Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
DUA pasangan calon Gubernur dan Wakil Gubernur DKI siap bertarung dalam putaran kedua pada September ini. Duet Fauzi Bowo dan Nachrowi Ramli versus Joko Widodo dan Basuki Tjahaja Purnama. Jadilah putaran kedua ini menghadapkan dua kutub: petahana dan penantang, orang kota melawan orang daerah, gubernur melawan wali kota, dan aneka predikat lain.
Dua kutub, aneka predikat. Namun, di antara semua isu seputar pemilu DKI Jakarta itu, nama Basuki Tjahaja Purnama alias Ahok, calon wakil gubernur pendamping Jokowi, menjadi pusat perhatian tersendiri. Ahok dibahas jauh lebih sering ketimbang pasangan lawannya. Yang dibahas dari Ahok bukan soal rekam jejak politiknya semata-mata. Kehadiran pria keturunan Tionghoa beragama Kristen yang mendadak di pentas politik Ibu Kota itu memicu gerilya penebaran isu SARA dari mereka yang tak siap. Ahok pun kini menjadi batu ujian perjalanan demokrasi Ibu Kota.
Zhong Wan Xie alias Ahok secara blakblakan menjawab berbagai isu yang menerpanya. Sebelum Ramadan, dia sempat berkunjung ke kantor redaksi Tempo dan berdiskusi dengan kami. Tak cukup sebatas diskusi, wartawan Tempo Andari Karina Anom, D.A. Candraningrum, dan Theresia Ananda mewawancarainya lagi di kawasan Bendungan Hilir, Jakarta Pusat, akhir Juli lalu. Dua setengah jam dia buka-bukaan soal banyak hal yang meliputi pencalonannya, termasuk sejumlah hal yang off the record.
Menjelang putaran kedua pemilihan Gubernur DKI Jakarta, beredar isu SARA yang ditujukan kepada Anda yang berlatar Kristen dan Cina. Tanggapan Anda?
Isu yang sekarang berkembang persis sama dengan yang dipakai pada 2005 sewaktu saya ikut pemilihan Bupati Belitung Timur. Belitung itu 93 persen penduduknya Islam dan sejak 1955 adalah basis Masyumi. Toh, mereka percaya memilih saya. Sekarang katanya saya dapat sumbangan Rp 72 miliar dari Vatikan. Padahal saya ini Kristen, bukan Katolik.
Itu sebabnya Anda mengadakan "Silaturahmi Ulama dan Habib di DKI dengan Calon Wakil Gubernur Basuki T. Purnama" di Condet, Jakarta Timur, Mei lalu?
Saya memenuhi undangan Habib Mahdi Alatas. Sebelum menjadi pengkhotbah, dia pengusaha di Belitung. Dia pernah mengajukan izin tambang 640 hektare di Belitung. Sewaktu suratnya masuk, saya cek ke masyarakat dan mereka setuju (dengan pembangunan tambang itu), ya saya kasih izin. Saya tidak kenal siapa dia, sampai kemudian akhirnya kami bertemu di Hotel Borobudur, Jakarta. Ternyata dia anggota Gerakan Muslim Indonesia Raya (Gemira). Dia bilang, "Saya tahu Ahok ini bupati jujur," lalu dia undang saya makan-makan dengan para habib untuk menjelaskan berbagai salah paham yang berkembang tentang saya.
Apa yang Anda sampaikan dalam forum itu?
Yang bicara justru Habib Mahdi. Dia bilang, "Saya jalan ke masjid-masjid di Belitung, ternyata yang membangun adalah bapaknya Ahok." Bapak saya memang ngajarin, kalau mau membantu masjid, bantulah pembangunan fondasinya. Kalau masjidnya dipakai terus, berarti pahalanya akan mengalir terus.
Menjelang putaran kedua, Jokowi-Ahok dikeroyok partai-partai besar yang sudah berkoalisi ke kubu lawan. Persiapan Anda?
Kalau koalisi kan urusan DPP partai. Saya dan Pak Jokowi kerja tidak pernah pakai hitung-hitungan. Kami bukannya mengejar-ngejar target.
Kalau tidak mengejar target, bagaimana bisa menang melawan Foke-Nara yang sangat siap dengan koalisi partai?
Rakyat Indonesia tidak melihat partai, tapi melihat Jokowi dan Ahok. Kami menjadi simbol standar baru: partai yang ikut kami, bukan kami ikut partai. Kalau partai mau menang pada 2014, mereka harus taro orang-orang dengan gaya kami. Kalau ternyata nantinya partai menempatkan orang yang tak bisa dipercaya, rakyat tidak akan pilih. Termasuk Ibu Megawati dan Pak Prabowo. Jika mereka dipersepsikan tidak seperti Jokowi dan Ahok, orang juga tidak mau pilih.
Bagaimana menjawab kekhawatiran orang bahwa Anda nantinya didikte oleh Gerindra dan Jokowi oleh PDIP?
Sewaktu deklarasi setelah pendaftaran, Gerindra berani mengumumkan bahwa tidak ada kontrak apa pun antara saya dan partai. Jadi tuduhan itu tidak mendasar. Gerindra dan PDIP tahu karakter Jokowi-Ahok ini tidak bisa diatur. Memang, sewaktu mereka "memakai" kami sebagai calon, jelas ada asas manfaat, tapi bukan dalam arti negatif. Pencalonan Jokowi-Ahok membuktikan partai bisa mendapatkan kembali kepercayaan rakyat. Tentu orang akan lebih percaya kepada PDIP dan Gerindra karena kedua partai ini berani memajukan calon yang baik dalam persepsi orang. Partai bisa bagus kalau ada figur bagus yang dicalonkan. Belum tentu rakyat akan langsung memilih siapa pun yang dicalonkan PDIP atau Gerindra.
Kilas balik sedikit, bagaimana awalnya Anda dipasangkan dengan Jokowi?
Saya pikir, kalau kita bicara idealisme partai, yang berani idealis adalah PDIP dan Gerindra. Kalau mau lebih dalam lagi, ide pertamanya justru dari Gerindra, yang langsung berani menetapkan Jokowi-Ahok sebagai calon mereka. Gerindra ikhlas mencalonkan dua orang yang bukan kadernya. Satu PDIP, satu lagi Golkar.
Tawaran itu yang membuat Anda meninggalkan Golkar?
Golkar menyuruh saya berhenti. Padahal seharusnya bagi Golkar merupakan satu kebanggaan kalau ada kadernya dilirik orang lain. Tapi karena ada peraturan baru, yang mungkin sengaja dibuat untuk menghalangi saya naik lagi di Bangka Belitung, ya sudahlah. Lalu saya ditawari masuk Gerindra. Pak Prabowo bilang, PDIP punya Jokowi, dan karena perjodohan ini ide Gerindra, kalau boleh Gerindra juga punya Ahok, dong. Kalau mau mengubah nasib sebuah bangsa, ya, Anda harus berpolitik. Artinya, menjadi anggota partai. Ya, saya putuskan terima kartu anggota Gerindra.
Benarkah Hashim Djojohadikusumo sempat menolak Anda?
Pak Hashim tidak bisa terima saya karena ada salah paham sedikit antara saya dan orangnya soal Tanah Merah (Tanjung Priok, Jakarta Utara).
Salah paham soal apa?
Jadi, Pak Hashim punya yayasan yang membantu orang-orang susah di sana untuk membuat KTP dan akta kelahiran. Sebagai anggota Komisi II DPR, saya datang ke sana. Saya bertemu dengan warga Tanah Merah yang mengaku tidak bisa masuk sekolah karena tak punya akta. Saya turun membantu. Rupanya, orangnya Pak Hashim—namanya Ricardo—kesal karena merasa lahannya diambil. Mungkin dia pikir, kalau proyek ini selesai, dia ngapain lagi. Dia bilang ke saya: "Elu tahu enggak gue ngurus yayasan siapa? Ini punya Hashim Djojohadikusumo." Saya bilang: "Emang gue pikirin? Dia enggak ada urusan sama gue. Saya juga pejabat, anggota Komisi II DPR." Ricardo menyampaikan omongan saya ke Pak Hashim, yang mengira saya melecehkan dia.
Bagaimana sikap Prabowo soal "pelecehan" ini?
Pak Prabowo justru suka sama saya karena saya orangnya terus terang dan tanpa tedeng aling-aling. Tapi Pak Hashim bilang, "Saya mau dia (Ahok) klarifikasi dulu soal itu (Tanah Merah). Kalau enggak beres, saya menolak." Saya bilang, saya tidak pernah menghina, dan Pak Hashim juga tidak kayak anak kecil, kok. Dia kemudian baik sama saya.
Hashim sempat menolak, tapi mengapa Gerindra tetap memajukan nama Anda?
Pak Prabowo bilang ke Pak Hashim bahwa ini hasil survei Gerindra, seperti apa pun dia (Ahok) harus dimajukan. Tapi, ke saya, Pak Prabowo ngomong, "Hashim yang sama-sama Kristen dengan kamu saja tidak mau terima kamu, karena dia bilang mana mungkin Ahok laku." Tapi Pak Prabowo punya keyakinan bahwa penelitian Gerindra sudah menghasilkan 25 calon terbaik yang bisa mengalahkan Foke. Jadi perlu diklarifikasi, bukan Prabowo sengaja mengincar Ahok.
Bagaimana cara Gerindra sampai mendapat 25 nama itu?
Wah, saya tidak tahu. Yang jelas, untuk calon gubernur, ada nama Jokowi, Faisal Basri, Chairul Tanjung, dan Sandiaga Uno. Saya di nomor 11. Sedangkan untuk wakil gubernur, saya nomor dua sesudah Deddy Mizwar.
Terlepas dari pencalonan Anda sebagai calon wakil gubernur, sebenarnya bagaimana awalnya Anda mengenal Prabowo?
Saya kenal dengan Pak Anshori (Mayor Jenderal Anshori Tadjudin, sekarang di intelijen). Saya tidak tahu apakah ada hubungannya antara Pak Prabowo dan Pak Anshori. Mereka sama-sama tentara dan Kopassus. Kalau omongan Pak Anshori benar, ada tentara-tentara tidak resmi yang mau menyelamatkan negeri, dengan menyiapkan orang-orang yang dipercaya rakyat untuk diorbitkan di tingkat nasional. Mungkin saya masuk radar mereka.
Pendekatannya seperti apa?
Saya diundang bicara di Lemhannas, sekitar Januari atau Februari lalu. Padahal saya tidak ada hubungan dengan lembaga itu. Saya sebenarnya mau di-fit and proper test. Supaya saya enggak tahu, ya, disuruh jadi dosen tamu. Temanya: Indonesia dalam Menghadapi Persaingan Global. Di situ saya bicara tentang Cina dan sebagainya. Kalau jadi dosen tamu kan kelihatan sikap saya, dan itu semua divideokan. Apakah semua ada hubungan dalam mereka (tentara-tentara itu) meneliti kita, itu yang seharusnya diungkap. Jadi, kalau dibilang Prabowo mengincar Ahok yang Cina untuk "mencuci dosa", saya kira enggak. Memangnya kita ini Rinso, tukang cuci dosa?
Banyak yang khawatir Anda menjadi batu loncatan Prabowo menuju 2014....
Memang banyak yang bilang: kalau elu sukses, nanti yang dapat nama juga Prabowo. Menurut saya, (kemungkinan) itu tipis. Keberhasilan Jokowi dan Ahok tidak membuat orang otomatis memilih Megawati apalagi Prabowo. Sebaliknya, hanya karena Anda enggak suka Prabowo, lalu Anda menolak figur-figur yang baik yang dia dukung. Itu namanya Anda mengorbankan kepentingan yang lebih besar.
Tapi Prabowo banyak beriklan di media memanfaatkan Anda dan Jokowi?
Nah, itu yang kami keberatan, seolah-olah orang memilih Jokowi-Ahok karena Prabowo. Terus kami datang protes ke bagian marketing (Gerindra), mereka ngomong, "Dalam iklan itu, Pak Prabowo cuma minta masyarakat memilih kalian, kan. Kenapa tidak boleh?"
Prabowo banyak disorot dalam soal pelanggaran hak asasi, penculikan aktivis, dan sebagainya di masa lalu. Anda sebagai "bawahan"-nya di Partai Gerindra tidak terpengaruh?
Orang bilang dia labil, emosional. Tanpa melihat masa lalu beliau, setiap saya ketemu, dia enggak kasar dan ketawa-ketawa saja. Menurut saya, Pak Hashim bisa lebih pemarah daripada Pak Prabowo. Saya pernah diajak ke lapangan polo milik Prabowo di Gunung Putri. Saya kaget semuanya milik Prabowo. Saya diajak naik kuda, ternyata sakit, ha-ha-ha….
Berapa uang yang sudah Anda keluarkan untuk maju sebagai calon Wakil Gubernur DKI Jakarta?
Pertama tidak sampai Rp 10 juta. Terakhir akuntan saya masukin Rp 80 juta ke rekening saya. Dia bilang mana cukup buat uang saksi. Pak Jokowi saja keluar Rp 500 juta untuk saksi. Saya bilang duit dari mana. Bisa-bisa gue jual rumah. Akuntan saya bilang, cari pinjaman saja. Akhirnya saya mau menjual saham saya. Dulu Hashim bilang, semua biaya akan dicari bersama. Tapi ternyata dia yang biayain besar.
Anda keberatan Hashim keluar biaya banyak untuk Anda?
Pak Hashim berkomitmen mengeluarkan dana untuk kami, tapi ternyata dia lebih banyak keluar uang untuk promosi Prabowo di televisi. Kami protes dan suasana sempat tegang. Eh, kemudian Bu Mega mengeluarkan billboard sejenis. Tapi Pak Jokowi memang dekat dengan Ibu Mega.
Anda pernah membantu PDIP, lalu ke PIB, Partai Golkar, dan kini Gerindra. Tak takut dianggap kutu loncat?
Di PDIP saya dianggap anak badung oleh Bu Mega dan Pak Taufiq Kiemas. Saya membantu dana pada 1999 tapi tidak pernah jadi anggota. Pak Taufiq meminta saya jadi Ketua PDIP Belitung Timur, saya tidak mau. Saya malah jadi Ketua Partai Indonesia Baru. Ini yang membuat Pak Taufiq sempat enggak suka saya karena enggak bisa diatur. Saya pindah ke Gerindra juga karena dipecat oleh Golkar.
Ada yang menganggap Anda ambisius: belum kelar masa jabatan sebagai Bupati Belitung Timur, sudah mencalonkan diri untuk Gubernur Bangka-Belitung. Belum selesai masa jabatan sebagai anggota DPR, sudah maju sebagai calon Wakil Gubernur DKI Jakarta....
Pernah enggak ketemu pejabat yang rela berhenti demi tanggung jawab untuk menyejahterakan rakyat? Pejabat yang salah aja tidak mau berhenti, apalagi yang kagak salah. Selain itu, kalau kita berpolitik, pasti maunya (menjabat) lama, dong. Saya bisa 10 tahun di jabatan bupati, tapi saya memilih mencalonkan diri jadi gubernur. Itu karena saya mentok dengan para kepala dinas. Saya bilang: kalau saya jadi gubernur, semua kepala dinas yang brengsek akan saya ganti. Di DPR juga saya bisa tenang-tenang, tapi saya memilih maju sebagai calon wakil gubernur yang risikonya banyak dan belum jelas juga. Tapi, demi orang banyak, demi contoh demokrasi Indonesia, saya memilih mundur.
Jangan-jangan, kalau Anda terpilih sebagai Wakil Gubernur DKI Jakarta, Anda memilih melompat lagi sebelum kelar masa jabatannya?
Tergantung. Kalau saya mentok dengan para menteri, saya mau mencalonkan diri jadi presiden, ha-ha-ha….
Basuki Tjahaja Purnama (Zhong Wan Xie) Tempat dan tanggal lahir: Manggar, Belitung Timur, 29 Juni 1966 Pendidikan: S-1 Fakultas Teknologi Mineral Jurusan Teknik Geologi Universitas Trisakti, lulus 1990 l S-2 Manajemen Keuangan Sekolah Tinggi Manajemen Prasetiya Mulya, Jakarta, lulus 1994 Pengalaman: Direktur PT Nurindra Ekapersada 1992-2005 l Bupati Belitung Timur, 2005-2006 l Anggota Komisi II DPR, 2009-2014 |
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo