Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Adem ayem. Nyaris sedingin angin musim gugur yang membelai Busan. Itulah kesan tentang promosi dua film pendek Indonesia—The Matchmaker dan Maya, Raya, Daya—yang ditayangkan perdana secara global (world premiere) di PIFF 2006. Tak ada poster, flyer, apalagi baliho yang menggoda pengunjung untuk rela menenggelamkan diri di bangku empuk bioskop Megabox 2, tempat pemutaran. Untunglah kedua film itu ”dibundel” panitia bersama delapan film pendek lain dari Jepang, Taiwan, Vietnam, dan Cina, sehingga tiket selalu sold-out di dua jadwal penayangan.
Jika Anda pengunjung setia sinepleks di Jakarta, Bandung, dan Surabaya, atau penonton fanatik televisi swasta (STAR ANTV dan Metro TV), kedua film yang memajang wajah teduh Mariana Renata dan Luna Maya itu bukan tontonan baru karena bisa disaksikan sepanjang Agustus-September 2006. Keduanya bagian dari kampanye ”kecantikanmu adalah kekuatanmu” dari sebuah produsen sabun kecantikan.
Dominasi kaum hawa dalam penggarapan kedua film itu, mulai dari produser, sutradara, penulis skenario, sampai pemeran utama, apa boleh buat, belum menghasilkan karya yang unik. Tengoklah Maya, Raya, Daya, yang memotret tiga fragmen kehidupan seorang wanita korban kekerasan dalam rumah tangga dari berbagai zaman (ketiga peran dimainkan Luna Maya).
Malangnya, kecuali pengadeganan yang rapi dan tampilan visual dengan pencahayaan dan penataan properti yang elegan, kisah yang sebenarnya menjadi tulang punggung tontonan justru disampaikan dalam tradisi realisme yang terlihat out-of-date. Kesannya adalah film panjang yang dipangkas pendek, bukan sebuah film pendek an sich. Jika indikator kesuksesan sebuah film adalah aplaus penonton, maka Maya, Raya, Daya gagal menyebabkan penonton Busan bertepuk tangan. Ada senyap yang cukup panjang tercipta sampai layar menampilkan film pendek berikutnya dari negara lain.
The Matchmaker lebih beruntung. Meski digarap lebih cair berlumur ornamentasi pop yang kental—dengan beberapa dialog mengacu pada sutradara Wong Kar-wai, musik Franz Ferdinand, atau buku psikologi populer terlaris saat ini, Blink, karya Malcolm Gladwell—akhir cerita dipilin ke dalam bentuk yang hampir tak terpikirkan penonton, sehingga mereka berseru ”wow!” sebelum mengganjar dengan aplaus riuh.
Namun, jika dibandingkan dengan kedelapan film pendek lainnya, terasa sekali para sineas negeri tetangga lebih bergairah untuk mencari bentuk pengucapan yang lebih eklektik. Misalnya Runner karya sutradara Jepang Nobuaki Hayakawa, yang menjadi favorit penonton. Film sepanjang 12 menit itu lebih dari separuh durasinya menayangkan seorang pemuda berlari mengambil bermacam jalan pintas di sebuah kota Jepang yang hiruk, lalu tercebur di pinggir laut, pingsan sejenak, bergelimang pasir dan debu kota, sebelum melanjutkan lari, dan sampai di pintu sebuah gereja.
Di altar, sepasang mempelai siap menjalani sakramen pernikahan. Penonton digiring untuk percaya bahwa lelaki yang berantakan dan terengah-engah itu adalah pecundang, alias bekas pacar mempelai perempuan—lewat ucapan pengantin lelaki yang meledek. Ternyata lelaki muda itu…justru pendeta yang akan menikahkan mereka! Dan dalam sepertiga film yang efektif, beragam kilas balik dengan editing cut-to-cut yang padat, dengan sangat tak terduga menyajikan ”rahasia” mengapa sang pendeta datang terlambat.
Jika kita percaya pada anggapan bahwa penonton festival film internasional lebih menyukai film-film yang artsy ketimbang yang ”sederhana”, jangan-jangan penyebabnya hanya karena kita tak lagi percaya pada tuah ungkapan ini: little thing means a lot.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo