saya enggak melarang, tapi tolong, deh, ancamannya besar di sana. Tapi enggak ada yang mau dengar.
Bandara mana lagi yang berpotensi terkena tsunami?
Banyak, ada 16 bandara hasil kajian teman-teman yang ahli tsunami. Yang saya kaji baru Bali dan New Yogyakarta.
Di luar bandara, daerah mana lagi yang pernah Anda kaji?
Kalau yang lain banyak, yaitu Aceh, Padang, Bengkulu, Lampung, Jakarta, Cilacap, Yogyakarta, Pacitan, Badung, Bali, Maumere, Ambon. Itu yang saya ingat. Sebagian sudah kami masukkan peta hazard dan sudah kami sampaikan ke pemerintah daerah. Semoga dipakai.
Widjo Kongko
Tempat dan tanggal lahir: Banyumas, Jawa Tengah, 21 Juli 1967
Pendidikan: Sarjana Teknik Sipil Universitas Gadjah Mada, Yogyakarta (1992), Master Teknik Sipil dan Lingkungan Iwate University, Jepang (2004), Doktor Teknik Pantai Leibniz University Hannover, Jerman (2011)
Pekerjaan: Perekayasa Balai Teknologi Infrastruktur Pelabuhan dan Dinamika Pantai Badan Pengkajian dan Penerapan Teknologi
Organisasi: Kepala Bidang Mitigasi Bencana Persatuan Insinyur Indonesia
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo