Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Wawancara

<font face=arial size=1 color=brown><B>Fahmi Idris: </B></font><BR />Para Tokoh Berpengaruh Tak Mendukung JK

20 Juli 2009 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

BAGI Fahmi Idris, jumlah suara yang diperoleh pasangan Jusuf Kalla-Wiranto dalam pemilihan presiden, dua pekan lalu, benar-benar jauh dari bayangan. Sebagai ketua tim kampanye JK-Wiranto, dia tahu betul peta politik di daerah.

Di atas kertas, menurut hitungan matematis Fahmi, mestinya pemilihan presiden berlangsung dua putaran. Di putaran kedua ini, JK-Wiranto akan berebut suara dengan Susilo Bambang Yudhoyono-Boediono.

Harapan itu meleset jauh. Menurut hitung cepat Lembaga Survei Indonesia, perolehan suara JK-Wiranto berada di urutan bontot. SBY-Boediono meraup 60,8 persen suara, Megawati Soekarnoputri-Prabowo Subianto 26,6 persen suara, dan JK-Wiranto hanya 12,6 persen suara.

Ada banyak analisis mengapa dukungan terhadap JK-Wiranto demikian rendah, bahkan lebih kecil daripada suara yang didapat Partai Golkar dan Partai Hanura, dua partai pengusung JK-Wiranto, pada pemilihan legislatif. Dari soal kalah finansial hingga mesin partai yang ngadat. ”Sudah jelas mesin Partai Golkar memang tak bergerak optimal,” kata Fahmi, 65 tahun, Rabu pekan lalu di kantornya, Departemen Perindustrian.

Selama hampir empat jam, dengan sejumlah off the record, Fahmi memaparkan kepada wartawan Tempo, Sapto Pradityo, Budi Riza, dan Akbar Tri Kurniawan, bagaimana semua hitungan dan optimisme itu menguap.

Perolehan suara JK-Wiranto bahkan lebih rendah dibanding suara Golkar-Hanura pada pemilu legislatif. Kenapa?

Perolehan suara itu memang sangat mengagetkan. Misalnya di Aceh. Tokoh-tokoh Aceh dari berbagai kubu, termasuk kelompok terbesar Partai Aceh, pernah datang ke rumah JK menyatakan mendukung JK-Wiranto. Mereka bahkan menjamin 60 persen suara rakyat Aceh untuk JK. Dari pengalaman selama ini, hubungan JK dengan mereka baik sekali. Jadi JK sangat percaya dengan komitmen mereka. Tapi kenyataannya kan lain? Pertanyaannya, apakah mereka yang ingkar komitmen atau ada operasi lain yang menyebabkan mereka ingkar komitmen.

Bagaimana dengan daerah lain?

Jawa Barat, misalnya. Hampir semua tokoh Jawa Barat pernah datang menemui JK dan menyatakan dukungan. Mereka ini tokoh Pasundan. Mereka ini benar-benar tokoh berbobot dan punya pengaruh di bawah. Ada sekitar 50 kelompok. Belum lagi jika dihitung Nahdlatul Ulama, Muhammadiyah, dan Persis. Semua tokohnya sudah didatangi. Jadi mestinya aman dari segala aspek.

Jadi, menurut hitungan tim kampanye, suara di Jawa mestinya lumayan?

Ya. Di Jakarta, perebutan suara harusnya seimbang. Di Jawa Timur, dukungan Hasyim Muzadi dan semua kiai NU luar biasa. Demikian pula di Pulau Madura. Dukungan terhadap Wiranto di Jawa Tengah juga luar biasa. Kami paham 65 persen rakyat Indonesia berada di Jawa, maka kami memberikan perhatian istimewa ke Jawa.

Menurut perhitungan, berapa kira-kira perolehan suaranya?

Kami memprediksi perolehan suara untuk semua daerah di Indonesia paling rendah 30 persen, dan tertinggi 37 persen. Makanya semua kaget dengan hasil perhitungan sementara, terutama saya. Sebab, saya kan benar-benar tahu peta politik di daerah? Tapi mau apa lagi? Kami simpulkan saja pasangan SBY-Boediono lebih diminati, lebih populer, tim kampanyenya lebih baik, dan uangnya lebih kuat.

Anda mengatakan pasangan Jusuf Kalla-Wiranto tak punya cukup uang. Bukankah dalam barisan pendukung ada sejumlah pengusaha?

Tidak juga. Jadi pola menyumbang mereka itu kan kira-kira begini. Misalnya, untuk pasangan pertama, dia menyumbang sepuluh persen, dan lima persen lagi untuk pasangan kedua. Lalu ke mana yang 85 persen? Tentu kepada calon yang kemungkinan menangnya paling besar.

Semua pengusaha ”menaruh kaki” di banyak tempat seperti itu?

Ya. Tapi kan tidak jadi masalah. Namanya juga pengusaha. Pengusaha kecil, misalnya, menyumbang Rp 5 miliar, kalau yang kelas menengah Rp 15 miliar, dan pengusaha besar minimal Rp 50 miliar. Tapi yang kecil bisa juga menyumbang Rp 15 miliar. Kenapa? Pasti dia punya kasus besar.

Berarti jajak pendapat sangat menentukan perolehan sumbangan?

Benar, sangat menentukan. Itu kan salah satu taktik.

Anda mengaku kurang logistik, tapi data Nielsen Media Indonesia menunjukkan belanja iklan Partai Golkar dan JK-Wiranto paling besar?

Belanja iklan itu kan hanya sebagian pengeluaran, tapi tidak mewakili gambaran besar seluruh pengeluaran.

Berapa belanja iklan JK-Wiranto?

Tak terlalu besar, sekitar Rp 50 miliar. SBY-Boediono pasti lebih dari itu. Saya juga tak percaya pengeluaran kami lebih besar. Saya meragukan data itu. Dan kampanye kan bukan cuma iklan.

Berapa besar dana untuk para relawan?

Mereka dapat juga, tapi kalau sumbernya kecil, ya, mereka dapatnya juga kecil. Kalau sumbernya besar, besar pula mereka. Ada juga yang tak kami beri karena mintanya besar sekali.

Bagaimana ceritanya mesin Partai Golkar tidak jalan?

Sudah clear bahwa mesin Partai Golkar memang tak bergerak optimal. Ada berbagai faktor. Misalnya, ketika kami gencar-gencarnya melakukan pembinaan persiapan pemilihan presiden di daerah, salah seorang petinggi Golkar malah mengundang pengurus-pengurus daerah tingkat dua untuk menyelenggarakan musyawarah nasional luar biasa. Kok teganya. Dan anehnya, mereka yang berkumpul di acara kami juga datang di acara itu. Itu memukul betul. Saya benar-benar syok.

Bukankah perpecahan itu sudah tampak pada saat penentuan JK sebagai calon presiden?

Ketika JK ditetapkan sebagai calon presiden, memang muncul pro-kontra. Yang kontra mengatakan keputusan yang diambil dalam acara di Hotel Borobudur itu tidak sebagaimana yang dikehendaki peserta. Keputusan rapat itu, kata mereka, memberi JK mandat berunding dengan SBY untuk mengusulkan calon wakil presiden. Dan itu terus dipertahankan, Golkar hanya akan mengusulkan calon wakil presiden. Tapi kebetulan SBY tak mau dengan calon Golkar. Tapi teman-teman tidak percaya.

Masalah itu terus berlanjut hingga pemilihan presiden?

Itu terus jadi basis perbedaan. Padahal, kalau JK hanya menjadi calon wakil presiden, pasti dihujat juga. Partai begini besar kok cuma mengajukan wakil presiden? Jadi kondisinya memang agak runyamlah.

Siapa saja yang tak mendukung pencalonan JK?

Aburizal Bakrie, Agung Laksono, Akbar Tandjung, Theo Sambuaga, Fadel Muhammad, Muladi.

Di lapangan, bagaimana gambaran perbedaan pendapat itu?

Mereka yang tak mendukung JK itu tokoh partai yang berpengaruh. Walaupun pada kampanye pemilihan presiden kelihatan kompak, saya yakin hasilnya pasti berat. Dan benar, di Sulawesi, JK kalah di Sulawesi Utara.

Ada contoh lain?

Misalnya di Depok dan Tanjung Priok, Jakarta, di TPS-TPS tak ada saksi. Kalau di Papua, tak ada saksi itu bisa dipahami. Di Depok, dari 2.767 tempat pemungutan suara, hanya 300 TPS yang ada saksi. Uangnya sih sudah kami kirim, dan mereka terima.

Selain soal saksi, ada indikasi lain mesin partai tak jalan?

Mereka tidak menggalang massa hingga level paling bawah. Golkar itu elitis. Ini kelemahan sejak dulu.

Tapi pada 2004 bukankah mesin Golkar masih jalan?

Kondisi Pemilu 2004 harus disamakan dengan Pemilu 1999. Pada 1999, pemenangnya PDI Perjuangan karena suasana kebencian terhadap pemerintah Soeharto. Pada 2004, masyarakat kecewa dengan kegagalan pemerintah Megawati, dan suara diberikan kepada Golkar. Sekarang, rakyat menganggap pemerintah berhasil, lewat program bantuan langsung tunai dan sebagainya, sehingga suara diberikan kepada SBY.

Bagaimana dengan usul musyawarah nasional luar biasa?

Pilihannya ada tiga: musyawarah nasional, munas dipercepat, atau munaslub. Dalam anggaran dasar Partai Golkar, tak ditentukan kapan harus dilakukan munas, cuma diselenggarakan lima tahun sekali. Nah, munas yang terakhir adalah Desember 2004, berarti Munas Golkar berikutnya mestinya Desember 2009. Sempat beredar usul munaslub. Tujuannya untuk menjatuhkan JK. Kalau munaslub terjadi saat pemilihan presiden, akan benar-benar memalukan. Bayangkan jika JK jatuh dari posisi ketua umum saat masih berlangsung pemilihan presiden. Jadi semua jurus terpaksa dikeluarkan untuk melawan taktik kotor itu. Akhirnya usul munaslub itu gugur. Yang tinggal sekarang adalah munas dipercepat.

Anda setuju musyawarah nasional dipercepat?

Oke saja. Buat saya, tak jadi soal munas dilakukan kapan pun setelah selesai pemilihan presiden. Sepertinya sekitar awal Oktober. Jadi sekarang soal munas ini sudah selesai, tinggal dilaksanakan saja.

Bagaimana dengan posisi Golkar di pemerintahan?

Pilihannya sebenarnya ada tiga. Pilihan yang paling diminati, khususnya oleh Ical (Aburizal Bakrie), adalah koalisi dengan pemerintah SBY-Boediono dan Partai Demokrat. Opsi berikutnya oposisi, yang didukung Surya Paloh. Pilihan ketiga, yang tak banyak dibahas, menempatkan pemerintah sebagai lawan latih tanding. Pertandingannya beneran, tapi tak diberi nilai. Jadi tidak ada menang atau kalah. Tujuannya untuk membuat pemerintah lebih tajam, lebih tangkas menyerang, dan mengetahui apa saja kelemahannya.

Peta dukungannya seperti apa?

Pendukung koalisi kira-kira 70 persen, oposisi 25 persen, dan yang terakhir paling banyak lima persen.

Bila pilihannya koalisi, sebagai partai yang belakangan bergabung dengan SBY-Boediono, bukankah posisi Golkar lemah?

Posisinya sama dengan 2004. Saat itu Golkar juga baru belakangan mendukung SBY-JK.

Tapi waktu itu ada faktor JK?

Bagaimanapun, Golkar bergabung belakangan. Kebetulan saja JK kemudian menjadi ketua umum.

Berapa banyak tawaran dari kubu SBY-Boediono?

Itu masih rahasia. Pilihan koalisi ini berat bagi Golkar. Kalau akhirnya pilihannya berkoalisi, orang akan menertawai: ”Kok, Golkar jurusnya itu-itu saja. Kok, Golkar takut jauh dari kekuasaan.” Kalau tak dikelola dengan benar, partai bisa runtuh pada 2014. Demikian pula bila beroposisi hanya karena tak suka dengan SBY. Pilihan ketiga yang paling imbang.

Pilihan koalisi ini pertimbangannya apakah semata ”gizi”?

Gizi hanya ikutan. Yang utama, Golkar itu ibaratnya sudah 30 tahun mencangkul, tiba-tiba disuruh menulis. Bayangkan seperti apa tulisannya.

Sepertinya hanya Ical dan Surya Paloh calon kuat pengganti JK….

Ya. Makanya saya mendorong yang muda-muda. Tapi ini kerumitannya: siapa saja yang hendak maju akan dihadang persoalan finansial. Untuk Ical dan Surya, ini persoalan enteng, tapi berat bagi yang muda-muda.

Bagaimana dengan peluang Akbar Tandjung?

Kalau sebagai ketua umum, tak ada harapan. Kalau sekadar pendukung, bisalah…. Kalau saya Akbar, saya juga malu. Dia kan sudah berulang kali kalah.

Fahmi Idris

Lahir: Jakarta, 20 September 1943

Pendidikan:

    S-1 Fakultas Ekonomi Universitas Indonesia (1962, tidak selesai)
  • Fakultas Ekonomi Program Extension Universitas Indonesia (1975)

Pekerjaan:

  • Anggota DPR Gotong-royong (1966-1968)
  • Presiden Direktur PT Kwarta Daya Pratama (1969)
  • Presiden Direktur Grup Kodel (1979)
  • Menteri Tenaga Kerja dan Transmigrasi (1998-1999)
  • Menteri Tenaga Kerja dan Transmigrasi (2004-2005)
  • Menteri Perindustrian (2005-sekarang)

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus