Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Wawancara

<font face=arial size=2 color=#ff9900>Mantan Ketua Komisi Antikorupsi Hong Kong Bertrand de Speville:</font><br />KPK Harus Ada di Semua Provinsi

9 Juli 2012 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Tak lama setelah Bertrand de Speville meluncurkan bukunya, Overcoming Corruption: The Essentials, pada 2010, Tunku Abdul Aziz, bekas Wakil Ketua Transparency International, menuliskan pendapatnya—yang boleh jadi terdengar "sedikit emosional". Katanya, "Jika ada seseorang di muka bumi ini yang boleh saya kagumi karena upayanya yang tak kunjung padam memerangi korupsi, dialah Bertrand de Speville."

Pria 71 tahun ini praktis melewati tahun-tahun puncaknya untuk mengurusi pemberantasan korupsi—suatu pekerjaan yang menurut dia punya efek "menyakitkan, perlu daya tahan, dan bisa (membuat orang) amat kesepian". Dia mengejar para koruptor sejak masih menjadi jaksa hingga saat memimpin Komisi Independen Antikorupsi (ICAC)—"KPK"-nya Hong Kong.

Bertrand de Speville dan Komisi Pem­be­ran­tasan Korupsi sejatinya punya ikatan "pri­mordial". Sepanjang 2000-2001, ia mem­­bantu Kementerian Kehakiman (kini Ke­men­terian Hukum dan Hak Asasi Manusia) merancang KPK. Pada 2002, payung hukum lembaga ini disahkan—dan berdiri setahun kemudian. Badan Rehabilitasi dan Rekonstruksi Aceh-Nias pada 2005 juga mendapat ban­tuannya. Bertrand pun turut membidani kelahiran lembaga antikorupsi di berbagai negara.

Setelah pensiun dari ICAC—yang berhasil membersihkan kepolisian Hong Kong—ia men­dirikan kantor konsultan antikorupsi, dan diundang ke banyak negara. Berada di Jakarta sepanjang pekan lalu, Bertrand bertemu dengan pemimpin KPK dan Komisi Hukum Dewan Perwakilan Rakyat. Dia juga memberi kuliah umum di Universitas Paramadina, Jakarta. Membagi pengetahuan dan pengalaman antikorupsi di Indonesia memang bukan hal baru baginya. Kelahiran Undang-Undang KPK, antara lain, berkat masukan Bertrand.

Rabu pekan lalu, di sela-sela jadwalnya yang amat padat, Bertrand de Speville menerima wartawan Tempo Anton Septian dan Sadika Hamid untuk wawancara khusus. Selama satu jam lebih, mantan Ketua ICAC itu membicarakan korupsi dengan serius tapi dingin, tanpa sedikit pun riak di air mukanya. Emosi Bertrand baru meleleh tatkala dia mengeluarkan sebuah kamera tua yang sudah baret-baret di akhir wawancara. "Saya ingin dipotret bersama kalian," ujarnya seraya tersenyum lebar.

Boleh tahu apa saja hasil pertemuan Anda dengan pemimpin KPK di Jakarta?

Saya bertemu tiga dari mereka (para ketua KPK). Dalam diskusi itu, saya sampaikan—juga kepada sejumlah pegawai senior—beberapa hal yang mengganggu saya. Antara lain, semestinya KPK ada di setiap provinsi, tapi (sekarang) masih terbatas di Jakarta. Butuh (lebih) banyak sumber daya. Faktanya, organisasi ini amat kecil untuk populasi Indonesia. Tujuh ratus orang (jumlah semua pegawai KPK) itu sedikit sekali, dan anggarannya pun tidak banyak. Padahal ini modal utama menumpas korupsi.

Menurut Anda, berapa idealnya jumlah tenaga dan anggaran untuk KPK?

Idealnya setengah persen dari total anggaran pemerintah. Anda bisa hitung sendiri. Saat ini, anggaran KPK kurang dari 0,05 persen (Rp 632 miliar dari nilai total APBN 2012—Rp 1.418 triliun). Itu amat kecil. Seharusnya 0,5 persen. Untuk tenaga, KPK butuh sedikitnya 8.000 pegawai. Meski banyak yang melamar, kualifikasi yang cocok amat sedikit. Kalau (kita) mencari orang yang berpengalaman memberantas korupsi, memang hanya sedikit: penyidik dari kepolisian dan Kejaksaan Agung. Mereka pun direkrut untuk sementara. Yang seharusnya dilakukan KPK, seperti kami di Hong Kong, adalah merekrut anak-anak muda yang berdedikasi dan bersih. Latih mereka untuk ditempatkan di bagian pencegahan atau penyidikan.

Mengapa perlu hingga 8.000 pegawai?

Angka itu adalah perkiraan dengan melihat jumlah penduduk, polisi, pegawai negeri, dan unit pelayanan. Bila ada yang mengatakan KPK butuh 10 ribu pegawai, saya setuju. Tapi perlu cabang, kantor, di tiap provinsi yang tetap bertanggung jawab kepada kantor pusat di Jakarta. Dalam operasinya, mereka (perlu) diberi otonomi luas. Kantor pusat tetap melakukan inspeksi, memonitor, dan memastikan kantor-kantor cabang tetap tunduk pada peraturan kantor pusat.

Bagaimana Anda melihat kinerja KPK dibanding lembaga antikorupsi di negara lain?

Sulit menjawabnya, tapi Anda bisa melihatnya pada indeks persepsi korupsi Transparency International. Indonesia patut mendapat pujian karena bisa menaikkan indeks dari 1,94 menjadi 3,0–dalam 15 tahun lebih. Bukan kemajuan pesat, tapi setidaknya bergerak ke arah yang tepat.

KPK ingin punya gedung baru, tapi Dewan Perwakilan Rakyat belum menyetujuinya. Seberapa penting aspek gedung untuk sebuah komisi antikorupsi?

Yang dibutuhkan KPK saat ini adalah ruang kantor lebih luas. Tak jadi masalah apakah itu ruang kantor sewaan atau gedung pemberian. Yang penting, ada tempat yang patut. DPR keliru jika menganggap KPK lembaga yang sementara sehingga menolak memberikan gedung baru. Saya akan kaget bukan main bila Indonesia memutuskan tak lagi perlu lembaga antikorupsi. Perang melawan korupsi akan berlanjut di masa depan. Maka bujet pemberantasan korupsi harus tetap dicantumkan dalam anggaran tahunan pemerintah.

Bagaimana Anda melihat hubungan KPK dan parlemen kami di Indonesia?

Saya kira mereka (KPK dan DPR) bukan bermusuhan. Beberapa anggota DPR mungkin merasa sedikit tersinggung. Tapi KPK adalah aset berharga yang didukung rakyat. Dukungan publik akan menjadi pelindung eksistensi KPK dalam jangka panjang, sehingga perlu dikembangkan dan dipelihara. Bila dukungan itu lenyap, saya pikir, angin politik seperti apa pun bisa menyapu habis KPK. Jadi, pelihara dan pertahankan dukungan publik!

Anda punya ide cara-cara memeliharanya?

Dengan bekerja sebaik-baiknya. Bila petugas KPK berkelakuan jahat atau gagal bekerja dengan baik, dukungan publik akan lenyap. Komisi ini harus tetap (independen), tidak memihak siapa-siapa. Jika tidak, publik tak akan percaya KPK. Bila tidak percaya, bagaimana mereka memberi sokongan?

Perlawanan politikus terhadap pemberantasan korupsi apakah jamak terjadi di negara berkembang?

Tidak jamak, tapi sering terjadi. KPK tak perlu menentukan target. Usut saja apa yang dilaporkan publik. Bila KPK menjadikan sektor tertentu dalam masyarakat sebagai target, selain keliru, sektor tersebut akan bereaksi. Mereka akan merasa dizalimi, dikorbankan. Itulah sebabnya penting bagi KPK memiliki kebijakan penyelidikan yang bisa mengusut setiap pengaduan korupsi. KPK harus responsif terhadap setiap pengaduan masyarakat.

Anda punya pengalaman diserang balik politikus?

Ketika masih di ICAC, saya memberhentikan seorang pegawai senior keturunan Cina. Dia memprotes dan mengatakan dia didiskriminasi. Anggota parlemen menggunakan hak angketnya. Mereka ingin masalah tersebut diselidiki. Pemeriksaan digelar. Belakangan, mereka menyimpulkan bahwa sudah betul saya memecat petugas tadi. Tapi tetap saja pemeriksaan tersebut menyita waktu. Saat itu saya juga dimusuhi. Memimpin sebuah lembaga antikorupsi adalah pekerjaan yang (membuat kita) sangat kesepian. Sulit punya teman di masyarakat.

Apa kunci sukses pemberantasan korupsi?

Pertama, political will. Kedua, hukum. Hukum mengatakan suap itu salah, suap itu kejahatan serius. Ketiga, strategi memerangi korupsi, yang memadukan tiga hal: penindakan, pencegahan, serta pendidikan dan dukungan publik. Ketiganya harus dikerjakan bersamaan. Keberhasilan salah satunya akan mengerek dua yang lain. Menjalankan ketiga bagian strategi itu secara terkoordinasi adalah pekerjaan KPK.

Ada yang lain?

Tak bisa memberantas korupsi sendirian, KPK butuh dukungan publik dan sumber daya yang memadai. Yang juga diperlukan adalah daya tahan. Berapa lama pemberantasan korupsi menyita waktu? Komponen lain dari daya tahan adalah rasa sakit. Perang melawan korupsi menimbulkan rasa sakit. Tidak cuma buat individu, tapi juga keluarga, sahabat, dan kolega.

Apakah itu kunci sukses ICAC?

Kuncinya, menurut saya, menyadari bahwa di Hong Kong—ICAC berdiri sejak 1974—(kami) tak bisa memberantas korupsi dengan penindakan saja. Anda harus melaksanakan tiga bagian strategi tadi secara bersama-sama: penindakan, pencegahan, serta pendidikan publik.

Bagaimana dengan anggaran ICAC?

Anggaran ICAC juga tak besar, walau lebih besar ketimbang KPK. Ketika saya masih menjabat, menjelang 1997, anggarannya 0,42 persen dari total anggaran pemerintah. Sekarang, setelah 16 tahun, menurun jadi 0,3 persen. Kalau pemberantasan korupsi berhasil, anggaran pemerintah membesar, belanja meningkat, tapi anggaran pemberantasan korupsi tak ikut membesar. Anggaran bisa dijadikan indikator political will dari pemerintah dan DPR Anda. Bila dalam setahun persentase anggaran pemberantasan korupsi menurun tajam, Anda harus bertanya apa yang sedang terjadi.

Berdasarkan pengalaman Anda, berapa lama sebuah komisi antikorupsi bisa stabil?

Di negara sebesar Indonesia, fase perkembangannya bisa lima sampai delapan tahun. Meski kantor cabang KPK belum berdiri di setiap provinsi, itu bukan berarti KPK tak menunjukkan kemajuan. Butuh waktu lama, dan proses yang berangsur-angsur, untuk benar-benar (bisa) mengubah sikap dan pandangan orang terhadap korupsi. Mungkin perlu satu generasi. Itu tidak terlalu lama. Dan KPK mesti mengukur perubahannya lewat survei. Perubahan sikap publik adalah tujuan utama pemberantasan korupsi, bukan berapa banyak orang yang dipenjara.

Apa yang menyebabkan sebuah program antikorupsi tidak efektif?

Sejak Transparency International mulai mengukur indeks persepsi korupsi pada 1995, seharusnya, dalam 16-17 tahun ini, kita bisa melihat banyak kemajuan dalam pemberantasan korupsi. Tapi banyak negara hanya berjalan di tempat. Saya khawatir kesalahannya justru bukan pada negaranya, melainkan pada saran lembaga-lembaga donor. Saran mereka justru kerap kali buruk, dan (itu menyebabkan) saya kritis. Misalnya, sistem pelaporan kekayaan itu tak berguna karena menyerap banyak sumber daya antikorupsi. Padahal sumber daya itu bisa digunakan di bidang lain. Tujuan sistem pelaporan kekayaan adalah mengungkap korupsi, tapi tak berhasil.

Bagaimana dengan hukuman mati? Banyak orang di sini percaya itu bisa mengurangi korupsi.

Hukuman mati tak perlu. Kirim saja terpidana ke dalam bui, denda, lalu sita harta hasil korupsinya. Itu yang paling penting. Cina adalah contoh negara yang menerapkan hukuman mati bagi koruptor. Apakah ada perubahan signifikan di Cina? Menurut saya tak ada.

Bertrand de Speville
Tempat dan tanggal lahir: 16 Juni 1941 l Kebangsaan: Inggris l Pendidikan (formal dan lapangan): University College London (LLB), Inns of Court Law School, London, Harmsworth Scholar l Pengalaman Kerja: Kepala Konsultan Antikorupsi de Speville & Associates, konsultan antikorupsi (1996-sekarang), Ketua Independent Commission Against Corruption, Hong Kong (1993-1996), Jaksa Agung Muda Hong Kong (1991-1993), Kepala Kejaksaan Hong Kong (1985-1991), Wakil Kepala Kejaksaan Hong Kong (1981-1985)

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus