Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Enam jam lebih berbicara nonstop soal pajak, agaknya, melukiskan apa yang disebut Fuad Rahmany sebagai "the spirit to achieve tax revenue". Direktur Jenderal Pajak ini datang ke redaksi Tempo pekan lalu. Di hadapan dua lusin lebih wartawan yang mencecarnya dengan rentetan pertanyaan, Fuad mengaku target utamanya adalah meluaskan sedapat mungkin jumlah pembayar pajak, dan menghidupkan potensi-potensi besar yang masih dormant—belum tersentuh—selama ini.
Salah satu sasaran jumbo yang ada dalam target dia—termasuk melalui usul amendemen Undang-Undang Perpajakan—adalah pajak atas aset-aset saham pemilik perusahaan. Selama ini, secepat apa pun kekayaan seseorang beranak-pinak melalui saham perusahaan, petugas pajak tak dapat menyentuhnya kecuali ada transaksi penjualan. "Saham yang nilainya naik enggak akan ada (pajaknya) selama belum dijual," ujarnya.
Maka Fuad pun bergegas menerapkan sensus pajak pada 2011 untuk memetakan potensi pajak yang belum terdeteksi. Ini antara lain untuk memenuhi target penerimaan Direktorat Jenderal Pajak pada 2012 senilai Rp 914,19 triliun. Tentu itu bukan perkara mudah, lebih-lebih di tengah sorotan tajam publik akhir-akhir ini. Nama-nama petugas pajak semacam Gayus Tambunan, Bahasyim Assifie, dan Dhana Widyatmika—yang terlibat kasus-kasus korupsi ataupun dugaan korupsi jumbo—sungguh mengejutkan publik dan mencoreng nama Direktorat Pajak. Kekayaan ketiga orang itu bahkan meÂngalahkan harta para direktur badan usaha milik negara.
Sang Dirjen mengakui integritas masih menjadi salah satu titik lemah di Direktorat Pajak, yang kini tengah dia bereskan. Tapi Fuad juga keras mendesak agar para penyuap petugas pajak—yang selama ini melenggang kangkung begitu saja—dihukum setimpal. "It takes two to tango," dia menegaskan.
Kami menahan Fuad di kantor Tempo lebih lama pada Rabu pekan lalu. Awalnya dia datang "mengantarkan" petugas pajak yang memungut surat pemberitahuan tahunan (SPT) karyawan Tempo. Hadir pada pukul 10.00, ia baru keluar dari kantor Tempo menjelang senja untuk menjawab pertanyaan-pertanyaan Hermien Y. Kleden, Qaris Tajudin, Tomi Arjanto, Purwani Diyah Prabandari, dan Istiqomatul Hayati.
Satu ihwal klasik pajak negara kita adalah pemasukan selalu kurang dari yang seharusnya. Apa strategi Anda mengoptimasi penerimaan?
Salah satunya melalui pemetaan potensi pajak. Itu dimulai dari yang besar-besar, orang kaya-kaya, yang belum cukup membayar pajak. Kendala pertama adalah data kami kurang. Kendala kedua adalah Undang-Undang Perpajakan, khususnya tentang para pemilik perusahaan.
Detailnya bagaimana?
Berbeda dengan direksi yang menerima gaji, dan langsung bisa dipotong oleh pajak penghasilan atau PPh 21, para pemilik perusahaan tak mendapat gaji. Mereka cuma melaporkan pajak penghasilannya, sehingga angka (pajak)-nya rendah. Tapi si pemilik ini punya saham perusahaan (dan menjadi kaya oleh perusahaan itu).
Sebelum reformasi pajak 1983, ada pajak kekayaan, yang kemudian diubah menjadi pajak atas bumi dan bangunan.
Pada 1983 itu kan kekayaan orang muncul dalam tanah dan rumah. Pasar modal belum berkembang di masa itu. Sekarang kekayaan (orang Indonesia) berpindah ke pemilikan perusahaan, yang enggak ada pajaknya atas saham dan aset finansial. Bila nilai aset riil (properti) naik setiap tahun, nilai pajak bumi bangunan pun lebih tinggi. Tapi saham yang nilainya naik enggak ada (pajaknya) selama belum dijual.
Oke, jadi ini menurut Anda menjadi kendala dalam Undang-Undang Perpajakan, khususnya yang terkait dengan pemilik perusahaan.
Satu hal penting nilai saham (si pemilik perusahaan) makin lama makin besar. Dia bisa mendapat uang dari saham yang lebih besar itu. Kalau dia pinjam uang di bank internasional, ini bisa menjadi agunan. Lalu uang itu dipakai untuk membangun perusahaan supaya lebih besar lagi. Kekayaannya dia gandakan, tapi (nilai) pajaknya tetap berdasarkan Undang-Undang Perpajakan kita yang tidak mengenal pajak terhadap kekayaan finansial kecuali saat dijual.
Apa upaya menarik pajak pemilik saham itu?
Kami bekerja sama dengan institusi yang membantu kami membuka data. Ini ada sektor gede sekali yang bertransaksi, tapi tidak bayar PPN (pajak pertambahan nilai). Asosiasi Pengusaha Indonesia serta Kamar Dagang dan Industri Indonesia akan membantu kami melaporkan perusahaan yang tidak mau bayar pajak, karena ini tidak adil buat mereka (yang membayar). Ada perusahaan yang mengaku usaha kecil menengah ternyata omzetnya Rp 10 miliar, Rp 20 miliar setahun. Mereka semua termasuk yang belum bayar pajak.
Apakah solusinya dengan memperbaiki undang-undang?
Undang-Undang (Perpajakan) harus diperbaiki, direvisi! Kita harus melihat juga benchmark di negara-negara lain. Sebagian negara maju mengenakan pajak terhadap kepemilikan saham—tanpa transaksi penjualan.
Upaya apa yang sudah Anda lakukan untuk perbaikan undang-undang?
Kami sudah membuat daftar usulan perbaikan Undang-Undang Perpajakan ke depan.
Bagaimana potensi pajak tambang-tambang dan komoditas yang sedang booming?
Batu bara, tambang-tambang mineral, dan CPO (crude palm oil) sedang booming, tapi Direktorat Jenderal Pajak belum mampu menggali berapa sebetulnya produksi mereka.
Kenapa?
Kami bukan tidak mau, tapi kami benar-benar tak punya kemampuan untuk itu. Bayangkan, batu bara yang baru digali dari bumi, bagaimana mengukur nilainya? Orang pajak enggak mungkin tahu. Karena itu, kami butuh orang tambang yang bisa membantu menghitung (riil) produksi perusahaan-perusahaan tambang di Indonesia: berapa yang digali, berapa yang diekspor. Orang pajak harus tahu ini secara pasti.
Kan, ada laporan dari auditor perusahaan?
Kami enggak bisa menggantungkan diri (sepenuhnya) pada laporan itu. Orang pajak kan mau tanya, mau tahu, dari mana angka produksi dua juta ton itu. Apa dia ngukur?
Sewa konsultan saja.
Nah, itu yang sekarang akan kami lakukan. Selain menghitung kuantitas, juga kualitas. Mineral yang ikut tertambang—selain yang utama—apa saja, kalorinya berapa, dan lain sebagainya. Kami belum memanfaatkan institusi yang punya kewenangan di bidang itu, karena izin pertambangan bukan dari pajak.
Apa poin utama Anda, sebetulnya?
Ini poinnya: kami tidak pernah bisa—dan enggak pernah ada upaya—memverifikasi benar-tidaknya data yang mereka laporkan. Bank Indonesia sama seperti kami, (hanya) mendapat laporan. Tapi, benar-tidaknya data itu, enggak ada satu pun institusi yang independen dan jujur datang memberitahukan: oh, tambang itu produksinya bukan 1 juta ton, tapi 1,2 juta ton.
Soal lain: andai akses data aliran dana wajib pajak (perorangan) yang besar-besar bisa dibuka, berapa potensi pemasukan bisa ditingkatkan?
Coba Winky (Winky Winariza, Kepala Kantor Pelayanan Pajak Wajib Pajak Besar Orang Pribadi), kalau kamu bisa mendapat rekening mereka, optimismenya (berapa)?
Winky Winariza: Kalau buat saya, uang dari wajib pajak (perorangan) yang kaya-kaya itu sebenarnya hanya petty cash (uang kecil).
Bagaimana melacaknya?
Pada pemilik perusahaan yang mentransfer uang, kan, ada datanya. Dia punya perusahaan, tapi karena dia tahu sekarang orang bisa mengakses bank, dia cenderung enggak mau taruh uang di bank-bank di Indonesia. Dia akan memarkir (uangnya) di Singapura atau Hong Kong. Tapi waktu awal dia mentransfer uang itu pasti ketahuan, kecuali dia bawa cash ke sana.
Winky: Indonesia ini seperti safe haven untuk mereka.
Mari kita pindah soal. Direktorat Jenderal Pajak akhir-akhir ini disorot karena kasus korupsi Gayus Tambunan dan Dhana Widyatmika. Apa yang sudah Anda lakukan untuk membenahi masalah ini?
Itu memang concern kami. Tapi kita juga harus realistis. Kita tidak bisa menjamin orang, di dalam atau di luar pajak, seratus persen jujur. Yang terpenting sekarang membangun sistem agar kenakalan bisa dideteksi secara dini. Masalahnya, deteksi dini tidak mudah karena kultur kita: tetangga di kantor melakukan korupsi, kita enggak mau ribut. Beda dengan orang Jerman dan Amerika Serikat, yang punya budaya korektif, di sini ibaratnya lu-lu, gua-gua.
Jadi apa yang terjadi sekarang adalah dampak budaya diam-diam?
Seperti dalam kasus Gayus. Teman-temannya tahu dia main suap, tapi diam saja. Ya lu tanggung risiko sendirilah. Tapi kultur ini kan enggak beres.
Anda yakin bisa mengubahnya?
Kami paksa mereka berubah dengan aturan. Kalau di sebuah unit ada kejadian lagi seperti Gayus, semua anggota unit itu kena. Mereka, baik rekan seunit maupun atasan, mendapat sanksi atau teguran.
Berapa lapis yang akan kena?
Belum bisa dibilang berapa. Kita harus adil, karena menghukum orang yang tidak bersalah kan melanggar hak asasi. Yang jelas, sistem yang kami terapkan ini setidaknya mempersempit ruang gerak mereka (yang melakukan korupsi). Dulu Gayus enak, dia kaya sendiri, temannya enggak ada yang melapor.
Ke mana orang pajak harus melaporkan kecurangan rekan-rekannya?
Bukan melapor ke atas, tapi langsung ke sistem kami, whistle-blowing system. Tapi sekarang masih ada saja yang melapor ke saya lewat SMS (pesan pendek). Sampai saya bilang, "You jangan SMS ke Dirjen. Lewat sistem, dong. Saya kan enggak bisa mengatasi ini sendiri."
Aturan ini sudah berjalan?
Sudah, diteken September tahun lalu. Saya sudah kumpulin kepala kantor dan meminta kesepakatan mereka untuk mendukung aturan yang saya tanda tangani itu.
Jika aturan itu diteken September tahun lalu, kenapa dalam kasus Dhana banyak orang pajak yang membelanya di blog, Twitter, dan sebagainya?
Untuk DW, saya enggak mau kasih komentar dulu, karena yang pegang kasusnya sekarang ini kejaksaan. Mereka yang bisa membuktikan dia salah atau tidak. Ini negara hukum, jadi biarkan aparat hukum bekerja lebih dulu.
Ada pendapat, Anda dianggap gagal mengatasi korupsi di Direktorat Jenderal Pajak karena kasus Dhana. Ada komentar?
DW kan kasus lama. Transaksi yang dibuka Pusat Pelaporan dan Analisis Transaksi Keuangan (PPATK) itu antara 2002 dan 2008. Jangan dibilang kami gagal. Justru dengan begini kami sukses.
Sukses bagaimana?
Saya menyambut baik hasil peneluÂsuran PPATK yang akan ditindaklanjuti kejaksaan dan kepolisian. Alhamdulillah kalau 163 orang yang terindikasi kuat memiliki rekening mencurigakan yang akan diperiksa. Tapi itu saja tidak cukup. Orang pajak hanya akan terpidana kalau dia mendapat uang dari wajib pajak. DW, misalnya, sekarang ditahan dengan alasan dia mendapat uang dari wajib pajak. Tapi kenapa orang itu (penyuap DW) tidak ditahan? Pemberinya harus ditangkap, dong, diberi hukuman yang sama. Dalam kasus penyuapan pajak berlaku ungkapan: "It takes two to tango".
Kasus Gayus, Bahasyim, dan DW sempat memunculkan "kampanye" tidak membayar pajak, karena toh pajak yang dibayar akan dikorupsi oleh orang seperti Gayus.
Yang berkampanye seperti itu menurut saya juga "Gayus".
Kok bisa?
Itu orang yang punya mentalitas seperti Gayus. Sebenarnya Gayus tidak mengambil uang dari negara. Dia mendapat fee dari wajib pajak. Kalau ada yang bilang tak mau bayar pajak karena takut uangnya diambil petugas pajak, lho siapa yang ngambil? Kalau dia bayar pajak, uangnya kan masuk ke bank. Tidak ada uang pajak yang masuk ke kantor pajak. Semua kantor pajak hanya menerima laporan. Ada enggak loket untuk menerima uang di kantor pajak? Jadi, janganlah Gayus dijadikan alasan enggak bayar pajak.
Bisa memberikan tiga kelemahan utama di Direktorat Jenderal Pajak yang harus segera diperbaiki?
Anda minta tiga? Saya punya lima, ha-ha-ha…. Oke, pertama, kualitas sumber daya manusia harus ditingkatkan dan berarti melakukan training lebih dari sebelumnya. Akan kami perbaiki dari segi kompetisi mereka sebagai pemeriksa atau sebagai AR (account representative), juru sita. Memang banyak teman pemeriksa yang belum mampu menjadi pemeriksa pajak sehingga bisa ditipu wajib pajak. Lalu integritas.
Integritas masuk kelemahan utama?
In general we have problem with that. Harus kami akui itu. Ketiga, masalah administrasi. Misalnya masalah perekaman. Semestinya data pajak direkam. Sudah lama ini diabaikan. Mulai tahun ini, kami mewajibkan wajib pajak melengkapi data dengan softcopy supaya kami tidak perlu mencatat secara manual. Bahkan sekarang dengan sanksi. Kalau tidak menyerahkan softcopy, kami anggap belum menyerahkan data.
Sebagai pemimpin Direktorat Jenderal Pajak, Anda ibarat "orang baru dari luar". Bagaimana menghadapi resistensi di dalam Direktorat?
Resistensi rasanya sih enggak ada. Pernah ada yang khawatir, dan mereka nyampein. Itu saja. Ini fakta selama 14 bulan (saya) di pajak.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo