Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
O, dewa yang tunggal, yang kuasanya tak tertandingi…."
Pada tahun 1380 sebelum Masehi, di Mesir kuno, seorang raja menulis puisi yang indah untuk Yang Maha-Tunggal. Mungkin itu suara pemujaan seorang monotheis yang paling purba, 700 tahun sebelum Isaiah. Yang lebih banyak ditulis para pakar, ia seorang firaun yang mengubah agama nenek moyangnya menjadi sebuah keyakinan yang kemudian mirip dengan agama-agama Ibrahimi.
Ikhnaton, sang firaun, menyebut tuhan yang tunggal itu Aton, nama dewa lama yang dipakainya untuk mempermudah pemujaan. Tapi berbeda secara radikal dengan agama Mesir sebelumnya, keyakinan Ikhnaton melarang orang membuat arca tuhan itu. Sebab, kata raja yang masih muda itu, tuhan yang maha-tak-terbayangkan itu tak bisa diwakili dengan rupa apa pun.
Ia tuhan seluruh umat manusia, bukan cuma untuk bangsa Mesir—suatu kesimpulan dan inspirasi yang baru untuk zaman itu. Bahkan dalam himne, Mesir disebut yang terakhir dalam deretan bangsa yang diayomi Aton.
Dewa, atau tuhan ini, adalah tuhan kasih yang, seperti tertulis dalam himne itu, "mengisi Dua Telatah Mesir dengan penuh rahman dan rahim". Aton bukan dewa di tengah perang dan kemenangan, melainkan dalam kembang dan pepohonan, di mana kehidupan tumbuh. Aton adalah kegembiraan yang membuat anak-anak domba "menari dengan kaki mereka" dan unggas "berkecimpung di rawa-rawa".
Dapatkah dikatakan ia sebenarnya penegak taukhid pertama? Tak mungkin menjawab pertanyaan ini sebelum kita mengetahui dengan persis asal-usul keyakinan Ikhnaton dan sejarah pengaruh agama-agama sekian belas ribu tahun yang lalu.
Pada 1937, buku Sigmund Freud, Der Mann Moses und die monotheistische Religion (dua tahun kemudian terbit versi Inggrisnya, Moses and Monotheism), mengajukan sebuah hipotesis yang mengejutkan. Pertama, bahwa berbeda dengan keyakinan umat Yahudi, Musa bukanlah seorang Yahudi, melainkan seorang bangsawan Mesir. Kedua, bahwa monotheisme Musa bukan dari wahyu, melainkan berasal dari Ikhnaton. Atau bahkan ia sendiri sebenarnya Ikhnaton.
Musa, menurut pembacaan Freud atas Alkitab, membawa sejumlah pengikutnya yang terpilih ke luar Mesir. Tapi dalam perjalanan mereka membunuhnya. Mereka kemudian bergabung dengan suku lain yang juga memeluk monotheisme. Dalam perkembangannya, mereka menyesal telah membunuh pemimpin mereka, dan sejak itu mengharapkan akan datang kembali Musa sebagai Messiah.
Saya tak segera percaya tafsir Freud. Pengetahuan saya amat tipis tentang Mesir lama. Tapi banyak pakar yang melihat nada yang sama antara himne Ikhnaton dan kata-kata dalam Mazmur 104:
MAZMUR: Engkau yang berpakaian keagungan dan semarak, yang berselimutkan terang seperti kain, yang membentangkan langit seperti tenda, yang mendirikan kamar-kamar loteng-Mu di air….
HIMNE IKHNATON: Jukung berlayar ke hilir atau ke hulu, tiap jalan raya terbuka karena fajarmu. Ikan di sungai berloncatan karena kau. Kaulah sinar di tengah lautan raya yang hijau….
Tapi barangkali yang terjadi di antara dua lagu puja itu bukan sebab dan akibat. Hubungan itu bukan hubungan A yang lebih tua dan lebih dominan ketimbang B atau sebaliknya. Bisa jadi kedua-duanya tercetus dari élan kreatif yang selalu ada dalam sejarah manusia—getar yang merindukan Tuhan dan membuat kidung, dari mana doa lahir dan nyanyian digubah. Barangkali salah untuk melihat bahwa selalu ada hubungan sebab-akibat dalam dua kejadian yang berbeda, sebab tiap kejadian adalah sebuah aktualisasi tersendiri. Seperti halnya puisi yang tercipta hari ini bukan gema apalagi terpengaruh oleh sebuah puisi dari masa sebelumnya, meskipun keduanya katakanlah sajak cinta.
Sejarah berulang, tapi sebenarnya tak berulang. Tiap kali kejadian selalu baru, meskipun di sana ada masa lalu yang tersisa dalam endapan ingatan—dan ikut membentuk sejarah.
Yang tragis dalam riwayat manusia ialah bahwa sejarah juga mengandung cerita kehilangan. Ikhnaton tak bisa bertahan, bukan saja dalam takhtanya. Keyakinannya untuk membawa kabar baik baru—sebuah keyakinan yang dahsyat—telah membuatnya agresif.
Ia hancurkan patung-patung dewa lama. Ia hapus dari inskripsi batu kata-kata yang menyebut "dewa" dalam bentuk jamak. Bahkan ia rusak bagian dari istana ayahnya sendiri, untuk menghilangkan nama dewa lain yang menempel dalam nama si ayah, baginda yang telah wafat. Di Thebes, ibu kota kerajaan, wilayah kuil lama ia ubah namanya agar mengandung nama Aton. Tentu saja ia membuat marah kelas pendeta agama lama yang begitu penting kedudukannya.
Konflik pun meletus. Baginda terdesak dan meninggalkan kota. Keyakinan monotheismenya dihapuskan.
Baru berabad-abad kemudian orang menemukan sumbangan Ikhnaton kembali. Bukan dalam hal iman kepada tuhan yang maha-tunggal, melainkan dalam hal iman kepada tuhan yang maha-pengasih. "Aton" , begitulah tuhan itu disebut untuk mempermudah pemujaan, berbeda jauh dari Yahwe, tuhan Bani Israel pada sejarah awal kepercayaan mereka—tuhan gunung berapi, kata Freud, yang cemburu, pendendam, dan ganas.
Tapi untunglah: seperti Ikhnaton, selalu ada seseorang atau sekelompok orang yang melepaskan diri tanpa ingin kehilangan menyanyi, memuja, dan menemui Tuhan yang membuat sebuah siang, ya biarpun sebuah siang, berbahagia:
Jukung berlayar ke hilir atau ke hulu, tiap jalan raya terbuka karena fajarmu. Ikan di sungai berloncatan karena kau. Kaulah sinar di tengah lautan raya yang hijau….
Goenawan Mohamad
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo