Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
KELANGKAAN yang kemudian diikuti membubungnya harga kedelai pekan-pekan ini tidak hanya melenyapkan tahu-tempe dari pasar. Hal itu juga menerbitkan cerita sedih: negara kita nan permai ini tak mampu mencukupi pangannya sendiri. Bukan hanya kedelai, berbagai bahan makanan harus kita impor: dari beras hingga sayur dan buah.
Masyarakat kembali menoleh ke Badan Urusan Logistik (Bulog). Pada masa Orde Baru, lembaga ini menjadi penyangga harga bahan kebutuhan pokok, seperti beras, gandum, minyak goreng, dan kedelai. Sejak Januari 2000, untuk memenuhi keinginan Dana Moneter Internasional (IMF), Indonesia harus melepas proteksi terhadap bahan kebutuhan pokok, kecuali beras. Artinya, Bulog hanya bisa mengendalikan harga beras.
Kini, ketika harga kedelai melonjak dari Rp 5.500 menjadi Rp 7.750 per kilogram, Presiden Susilo Bambang Yudhoyono melontarkan ide mengembalikan peran Bulog seperti dulu: penstabil harga bahan makanan. Ide ini disambut hangat Direktur Utama Perusahaan Umum Bulog Sutarto Alimoeso. Ia yakin Bulog mampu, berbekal pengalaman puluhan tahun menangani bahan kebutuhan pokok. "Kalau pemerintah menetapkan kedelai seperti beras, kami sangat siap," katanya.
Berkantor di Bulog sejak 2009, Sutarto bukan orang baru di dunia pangan. Ia pernah menjabat Direktur Jenderal Tanaman Pangan Departemen Pertanian. Ia sadar betul posisinya sekarang adalah "kursi panas", yang mengantar beberapa pendahulunya ke balik jeruji. "Saya tak mau ‘sekolah’ di Cipinang," katanya. Untuk itu, ia berupaya menegakkan transparansi, khususnya yang menyangkut tender.
Wartawan Tempo Andari Karina Anom, Wahyu Muryadi, Adek Media, Retno Sulistyowati, dan Eka Utami menemuinya di Jalan Gatot Subroto, Jakarta Selatan, Senin pekan lalu. Meski sedang berpuasa, Sutarto tetap berapi-api menjawab pertanyaan kami.
Ihwal kelangkaan kedelai, Presiden ingin Bulog kembali mengendalikan harga semua bahan kebutuhan pokok. Apakah Bulog siap?
Pengalaman Bulog banyak karena dulu pernah menangani bahan kebutuhan pokok. Sumber daya manusianya pun sudah berpengalaman. Sekalipun situasi sekarang berbeda dengan dulu, kami sudah membaca tuntutan masyarakat: kenapa sih Bulog sepertinya diam kalau ada kejadian seperti ini? Padahal, mulai 2008, sudah terjadi gejolak harga kedelai. Harga gula juga pernah bergejolak. Maka Bulog sudah mempersiapkan diri dengan anak-anak perusahaan.
Kalau pemerintah menugasi Bulog menyangga harga, bagaimana mekanismenya?
Kalau pemerintah menetapkan kedelai seperti beras, artinya impor kedelai semuanya harus dilakukan oleh Bulog, kami sangat siap melakukan itu. Lalu Bulog akan menjualnya sesuai dengan harga yang ditetapkan pemerintah. Tapi, sebagai penyangga, pasti ada risiko: kalau harga naik, kami tetap harus menjualnya dengan harga rendah. Selisih harga itulah risiko yang harus ditanggung pemerintah. Jadi, Bulog tetap harus di-back up.
Kalau Bulog yang mengimpor semua, bagaimana dengan empat importir kedelai yang dikenal sebagai "empat naga": PT Gerbang Cahaya Utama, PT Cargill Indonesia, PT Citra Bakhti Mulia, dan PT Alam Agriasi Perkasa?
Kalau untuk menstabilkan harga kami disuruh terjun ke pasar bebas, kami sudah tertinggal dibanding pemain besar seperti mereka. Mereka sudah punya jaringan di tingkat internasional atau nasional. Tapi kan sudah ada undang-undang yang melarang monopoli. Enggak mungkin harga bahan pokok ini tidak diatur tata niaganya. Saya kira Kementerian Perdagangan mengatur supaya tidak ada monopoli (oleh perusahaan-perusahaan besar itu).
Selain beras, komoditas apa yang sebaiknya diserahkan ke Bulog?
Kalau melihat pengalaman selama ini, saya kira gula, minyak goreng, dan kedelai harus diserahkan ke pemerintah. Juga daging dan jagung. Usul kami, kalau kedelai itu ditetapkan sebagai bahan pokok strategis, ya, harus monopoli Bulog. Tapi, kalau tidak, cukup jadi penyangga.
Bagaimana risikonya kalau Bulog memonopoli?
Itu kan pemerintah yang menentukan. Tapi pasti banyak yang menentang dan dikhawatirkan memunculkan budaya lama di Bulog.
Budaya lama maksudnya korupsi? Sejak dulu, Bulog dikenal sebagai "mesin uang" yang diincar banyak pengusaha.
Terus terang, sebenarnya ada beberapa yang datang ke saya. Tapi selalu saya mengatakan bahwa kami transparan dan terbuka. Semua diurus oleh panitia tender untuk impor beras komersial.
Termasuk mereka yang membawa-bawa nama partai?
Terus terang, permintaan kepada kami sampai hari ini masih banyak. Saya tolak. Saya berani menolak.
Anda dikenal dekat dengan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono karena berasal dari satu kampung, bahkan kabarnya SBY dulu kerap menginap di rumah Anda di Pacitan. Kedekatan itu tak mempengaruhi tugas Anda sebagai Kepala Bulog?
Ha-ha-ha.... Kedekatan itu kan bisa positif atau negatif.
Maksudnya?
Ini kan era transparansi. Saya katakan kepada teman-teman di sini bahwa kita bekerja tidak cukup hanya baik, tapi baik dan benar. Kedua, kami sudah sepakat tidak akan mau diintervensi untuk memberikan apa pun kepada siapa pun.
Banyak Kepala Bulog pendahulu Anda yang berakhir di Lembaga Pemasyarakatan Cipinang, seperti Beddu Amang, Rahardi Ramelan, dan Widjanarko. Anda mengantisipasi risiko itu?
Memang saya mengerti betul bahwa ini kursinya panas. Saya tidak mau "sekolah" di Cipinang. Makanya mengubah penampilan. Mobil yang saya pakai itu dari pengadaan 2006. Selama masih bisa dipakai, saya tidak akan menggantinya sampai akhir masa jabatan. Saya juga tidak perlu dikawal voorrijder. Saya juga tak selalu menginap di hotel kalau tugas ke daerah. Banyak hal yang bisa dihemat.
Selain soal penghematan itu, apa perkembangan Bulog di bawah kepemimpinan Anda?
Sewaktu saya masuk ke sini pada 2009, kumulatif kerugian Bulog Rp 2,9 triliun. Laporan keuangan Bulog (menurut penilaian Badan Pemeriksa Keuangan): wajar dengan pengecualian. Pada 2010, kami mendapat penilaian wajar tanpa pengecualian.
Sesuai dengan tugas utama Bulog, bagaimana memastikan stok beras kita cukup?
Kami memonitor tiga hal: produksi dan ramalan produksi, harga, serta stok. Bicara tentang stok tidak hanya yang ada di Bulog, tapi juga di konsumen, pedagang, dan penggilingan. Stok di masyarakat ini sulit dideteksi sehingga yang menjadi patokan adalah stok di Bulog.
Berapa produksi beras lokal sekarang?
Produksi kita sekarang diperkirakan meningkat 4,3 persen, meskipun ini perkiraan karena masih ada beberapa bulan ke depan. Soal harga, hari ini, di seluruh Indonesia mengalami kenaikan 0,55 persen dibanding bulan lalu.
Mengapa harga naik?
Sebab, begitu harga komoditas lain naik, beras terpengaruh. Selain itu, terjadi perubahan perilaku masyarakat pada bulan puasa dan menjelang Lebaran. Yang tadinya membeli beras biasa cenderung membeli yang lebih enak. Ini berpengaruh terhadap harga.
Apakah ketersediaan beras dalam negeri cukup?
Stok kita saat ini hampir 2,4 juta ton. Menurut perhitungan kami, cukup untuk delapan bulan ke depan. Kalau kondisinya normal, seharusnya masyarakat tidak perlu panik, tak perlu membeli banyak menjelang Lebaran.
Kondisi tidak normal itu seperti apa?
Misalnya ada bencana alam atau kemarau panjang.
Bagaimana pengaruh kenaikan harga beras dan komoditas lain yang harganya tidak disangga Bulog?
Saat ini ada kenaikan harga beberapa komoditas, seperti daging, ayam, dan telur. Dalam kondisi ini, pemerintah mengeluarkan beras untuk rakyat miskin (raskin) sebanyak 270 ribu ton, untuk mencegah supaya harga beras tidak ikut melonjak. Jadi, warga berpendapatan rendah yang selama ini hanya bisa membeli raskin 15 kilogram per bulan bisa membeli 30 kilogram per bulan dengan harga Rp 1.600 per kilogram pada Agustus ini.
Seandainya tetap terjadi kenaikan harga?
Akan digelar operasi pasar. Beras ini adalah milik pemerintah, sebanyak 458 ribu ton yang disimpan oleh Bulog. Operasi pasar juga dilakukan oleh pemerintah daerah yang menjual beras Bulog dengan harga lebih murah. Artinya, pemerintah daerah membayar selisih harga tersebut. Misalnya, harga beras komersial Bulog Rp 7.500 per kilogram dijual Rp 7.200. Maka Rp 300 per kilonya diambil dari pemerintah daerah.
Jadi pemerintah daerah membantu tugas Bulog....
Tepatnya, Bulog membantu pemerintah daerah.
Daerah mana penghasil beras terbesar di Indonesia saat ini?
Dari sekitar 2,4 juta ton stok beras Indonesia tahun ini, Jawa Timur menyumbang sekitar 800 ribu ton, Jawa Tengah sekitar 600 ribu ton, Jawa Barat sekitar 400 ribu ton, Sulawesi Selatan sekitar 300 ribu ton, dan NTT sekitar 120 ribu ton. Plus dari sejumlah kawasan lain.
Dengan produksi sebanyak itu, kita tetap harus mengimpor beras?
Ya, karena kita selalu menghitung stok satu tahun, termasuk cadangan untuk tiga bulan berikutnya. Kalau kita menghitung stok hanya sampai Desember, ya cukup, bahkan lebih. Tapi jumlah itu belum tentu cukup untuk menutupi kekurangan pada Januari-Maret tahun berikutnya. Karena itu, pemerintah menetapkan kita harus surplus 10 juta ton untuk menjamin tidak ada kekurangan.
Bukankah ironis, Indonesia, yang dulunya sudah swasembada pangan, kini mengimpor beras?
Masalahnya, kita harus selalu berjaga-jaga kalau produksi dalam negeri kurang. Impor ini juga mengantisipasi terjadi gejolak iklim yang bisa menyebabkan panen mundur, sementara beras harus tetap ada dan susah tergantikan.
Dari negara mana saja kita mengimpor beras?
Kita punya memorandum of understanding (MoU) dengan Thailand dan Vietnam. Kamboja dan Myanmar juga mau membuat MoU dengan kita.
Seberapa mengikat MoU itu?
MoU itu lebih bersifat ikatan moral. Belum ada duit yang keluar. Jadi, secara moral, pemerintah mereka memprioritaskan untuk menyediakan beras buat kita. Sebaliknya, tentu kita juga memprioritaskan untuk membeli beras dari mereka. Indonesia ini pasar besar. Mereka tidak akan meninggalkan Indonesia. Sebesar-besarnya impor Malaysia—60 persen kebutuhan beras mereka diimpor—tetap masih lebih besar impor kita.
Dalam proses itu, Bulog melibatkan importir swasta?
Swasta yang dilibatkan bukan importir Indonesia, melainkan eksportir dari negara asal. Karena beras ini penting, saya berpendapat importir beras itu harus Bulog. Hidup-matinya negara ini di beras. Jadi, apa boleh buat, harus dimonopoli Bulog. Kecuali beras untuk kepentingan khusus, seperti bisnis hospitality.
Mengapa harus melibatkan swasta di negara pengekspor? Tidakkah sebaiknya langsung ditangani Bulog?
Kalau dulu, kita mengimpor melalui pihak ketiga. Tapi sekarang, dalam rangka transparansi, kalau memang harus impor beras komersial, kita buka tender. Yang kita undang adalah eksportir dari negara asal, tanpa makelar. Kalau impor G to G (government to government), Bulog tidak sendiri, tetapi didampingi dewan pengawas dan perwakilan/duta besar kita di negara eksportir. Jadi, meskipun broker dari Singapura ngejar-ngejar mau ikut, ya kami persilakan, tapi mereka selalu kalah di harga.
DPR saat ini sedang menggodok revisi UU Pangan 1976. Nantinya akan ada Badan Otoritas Pangan, yang posisinya di atas Bulog. Tanggapan Anda?
Problem Bulog sekarang: kalau mau melakukan operasi pasar, kami harus menunggu Kementerian Perdagangan. Mau menjual raskin, kami harus menunggu Menteri Koordinator Kesejahteraan Rakyat. Kalau ada bencana alam, kami menunggu Kementerian Sosial. Bulog punya banyak ibu, padahal banyak problem yang harus ditangani cepat. Tapi, kalau kami sendiri yang meregulasi dan melakukan, pasti orang curiga bagaimana mengontrolnya. Daripada membentuk badan baru yang butuh banyak biaya, lebih baik mengubah status Bulog.
Bagaimana jika lembaga baru ini akhirnya menghilangkan keberadaan Bulog?
Membubarkan Bulog tidak dibenarkan oleh undang-undang karena risikonya terlalu besar. Sewaktu kesepakatan dengan IMF saja, kita mau mempertahankan Bulog. Tidak mungkin kalau tidak ada penyangga atau stabilisator harga komoditas pokok.
Sutarto Alimoeso
Pendidikan:
Pengalaman:
Tempat dan tanggal lahir: Pacitan, Jawa Timur, 25 Juni 1949
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo