Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Selepas pemilu presiden pada 8 Juli lalu, kantor Wakil Presiden Muhammad Jusuf Kalla tampak lebih lengang dari lazimnya. Sesekali ia masih memanggil para menteri, meminta laporan pelaksanaan kebijakan. Namun acara ini tidak lagi tercantum dalam jadwal resmi. "Sekarang lebih banyak acara internal," kata seorang pejabat protokoler. Padahal, sebelumnya, di kantor inilah rapat terbatas kabinet kerap dilakukan. Hampir setiap hari wartawan mendapat beragam berita dari jumpa pers para pejabat setelah mereka diterima Kalla.
Seiring dengan jadwalnya yang menipis, Kalla pun kian jarang terlibat dalam rapat kabinet yang dipimpin Presiden. Misalnya, ketika kabinet membahas antisipasi kekeringan akibat El Nino di Istana Negara pada akhir Juli lalu, Kalla tidak muncul. Dia tengah berkunjung ke tiga pembangkit listrik, yaitu Pembangkit Listrik Tenaga Uap Labuhan di Pandeglang, PLTU Indramayu, dan PLTU Suralaya di Banten.
Sebelumnya, Kalla juga tidak terlibat dalam penyiapan pidato Presiden mengenai Nota Keuangan dan Rancangan Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara 2010. Saat itu Presiden Susilo Bambang Yudhoyono hanya memanggil tiga menteri koordinator untuk memberikan masukan.
Alhasil, kini JK-begitu dia disapa-bisa lebih cepat pulang kerja: sekitar pukul 15.00-16.00. Padahal, "Biasanya saya baru pulang pukul enam atau tujuh malam," katanya. Kamis pekan lalu, JK memberikan wawancara khusus kepada wartawan Tempo Budi Riza dan M. Taufiqurohman di kantornya, di kawasan Kebon Sirih, Jakarta Pusat.
Ruang kerja Wakil Presiden sejuk oleh pendingin udara bersuhu 25 derajat Celsius. Mengenakan kemeja biru muda, dipadu pantalon hitam, Kalla tampak segar dan fit. Lima bundel dokumen bersampul oranye dan berkode rahasia tertata rapi di meja panjang di belakang tempat duduknya. Itulah kumpulan dokumen yang merekam aneka kebijakan yang dia tangani selama empat setengah tahun terakhir.
Dengan rileks, Kalla menjawab semua pertanyaan-dalam aksen Makassar yang kental. "Anda mau tanya apa, bisa saya jelaskan," ujarnya.
Apa saja aktivitas Anda sekarang setelah pemilu presiden?
Sekarang kan sudah demisioner. Saya tidak melihat ke depan, karena itu kan bukan jatah saya. Tapi saya melihat apa yang belum dan masih bisa dikerjakan. Misalnya kenapa proyek rumah susun tidak jalan.
Para menteri masih kerap menemui Anda?
Ya, ada beberapa. Saya kan masih wakil presiden. Mereka misalnya membahas proyek jalan tol.
Boleh kami tahu rutinitas pagi Anda?
Jam lima bangun, terus salat subuh. Kadang berjemaah dengan keluarga. Kemudian jogging atau main golf di Rawamangun. Kalau tidak, ya, baca koran di rumah. Sudah sekitar enam bulan saya tidak main golf karena kesibukan pemilu. Sekarang baru mulai lagi.
Di mana Anda jogging?
Di rumah saja. Repot kalau jogging di luar. Berapa orang yang harus mengawal? Kalau sedang di Makassar, saya sering jogging di stadion. Kalau di Jakarta, di sekitar Taman Suropati, Menteng, atau di Monas. Setelah itu, sarapan.
Sejak kegiatan kantor wakil presiden agak sepi, bagaimana mengisi waktu?
Dulu saya pulang jam enam atau tujuh petang. Sekarang jam tiga atau empat saya sudah pulang. Tidak selalu ada rapat. Selama empat tahun terakhir, saya sudah 412 kali mengikuti rapat resmi.
Setelah di rumah, apa saja aktivitas Anda?
Baca koran, buku sejarah, biografi, serta nonton acara berita atau debat di televisi. Tapi sekarang enggak menarik lagi. Sekarang kan beritanya Pak Urip (Mbah Surip) melulu.
Pernah bertemu dengan Mbah Surip?
Di SCTV, kira-kira sebulan lalu, ada acara soal perempuan.
Kami dengar Anda mulai aktif menggunakan Internet?
Baru belakangan saja saya agak sering mengakses Internet. Kemarin, misalnya, saya ingin tahu soal El Nino, bagaimana terjadinya dan apa saja dampaknya. Saya browsing kalau mencari informasi tertentu.
Masih sering jalan-jalan dengan cucu-cucu?
Wah, tidak gampang pergi dengan mereka. Masak, ada 40 orang ikut? Belum lagi harus koordinasi ini dan itu. Tidak enaklah. Mending cucu saya yang datang ke rumah.
Anda aktif di majelis zikir?
Kalau ada acara, saya sering diundang. Asal diundang, saya usahakan datang.
Masih banyak teman lama datang?
Dalam keadaan apa pun, kalau teman lama mau datang, saya bilang ke sini saja. Kalau malam pun, saya masih sering bangun, terutama kalau lagi banyak teman datang.
Yuddy Chrisnandi mendapat dukungan Anda menjadi calon Ketua Umum Golkar bersaing dengan Surya Paloh dan Aburizal Bakrie. Bagaimana peluangnya?
Bagi saya, siapa saja yang potensial silakan maju. Ini kan demokrasi. Saya mendukung Yuddy supaya ada regenerasi di Golkar dengan pikiran-pikiran jernih.
Kalau Yuddy menang, Anda jadi penasihat?
Itu bukan prioritas buat saya. Saya mendukung semuanya. Terserah nanti bagaimana hasil proses demokrasi.
Kalau Aburizal menang, Golkar bergabung ke pemerintah. Apa berarti dukungan kepada pemerintah di Dewan Perwakilan Rakyat akan aman?
Tidak juga, meskipun pemerintah didukung mayoritas partai di DPR, kan tidak jaminan bakal aman. Berdasarkan pengalaman, partai pendukung pemerintah juga suka berbeda sikap.
Anda menggugat hasil pemilihan presiden ke Mahkamah Konstitusi. Tujuannya apa?
Laporan itu biarlah menjadi pelajaran, agar lain kali Komisi Pemilihan Umum tidak seenaknya. Juga supaya mereka lebih hati-hati dan tidak mengabaikan masalah daftar pemilih tetap begitu saja. Ini bukan soal menang-kalah, karena saya kan sudah siap pulang kampung.
Proses perdamaian di Thailand Selatan turut melibatkan peran Anda. Seberapa jauh hasilnya?
Prosesnya agak macet. Sebab, penanggung jawab di pihak Thailand tidak ada. Kan, politik dalam negeri di negara itu sedang kacau.
Punya rencana menulis buku?
Nantilah. Lihat-lihat dulu suasana. Memang banyak sekali untold story selama di sini.
Tentang kasus gas Donggi-Senoro, apa sebenarnya yang terjadi?
Sistem energi Indonesia dibuat untuk menjamin terpenuhinya kebutuhan nasional. Salah satu sumber energi paling penting adalah gas. Selain untuk energi, gas menjadi bahan baku pembuatan pupuk dan industri petrokimia. Sepanjang sejarah energi Indonesia, gas itu sepertinya hanya untuk diekspor. Empat puluh tahun lalu, kebijakan seperti itu mungkin tidak jadi soal. Tapi sekarang, saat harga energi kian mahal, ini jadi masalah besar.
Apa dampaknya?
Karena Indonesia menjual gasnya, pembangkit listrik terpaksa menggunakan solar. Banyak pabrik tutup karena tak ada gas. Terjadi defisit neraca gas: kebutuhan lebih banyak ketimbang yang tersedia. Bagaimana orang mau berinvestasi kalau tidak ada gas? Jadi selama ini kebijakan kita keliru. Ngapain kita ekspor gas jika di dalam negeri masih ada lampu mati karena kurang bahan bakar?
Apa karena harga gas lebih murah ketimbang batu bara?
Memang masih lebih murah menggunakan batu bara, tapi batu bara kan kotor, polutif.
Apa alasan dasar Anda tidak setuju dengan kerja sama Pertamina-Medco-Mitsubishi?
Jangan keliru, itu hasil rapat dengan Departemen Energi dan Departemen Keuangan. Wakil Pertamina juga ada. Purnomo (Menteri Energi) hadir, Sofyan Djalil (Menteri Negara BUMN) hadir. Saya tahu Pertamina bekerja dengan baik. Secara sektoral, kerja sama itu mungkin menguntungkan Pertamina, tapi secara nasional negara rugi. Presiden sudah setuju, penuhi kebutuhan dalam negeri dulu dan bikin tender secara terbuka.
Tapi bukankah harga jual gas Donggi lebih baik daripada Tangguh?
Ini bukan soal harga, melainkan soal ketahanan energi nasional. Kita ekspor gas, tapi pabrik pupuk di Aceh tutup. Siapa yang harus menutup kerugian itu? Kan pemerintah. Berarti rakyat juga yang menanggung dampaknya.
Jadi proyek ini tanpa tender memadai?
Ya, tender pembangunan kilangnya. Padahal, sejak 1980-an, pengusaha lokal sudah bisa membangun kilang di Bontang.
Penunjukan kontraktor pembangunan kilang benarkah tanpa tender?
Saya tidak tahu. Tapi yang pasti harganya kelewat mahal.
Jika pengusaha lokal membangun kilang, bagaimana pembiayaannya?
Tidak jadi masalah. Bank Mandiri sudah menyatakan kesanggupannya mengucurkan kredit US$ 1 miliar (sekitar Rp 10 triliun).
Pembelinya sudah ada?
Calon pembeli di Indonesia banyak. PLN sanggup beli, kalangan industri juga mau.
Ada yang mengatakan gas Donggi tidak ekonomis untuk Jawa-Sumatera?
Kalau dikirim ke Jepang saja bisa ekonomis, masak untuk Jawa dan Sumatera tidak ekonomis?
Pendiri Medco, Arifin Panigoro, menemui Anda. Boleh tahu isi pembicaraan Anda dengan dia?
Dia menyampaikan beberapa saran. Dan saya mengatakan harga bukan soal. Yang jadi masalah adalah memenuhi kebutuhan dalam negeri. Presiden sudah setuju, jadi saya tidak bisa mengubah keputusan. Tapi, kalau Presiden membuat keputusan lain, saya akan tunduk.
Bukankah konsorsium Pertamina sudah menawarkan opsi sebagian gas untuk dalam negeri?
Iya, tapi tetap tidak mencukupi. Negeri ini harus mandiri. Bagaimana kita bisa bersaing kalau kekurangan energi dan harganya kelewat mahal? Okelah, ada pemikiran tentang kepentingan Pertamina, tapi saya memikirkan kepentingan bangsa.
Apa tak mengganggu iklim investasi kalau kita menolak menjual?
Justru kalau ada gas, investasi akan bertambah. Orang lain ngetawain kita. Mereka bilang, "Bangsa ini bodoh benar, punya gas tapi malah dijual."
Soal lain, kenapa proyek monorel di Jakarta masih macet padahal pemerintah sudah menjamin?
Karena penjaminannya telat sekali, sudah setahun lewat. Saya marah sekali, proyek sudah jalan, ada tiang-tiang yang tak selesai, sementara di jalan macet sekali. Berapa bahan bakar terbuang akibat kemacetan? Padahal, kalau monorel bisa beroperasi, kan baik sekali. Di Malaysia dan Thailand, ini berhasil.
Muhammad Jusuf Kalla Lahir: Watampone, Sulawesi Selatan, 15 Mei 1942 Pendidikan: Pekerjaan:
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo