Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
CATATAN pada program Microsoft Excel itu membetot mata penyidik Komisi Pemberantasan Korupsi. Disalin dari laptop Sekretariat Badan Anggaran Dewan Perwakilan Rakyat, dokumen ini menjadi modal penting komisi antikorupsi mengurai mafia anggaran di Senayan. Catatan itu diperoleh penyidik saat menggeledah ruang Sekretariat Banggar pada 10 Februari lalu. Isinya: pembagian jatah Dana Penyesuaian Infrastruktur Daerah 2011.
Dua pegawai Sekretariat Banggar, Nando dan Khaerudin, mengolah data tersebut pada awal November 2010. Data itu memuat 524 daerah yang berhak menerima dana infrastruktur. Setiap lajur, yang mencantumkan nama daerah dan jumlah dana yang diterima, ditandai warna partai, kode fraksi, dan—beberapa di antaranya—kode pimpinan Banggar. Saat itu Banggar diketuai Melchias Markus Mekeng dengan wakil ketua Mirwan Amir, Olly Dondokambey, serta Tamsil Linrung.
Menurut Wakil Ketua KPK Busyro Muqoddas, data itu akan diuji di persidangan Wa Ode Nurhayati. Anggota Banggar DPR nonaktif itu kini menjadi pesakitan dalam perkara dugaan korupsi pengalokasian dana penyesuaian tersebut. "Penuntut harus bisa memverifikasi data itu," kata Busyro kepada Tempo, Rabu pekan lalu.
Dalam putusan selanya, Selasa pekan lalu, majelis hakim Pengadilan Tindak Pidana Korupsi Jakarta, yang dipimpin Suhartoyo, menolak eksepsi Nurhayati. Selasa pekan ini, sidang masuk agenda pemeriksaan saksi. Ada 50 saksi yang akan diperiksa dalam persidangan, termasuk Nando, Khaerudin, serta empat pemimpin Banggar.
Dalam dakwaannya, jaksa menuding Nurhayati menerima suap dari tiga pengusaha, Fahd A. Rafiq, David Nelwan, dan Abram Noach Mambu, pada 13 Oktober 2010-1 November 2010. Duit Rp 5,5 miliar dari Fahd diduga sogokan agar Wa Ode Nurhayati mengusahakan tiga kabupaten di Aceh, yaitu Pidie Jaya, Bener Meriah, dan Aceh Besar, masuk daftar penerima dana itu. Sedangkan Rp 750 juta dari David dan Abram untuk memasukkan Kabupaten Minahasa, Sulawesi Utara, dalam daftar.
Menurut jaksa, duit diserahkan tiga pengusaha tersebut melalui Haris Andi Surahman. Pengusaha laundry ini perantara mereka ke Nurhayati. Haris dan Nurhayati sama-sama bekas aktivis Himpunan Mahasiswa Islam. Dari Haris, duit diserahkan ke Sefa, tenaga ahli Nurhayati. Sefa lalu menyetor duit secara tunai atau pemindahbukuan dari rekeningnya di Bank Mandiri gedung DPR ke rekening Nurhayati di bank yang sama.
Penyerahan uang seperti ini dinilai jaksa sebagai upaya mengaburkan transaksi. Karena dalil ini, Nurhayati dijerat pasal pencucian uang. Jerat ini juga dikenakan karena ia mengubah duit yang diduga hasil suap menjadi deposito, lalu ia belanjakan untuk membeli rumah, apartemen, dan mobil. Sepanjang Oktober 2010 hingga September 2011, KPK menemukan isi rekening Nurhayati di Bank Mandiri DPR tak kurang dari Rp 50,5 miliar.
Dari tiga pengusaha itu, KPK baru menetapkan Fahd sebagai tersangka. Dalam waktu dekat, menurut sumber Tempo, KPK juga akan menetapkan Haris sebagai tersangka. "Sebentar lagi naik ke penyidikan," kata Ketua KPK Abraham Samad.
Sumber Tempo itu mengatakan, Haris sebenarnya sudah ditetapkan sebagai tersangka bersamaan dengan Fahd. Namun KPK menunda penetapan itu karena menilai Haris bisa membantu mengungkap jaringan mafia anggaran di Senayan. Ditanya kapan Haris akan ditetapkan jadi tersangka, Busyro hanya menjawab pendek. "Tunggu dinamikanya nanti."
Sejumlah nama anggota Dewan disebut Nurhayati juga terlibat kasus ini. Mengutip kesaksian Nando saat diperiksa KPK, Nurhayati menyatakan Ketua DPR Marzuki Alie menerima jatah dana penyesuaian itu Rp 300 miliar. Ibu satu anak ini juga menyebut empat pimpinan DPR dan empat pimpinan Banggar menerima jatah masing-masing Rp 250 juta.
Menurut kesaksian Kepala Sub-Bagian Rapat Sekretariat Banggar itu, kata Nurhayati, jatah pimpinan DPR tertulis dengan kode "K" dalam daftar penerima dana penyesuaian di laptop Sekretariat Banggar. Sedangkan untuk empat pimpinan Banggar, kodenya "P". Ada juga kode "A" untuk 85 anggota Banggar. Menurut pengakuan Nurhayati ke penyidik, jatah tiap anggota Banggar Rp 100 miliar. "Karena dinilai rajin rapat, saya dapat Rp 120 miliar," katanya.
Wa Ode Nurhayati menuding Nando menyembunyikan keterlibatan pimpinan DPR dengan menulis kode "K" itu untuk koordinator, sebanyak lima orang. Setahu Nurhayati, kode itu untuk pimpinan DPR, yang jumlahnya juga lima orang. "Di persidangan, itu akan saya buka," katanya.
Saat diperiksa KPK pada 8 dan 13 Maret lalu, Nando mengatakan kode-kode itu diperoleh dari pimpinan Banggar ketika proses penyusunan daftar penerima dana penyesuaian. Sebelumnya, pada Oktober 2010, setelah beberapa kali rapat dengan pemerintah, Panitia Kerja Transfer Daerah DPR menyepakati pengalokasian Rp 7,7 triliun untuk dana penyesuaian daerah. Panja ini dipimpin Tamsil Linrung dan Olly Dondokambey.
Menurut notulen rapat Panitia Kerja dengan pemerintah pada 6 dan 7 Oktober 2010 di Wisma DPR, Kopo, Bogor, tidak semua daerah menerima dana dadakan ini. Dari notulen rapat disebutkan, kabupaten atau kota dengan kemampuan keuangan rendah sekali mendapat Rp 40 miliar, yang rendah Rp 30 miliar, dan sedang Rp 25 miliar. Adapun provinsi dengan kemampuan keuangan rendah mendapat Rp 70 miliar, dan sedang Rp 30 miliar.
Setelah disepakati, menurut Nando, ia dan Khaerudin, anggota staf Sekretariat Banggar, mengolah daftar itu di laptop kantor. Bahannya, kata dia, dari pimpinan Banggar. Untuk revisi nama daerah penerima dan besaran dananya, ujar dia, bahannya juga disetor empat pimpinan Banggar. "Ada empat sampai lima kali revisi," katanya kepada penyidik.
Nando mengaku sempat sekali menerima permintaan revisi dari Kementerian Keuangan. Suratnya datang sehari setelah daftar yang diteken empat pimpinan Banggar dikirim ke Kementerian Keuangan. Menurut Nando, dalam permintaan revisinya, misalnya, Kementerian Keuangan menyebut Kabupaten Ogan Komering Ulu dengan kemampuan keuangan sedang mendapat Rp 39,6 miliar, dari seharusnya Rp 25 miliar.
Pada pertengahan November 2010, revisi terakhir dikirim ke pemerintah. Pada 13 Desember 2010, Menteri Keuangan Agus Martowardojo mengirim surat ke DPR. Dia menanyakan mengapa 32 daerah yang semula memenuhi syarat dicoret. Dua pekan berselang, surat dijawab Wakil Ketua DPR Anis Matta, yang menyatakan daftar itu sudah final. "Saya hanya meneruskan dari Banggar," kata Anis.
Setelah itu, pada 11 Februari 2011, terbit peraturan Menteri Keuangan mengenai dana penyesuaian ini. Lampirannya memuat daftar revisi terakhir yang dikirim Banggar. Wa Ode Nurhayati mengaku kaget melihat daftar itu. Ada lebih dari 100 kabupaten/kota yang semula tercantum menghilang dari daftar. "Ada kongkalikong," ujarnya.
Dalam laptop Sekretariat Banggar, daftar revisi terakhir itu ditandai warna partai, kode fraksi, dan kode pimpinan Banggar. Kode-kode itu menunjukkan setiap daerah penerima sudah dikaveling partai, anggota fraksi, atau pimpinan Banggar.
Menurut Khaerudin, ketika diperiksa penyidik KPK pada 15 Maret 2011, warna dan kode itu dibuat untuk mempermudah pimpinan Banggar mengetahui alokasi dana penyesuaian tersebut milik siapa dan nama partai pengusulnya. "Partai mengusulkan daerah lewat anggotanya di Banggar," katanya.
Kepada wartawan, Nando mengakui adanya kode-kode itu. Namun ia membantah keras menyebut nama Ketua Marzuki Alie dan pimpinan DPR lainnya ketika diperiksa KPK. Marzuki Alie sendiri menyatakan tak pernah menerima sepeser pun duit dana penyesuaian itu. "Saya bersedia dilaknat tujuh turunan, kalau perlu disumpah pocong," kata politikus Partai Demokrat ini.
Tamsil juga membantah adanya praktek bagi-bagi jatah dana penyesuaian. Ia mengaku tak tahu kode-kode itu. "Silakan KPK buktikan ucapan Wa Ode," kata politikus Partai Keadilan Sejahtera ini. Bantahan serupa disampaikan Mirwan Amir. Politikus Partai Demokrat ini juga mengaku tak tahu kode-kode itu.
Menurut anggota Badan Pekerja Indonesia Corruption Watch, Apung Widadi, penjelasan Nando dan Khaerudin mengenai kode-kode tersebut menunjukkan adanya mafia anggaran di Dewan. "KPK harus jeli mengurai peran mafia anggaran di persidangan Wa Ode," ujar Apung. "Kasus Wa Ode ini pintu masuknya."
Busyro menegaskan, pihaknya tidak akan segan-segan menyentuh siapa pun yang nantinya terbukti terlibat."Dalam korupsi politik, muatan strukturalnya sangat kental," katanya. Menurut sumber Tempo, KPK sebenarnya sudah membuka penyelidikan dugaan permainan mafia anggaran dana penyesuaian ini. "Kuncinya ada di daftar penerima dana dengan sejumlah kode itu," katanya.
Anton Aprianto, Tri Suharman, Febriyan
Bukan Pemain Tunggal
Wa Ode Nurhayati dijerat dakwaan berlapis dalam perkara dugaan korupsi Dana Penyesuaian Infrastruktur Daerah (DPID) 2011. Selain dengan pasal penyuapan, anggota Badan Anggaran Dewan Perwakilan Rakyat nonaktif ini diancam dengan pasal pencucian uang. KPK menduga politikus Partai Amanat Nasional itu bukanlah pemain tunggal.
Awal September 2010
Fahd A. Rafiq bertemu dengan Haris A. Surahman di kantor Partai Golkar, Slipi, Jakarta. Keduanya kader Golkar. Fahd meminta Haris mencarikan anggota Banggar DPR yang bisa membantu proyeknya.
Medio September 2010
Haris menghubungi Syarif Ahmad, kolega Wa Ode Nurhayati. Kepada Syarif, Haris mengatakan Fahd ingin bertemu dengan Nurhayati.
Dua hari berselang
Haris bertemu denganSyarif dan Nurhayati di Restoran Pulau Dua, Senayan. Haris minta bantuan Nurhayati mengurus proyek Fahd. Nurhayati setuju.
28 September 2010
Lewat Haris, Fahd menyerahkan proposal tiga kabupaten di Aceh: Pidie Jaya, Bener Meriah, dan Aceh Besar, berisi permintaan dana penyesuaian 2011. Haris juga menyerahkan proposal Minahasa, Sulawesi Utara.
Awal Oktober 2010
Fahd menanyakan ke Haris fee untuk Nurhayati. Menurut Haris, Nurhayati meminta fee 5-6 persen, jika tiga kabupaten itu ingin mendapat masing-masing Rp 40 miliar. Untuk Minahasa, fee juga 5 persen dengan usulan dana penyesuaian Rp 15 miliar.
6-7 Oktober 2010
Rapat Panitia Kerja Transfer Daerah DPR dengan pemerintah di Wisma DPR Kopo, Cisarua, Bogor. Rapat dipimpin Wakil Ketua Banggar Tamsil Linrung serta Olly Dondokambey dan memplot DPID sebesar Rp 7,7 triliun.
11 Oktober 2010
Rapat Panitia Kerja Transfer Daerah di ruang Banggar DPR menyepakati DPID Rp 7,7 triliun.
13 Oktober 2010.
Haris membuat rekening atas nama Fahd di Bank Mandiri DPR. Ke rekening itu, Fahd mengirim duit Rp 2 miliar. Duit lalu dicairkan Haris dan diserahkan ke Sefa, tenaga ahli Nurhayati. Oleh Sefa, duit disetor ke rekening Nurhayati di Bank Mandiri. Dengan pola sama, pembayaran dilakukan bertahap.
17 Oktober 2010-1 November 2010
Usulan daerah penerima dari pimpinan dan anggota Banggar.
2 November 2010
Daftar 524 daerah yang dapat dana penyesuaian diteken empat pimpinan Banggar, lalu dikirim ke Kementerian Keuangan.
5 November 2010
Kementerian Keuangan meminta Banggar merevisi daftar penerima karena banyak daerah yang tidak masuk kriteria.
15 November 2010
Setelah lima kali direvisi, daftar daerah penerima dikirim ke Kementerian Keuangan.
Akhir November 2010
Fahd dan Haris mendapat kabar usulan daerahnya tidak lolos.
13 Desember 2010
Melalui surat ke DPR, Menteri Keuangan Agus Martowardojo menanyakan perihal 32 daerah yang semula memenuhi syarat tapi dicoret.
17 Desember 2010
Terbit jawaban surat yang diteken Wakil DPR Anis Matta ke Menteri Keuangan bahwa daftar sudah final.
11 Februari 2011
Terbit Peraturan Menteri Keuangan tentang DPID 2011. Nurhayati kaget karena 100 daerah yang semula disepakati di rapat panitia kerja hilang dari daftar.
Medio Februari 2011
Haris dan Fahd bertemu dengan Nurhayati di gedung DPR meminta sisa fee dikembalikan.
Akhir Februari 2011
Karena sering mengelak, Nurhayati diadukan Haris ke fraksinya. Sampai Mei, dari Rp 6,5 miliar, tinggal Rp 1,76 miliar yang belum dikembalikan.
25 Mei 2011
Dalam acara Mata Najwa di Metro TV, Nurhayati menyentil peran pimpinan DPR dalam percaloan anggaran. Pimpinan DPR meradang.
30 Mei 2011
Haris mengadu ke empat pimpinan Banggar telah menjadi korban percaloan Nurhayati.
Awal Juni 2011
KPK menelusuri dugaan mafia anggaran di DPR.
18 Agustus 2011
Pimpinan DPR meminta Pusat Pelaporan dan Analisis Transaksi Keuangan menelisik rekening Nurhayati.
24 Agustus 2011
Alih-alih menemukan transaksi janggal Nurhayati, PPATK justru menemukan sekitar 2.000 transaksi sejumlah anggota Banggar DPR.
Awal Agustus-September 2011
KPK mengorek keterangan Nurhayati untuk membongkar mafia anggaran di DPR.
9 Desember 2011
Nurhayati jadi tersangka.
25 Januari 2012
Fahd A. Rafiq jadi tersangka. Ia tak ditahan.
13 Juni 2012
Persidangan Nurhayati digelar.
Mata Rantai Para Calo
Komisi antikorupsi meyakini praktek percaloan di DPR punya pola serupa. Diduga modelnya tak jauh beda dengan yang dipraktekkan Wa Ode Nurhayati. Inilah polanya.
Daerah pengusul ==> Pengusaha daerah penyokong dana sogokan ==> Fahd A. Rafiq (perantara Kabupaten Pidie Jaya, Bener Meriah, dan Aceh Besar) ==> Paul Nelwan (perantara Kabupaten Minahasa) ==> Haris Andi Surahman (perantara Fahd dan Paul ke Nurhayati) ==> Syarif Ahmad (perantara Haris ke Nurhayati) ==> Wa Ode Nurhayati ==> Sefa Yulanda (tenaga ahli Nurhayati yang menerima duit yang diduga sogokan).
Naskah: Anton A.
Sumber: KPK, DPR, wawancara
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo