Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
PERIBAHASA ini usang nian: "Sudah jatuh ditimpa tangga". Apa boleh buat, peribahasa baheula itu ternyata masih cocok untuk melukiskan nasib malang Ustad Tajul Muluk, pemimpin kelompok Syiah di Sampang, Madura. Sang Ustad "jatuh" pada 29 Desember tahun lalu, ketika pesantrennya dibakar sekelompok orang dan tujuh pemimpin pesantren serta keluarganya diusir. Bukannya sang Ustad "dibangunkan", justru kini ia ditimpa "tangga", yakni dijadikan tersangka dalam kasus penodaan agama.
Kepolisian Jawa Timur resmi menetapkan Ali Murtadho, yang akrab disapa Tajul Muluk, sebagai tersangka sejak 16 Maret lalu. Ia dituduh melanggar Pasal 156a jo Pasal 3356 KUHP tentang penodaan agama dan perbuatan yang tidak menyenangkan. Apa dosa sang Ustad? Menurut Kepolisian Jawa Timur, Tajul mengajarkan Syiah, aliran yang oleh Majelis Ulama Sampang dinilai sesat. Padahal fatwa seperti itu tak pernah dikeluarkan Majelis Ulama Indonesia di Jakarta.
Syiah merupakan paham yang sudah ada sejak awal sejarah Islam, seperti halnya Sunni. Keduanya sama-sama memiliki keimanan terhadap lima rukun Islam dan enam rukun iman. Keduanya juga percaya bahwa Muhammad adalah nabi akhir zaman. Perbedaannya hanya pada beberapa interpretasi cabang fikih dan ketidaksamaan sudut pandang atas persoalan khilafah atau imamah (otoritas kepemimpinan politik setelah Rasul wafat).
Bagaimana bisa penganut paham Sunni menjadikan penganut Syiah sebagai musuh, begitu pula sebaliknya? Apalagi kedua mazhab besar Islam itu diakui dalam Konferensi Umat Islam di Mekah pada 2009. Majelis Ulama Sampang jelas keliru menyebut Tajul Muluk dan pengikutnya sesat. Polisi lebih keliru lagi menjadikan Ustad Tajul sebagai tersangka semata-mata akibat laporan yang keliru itu.
Seandainya pun Syiah yang dikembangkan Ustad Tajul itu merupakan "keyakinan sesat"—pengandaian ini juga tak perlu dan keliru—siapa yang berhak menjadi hakim untuk memutuskan kesesatan sebuah keyakinan? Tak seorang pun. Keyakinan adalah urusan pribadi. Keyakinan tak bisa diadili, sepanjang penganut keyakinan itu tidak melakukan tindak pidana.
Untuk kesekian kalinya pemerintah gagal melindungi masyarakat yang memiliki keyakinan berbeda dengan keyakinan yang dianut mayoritas. Padahal kelompok minoritas seharusnya mendapat perlindungan yang sama. Dalam kasus Ustad Tajul, keprihatinan itu lebih mengenaskan karena Forum Kerukunan Umat Beragama (FKUB) Jawa Timur juga mengecam penetapan polisi yang menjadikan sang Ustad sebagai tersangka. Bagaimana mungkin polisi bisa mengabaikan suara FKUB dan menerima begitu saja pengaduan Majelis Ulama Sampang, yang secara hierarki jauh di bawah?
Kepolisian pun mengabaikan prinsip hak asasi manusia yang telah diatur dalam Undang-Undang Nomor 12/2005 tentang Kovenan Hak Sipil dan Politik. Sebagaimana disebutkan dalam pasal 18 undang-undang itu, setiap manusia berhak meyakini, mengamalkan, dan menyebarkan agama atau aliran menurut kepercayaan masing-masing. Jaminan hak kebebasan beragama dan berkeyakinan ini bersifat mutlak dan tidak dapat dikurangi atas dasar apa pun.
Kami prihatin terhadap Ustad Tajul, yang menjadi korban sekelompok orang. Bukannya pembakar pesantren itu yang diadili, malah Tajul sendiri yang kini jadi pesakitan. Benar-benar hukum yang sakit di negeri yang barangkali juga sakit ini.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo