Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Bagir Manan bukan jenis orang yang gemar mengumandangkan jargon-jargon hebat manakala berbicara tentang pemberangusan korupsi. Dia memang tidak naif terhadap riuhnya pendapatpublik yang mencibir sebagian petugas lembaga peradilan karena kegemaranmereka bermesraan dengan korupsi. Tapi, Bagir Manan memilih menegakkanperseteruan dengan korupsi dunia peradilan dari dirinya sendiri, dari kursinyasebagai Ketua Mahkamah Agung Republik Indonesia. Kepada sekretarisnya,Bagir selalu mewanti-wanti bahwa hanya tiga kelompok yang boleh datang kapansaja ke kantor untuk menemuinya: hakim, wartawan, dan mahasiswa.
Maka, bukan hal yang tiba-tiba bila Bagir mudah saja menerimapuluhan wartawan yang menerobos pelataran Mahkamah Agung (MA) dan masukke kantornya pada hari Jumat dua pekan silam. Ketua MA itu menerimasejumlah wartawan TEMPO dan kuasa hukumnya yang datang untukmempertanyakan sita jaminan rumah redaktur senior TEMPO, Goenawan Mohamad,oleh Pengadilan Negeri Jakarta Timur. Ju-ga, rencana penyitaan kantorKoran Tempo. Kasus-kasus ini muncul sebagai buntut perkara "pencemarannama baik" dengan penggugat Tomy Winata melawan TEMPO.
Setelah hampir satu jam berbicara dengan wartawan, para pengacara,serta sejumlah tokoh masyarakat, Bagir Manan muncul di depan kantornya.Disambar oleh puluhan kamera dan lampublitz, Bagir mempertegas seutas benang merah yang jauh lebihpenting daripada sekadar sita jaminan sebuah rumah atau kantor: keleluasaanberekspresi. "Ini menyangkut kebebasan pers," ujarnya dengan tenang danmantap.
Dalam pernyataannya, Bagir Manan mengaku prihatin dengan kasustersebut dan menekankan pentingnya seluruh elemen publik—termasuklembaga peradilan—memelihara kelangsungan masa depan pers di Tanah Air. Naikke kursi Mahkamah Agung melalui jalur non-karier, Bagir datang dari latarbelakang akademi yang kental. Dia pernah menjadi Rektor UniversitasIslam Bandung. Dan sampai sekarang, guru besar ilmu hukum tata negara itumasih tetap terus mengajar di Universitas Padjadjaran, Bandung.
Pekan lalu, di tengah kesibukannya yang padat, Bagir Mananmenerima wartawan TEMPO Setiyardi untuk sebuah wawancara khusus. Dengantenang dan taktis, dia menjawab aneka pertanyaan tentang berbagaiproblem hukum yang tengah mengemuka—termasuk bisa-tidaknya penerapandalil lex specialis (undang-undang khusus) dalam Undang-Undang Pers.Berikut ini petikannya.
Bagaimana prosedur sita jaminan dalam suatu perkara?
Dalam bahasa hukum disebutkan, penyitaan hanya boleh dilakukanbila ada "sangka beralasan". Yakni adakekhawatiran bahwa si pemegang aset akan memindahkan ataumenjualnya. Nah, yang mudah dijual adalah benda bergerak. Sedangkan aset takbergerak harus ada prosedur seperti pembuatan akta notaris dan proses baliknama. Jadi, penyitaan aset tak bergerak bukan sesuatu yang mendesak.
Adakah pedoman yang detail soal pelaksanaan sita jaminan?
Mahkamah Agung (MA) sebenarnya telah mengeluarkan pedoman untukpenyitaan. Kriteria utamanya adalah nilai barang yang disita seimbangdengan nilai perkara. Kami juga menggariskan beberapa aset yang tak perlu disita:bangunan yang amat besar, pabrik, saham, dan barang milik pemerintah.Dalam rapat kerja nasional MA di Bandung pada pertengahan September 2003lalu, kami membuat komisi soal penyitaan. Dalam waktu dekat, akan kamibuat dalam bentuk buku pedoman penyitaan.
Berkait dengan soal sita jaminan, rumah Goenawan Mohamad belumlama ini disita karena perkara "pencemaran nama baik" dengan Tomy Winata.Apakah ini hal yang biasa?
Seorang penggugat bisa saja menyebutkan kerugian imateriil akibattindakan orang lain. Tapi, hakim harus berhati-hati betul dalammenangani kasusnya. Soalnya, amat sulit menilai kerugian imateriil tersebut. Padatahun 1970-an, ada orang yang menuntut ganti rugi sebesar Rp 1 (saturupiah). Tentu saja ini (kerugian imateriil) menjadi persoalan yang amat subyektif.
Apakah langkah Hakim Mabruq Nur menyita rumah GoenawanMohamad terbilang wajar?
Saudara Goenawan Mohamad bukan tukang jual-beli rumah. Kenyataanini seharusnya juga menjadi pertimbangan majelis hakim yang akanmenyita rumah tersebut. Oleh karenanya, saya membicarakannya dengan parapimpinan Mahkamah Agung. Saya meminta ketua bidang pengawasansupaya mengurusnya. Pembatalan penyitaan kantorKoran Tempo tentu saja tidak datang dari langit.
Ada yang menyebut Anda terlalu memberi perhatian pada kasus sitajaminan Goenawan. Benar demikian?
Kasus ini menyangkut pers. Kita sudah bertekad bahwa kebebasanpers merupakan salah satu unsur absolut dalam kehidupan demokrasi kita.Ini prinsip yang harus disadari semua orang—termasuk oleh para hakim.
Toh, banyak juga yang menilai kebebasan pers sudah terlalu jauh.Apakah Anda setuju?
Saya ingin kita tak menarik mundur kebebasan tersebut. Saya juga bisamengeluh dengan pemberitaan pers. Tapi hal itu tak bisa dijadikan alasanuntuk kembali membungkam pers. Tentu saja, saya juga ingin pers terus belajarmemperbaiki dirinya.
Apakah, dalam kasus-kasus kerja jurnalistik, kita bisa menerapkan dalillex specialis derogat lex generalis (undang-undang khusus mengalahkanundang-undang yang lebih umum) dalam Undang-Undang Pers?
Secara teoretis, lex specialis hanya berlaku bila undang-undangnyamengatur secara spesifik. Bila tidak, lexgeneralis akan tetap berlaku. Dalam perdagangan, misalnya, orang terikatpada hukum dagang. Tapi, persoalan perdata—seperti perjanjian harusdilakukan oleh orang dewasa dan tak ada unsur penipuan—tetap berlaku. Selainitu, hierarki lex specialis harus sederajat denganlex generalis-nya.
Pasal-pasal ketertiban umum (haatzaiartikelen) di KUHP kerap dipakai untuk mengadili kasus pers.Bagaimana Anda melihat ini?
Dalam hukum pidana, persoalan pers masuk dalam bab "ketertibanumum" (haatzai artikelen). Pasal-pasal itumerupakan produk kolonialis. Sebagai guru besar hukum tata negara, sayaberpendapat bahwa delik-delik hukum kolonial itu demi hukum(by law) sudah tak berlaku lagi, meski secaraformal belum pernah dicabut. Inilah yang saya coba jelaskan kepada para hakim.
Dalam penjelasan tersebut, Anda berpijak pada landasan hukum apa?
Bila terjadi perubahan sistem ketatanegaraan, seperti dari kolonial kekemerdekaan, semua rezim politik dan hukum by lawtidak berlaku lagi. Kalaupun masih ada yang berlakukarena memang dimungkinkan oleh aturan peralihan, wajib menyesuaikandiri dengan prinsip yang baru. Sebagai sebuah negara merdeka, Indonesiamenganut sistem demokrasi yang secara prinsip mengusung kebebasan persdan kebebasan berekspresi.
Ini soal lain. Ada kesan kuat reformasi hukum jalan di tempat. Apakomentar Anda?
Bagi saya, reformasi hukum berarti reformasi sistem hukum. Tentu sajahal ini menyangkut banyak komponen. Ada pendidikan hukum, profesi hukum,servis hukum, dan penegak hukum. Soal perundang-undangan juga masihjadi persoalan besar. Banyak aturan yang tumpang-tindih yang membuatpolemik berkepanjangan. Pengadilan memang amat penting karena menjadipenjaga gawang terakhir. Tapi, hanya sebagian kecil soal hukum yang masuk kepengadilan.
Setujukah Anda pada pendapat publik ini: budayasuap masih berakar di pengadilan?
Ini soal perilaku hukum. Orang menganggap kalau beperkaraharus menang. Inilah yang menjadi awal suap. Untuk mengatasinya, yangpaling memungkinkan adalah membangun sistem pengawasan yangbagus. Tentu saja akan lebih baik bila ditopang dengangaji dan moral hakim yang baik. Saya juga membuat "Tim 11", yangmengurus mutasi hakim. Saya ingin seorang hakim takterlalu lama di posnya, paling lama tiga tahun. Iniuntuk menghindarkan ekses negatif.
Apa yang Anda lakukan untuk memberantas penyuapan hakim?
Mahkamah Agung memiliki ketua muda bidang pengawasan.Hasilnya, tahun ini ada 10 hakim yang ditindak.Beberapa di antaranya bahkan kami usulkan agardiberhentikan. Dalam lingkaran internal Mahkamah Agung, saya membuatketentuan tak boleh menerima tamu untuk urusan perkara. Aturan lain,walaupun mungkin terlihat remeh, adalah perintah agar sejak pukul 8pagi semua pintu di Mahkamah Agung tertutup. Hasilnya amatlumayan. Kantor MA tak lagi seperti pasar. Kamijuga pernah merombak ratusan orang di MA. Ini untukmereposisi agar mereka tak membuat jaringan.
Sebagai Ketua MA, tentunya banyak orang ingin "bertemu" denganAnda. Bagaimana Anda mengatasi hal ini?
Saya jelaskan kepada sekretaris di depan bahwa ada tiga kelompokorang yang bebas untuk datang: hakim, mahasiswa, dan wartawan. Yang laintidak boleh. Tentu saja, seperti kasus TEMPO kemarin, saya hanyamendiskusikan problem hukumnya.
Apa yang dilakukan MA untuk menangani penumpukan perkara kasasi?
Itu persoalan besar. Sampai sekarang, kami tak bisa menguranginya.Soalnya, jumlah perkara yang masuk dan yang diputus tetap sebanding. Rata-rataada 600 perkara yang diputus setiap bulan, tapi tetap saja ada penumpukansekitar 17 ribu perkara. Kami tak bisa memaksakan diri karena khawatirkeputusannya jadi prematur.
Jika sedemikian menumpuk, mengapa jenis perkara yang bolehmengajukan kasasi tak dibatasi saja?
Itu yang harus kita perjuangkan. Bayangkan, ada perkara dua buahcangkul, betul-betul hanya dua buah cangkul, yang sampai di MA. (BagirManan tampak memperagakan orang yang mencangkul—Red.). Ceritanya,beberapa tahun lalu dua cangkul itu disita polisi karena perkara tanah. Sipemilik cangkul menuntut ganti rugi Rp 120 juta karena mengaku kehilangan alatuntuk menggarap tanah. Ini betul-betul tak masuk akal.
Apakah penumpukan perkara ini yang membuat, misalnya, kasuskorupsi Bulog oleh Akbar Tandjung menjadi berlarut-larut?
Sebetulnya tidak berlarut-larut. Bahan perkara ini banyak sekali.Majelis hakim harus amat berhati-hati. Inimenyangkut perkara figur publik. Tapi, saya kira sebelumpemilu nanti pasti akan ada keputusan. Beberapa hakimnya sudahmemberikan pendapat hukum.
Kapan keputusan kasus Akbar akan keluar?
Maaf, saya tak bisa menjawab pertanyaan itu. Yang pasti, PakAkbar harus siap menerima apa pun keputusan Mahkamah Agung.
Apakah banyak politikus yang menanyakan kasus tersebut kepadaAnda?
Kalau saya sedang berada di pesta perkawinan, ada beberapa temanyang menanyakan perkembangan kasus tersebut. Tentu saja saya takdapat menjawabnya.
Saat ini sedang ramai soal rancangan KUHP. Mengapa banyakpasal yang memberatkan?
Ketika masih di Departemen Kehakiman, saya ikut membuat drafrancangan KUHP tersebut. Rancangan itu dibuat dalam suasana politikdan kebatinan sekitar 10 tahun lalu.Pertanyaannya: apakah suasananya masih menunjang? Soal santet, misalnya, saya rasatidak bisa diterapkan secara hukum. Saya khawatir akan seperti filmBenyamin Sueb yang mengirim benda-benda lewat jampi-jampi, ha-ha-ha....
Mengapa negara harus ikut-ikutan mengurus soal zina dan kumpul kebo?
Bagi saya, terlepas dari persoalan agama, secara umum adat-istiadatkita menganggap hal tersebut tidak baik. Buktinya, ketika ada penelitianmenyebutkan bahwa banyak mahasiswa kumpul kebo, banyak orang yang marah.Memang ada yang bilang hal itu merupakan ruang privat. Padahal, kalausemua orang berzina, pasti akan jadi persoalan publik. Jadi, batas antara ruangpublik dan ruang privat menjadi amat tipis. n
Bagir Manan:
Tempat/tanggal lahir:
- Lampung Utara, 6 Oktober 1941
Pendidikan:
- SMA 1 Tanjungkarang (1961)
- Sarjana, Fakultas HukumUniversitas Padjadjaran, Bandung (1967)
- Master, Southern MethodistUniversity Law School, Texas, AS (1981)
- Doktor Universitas Padjadjaran (1990)
- Guru besar hukum tata negara
Pekerjaan:
- Staf pengajar di Universitas Padjadjaran (1967 - sekarang)
- Direktur di Direktorat Hukum dan Perundang-undangan Departemen Kehakiman (1990)
- Dirjen Direktorat Hukum dan Perundang-undangan Departemen Kehakiman (1995)
- Rektor Universitas Islam Bandung (2000 - 2004)
- Ketua Mahkamah Agung (2001 - sekarang)
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo