Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Koordinator Urban Poor Consortium, Wardah Hafidz, tak sempat menikmati libur panjang Lebaran. Sehari setelah hari raya Idul Fitri, ia harus terbang ke Gwangju, Korea Selatan. Ia bahkan merayakan hari ulang tahunnya yang ke-54 pada 28 Oktober lalu di atas pesawat.
Wardah diundang ke Ko-rea untuk menerima penghargaan Gwangju Prize for Human Rights. Penghargaan serupa pernah juga diberikan antara lain kepada Presiden Timor Leste Xanana Gusmao dan pejuang demokrasi Burma Aung San Suu Kyi.
Wardah juga dinobatkan sebagai anggota kehormatan 18th May Memorial Foundation, yayasan yang menaungi korban kekerasan junta militer Chun Do Hwan dan Roh Tae Woo. Ia mengaku sangat terkesan dengan cara Kota Gwangju mengubah citranya. Dulu, Mei 1980, di kota itu pernah terjadi kerusuhan berdarah. ”Mereka segera mengubahnya menjadi pusat gerakan kebangkitan demokrasi,” ujarnya.
Sebagai orang ”penting”, ke mana-mana Wardah selalu dikawal seorang perempuan Korea. Twenty One, begitulah pengawal itu biasa dipanggil. ”Saya tak bisa bahasa Korea, dan orang Korea kebanyakan sulit berbahasa Inggris, jadi saya terus didampingi,” ucapnya.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo