Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
The Amazing Spider-Man
Sutradara: Marc Webb
Skenario: James Vanderbilt, Alvin Sargent, Steve Kloves
Berdasarkan cerita: James Vanderbilt dan komik Marvel karya Stan Lee dan Steve Ditko
Pemain: Andrew Garfield, Emma Stone, Rhys Ifans, Denis Leary (Captain Stacy), Campbell Scott, Martin Sheen, Sally Field
Baiklah. Kita paham dengan fanatisme para penggemar film trilogi Spider-Man arahan Sam Raimi dengan aktor Tobey MaÂguire, yang berhasil meniupkan nyawa ke dalam tubuh Peter Parker dan menjerat hati penonton dengan jaring laba-laba yang melesat dari jari-jarinya. Ini kita akui dengan catatan bahwa sekuel ketiga Spider-Man versi Sam Raimi sudah kehabisan gas dan plot cerita semakin tak terjaga.
Membayangkan Marc Webb—sutradara film indie 500 Days with Summer—mengambil alih tugas Sam Raimi hanya lima tahun setelah sekuel ketiga memang terasa langkah yang terlalu nekat. Apalagi Webb memilih Andrew Garfield, aktor Inggris yang menjulang dengan rambut ikal dan konon wajahnya tak masuk kategori "nerd" seperti deskripsi sosok Peter Parker.
Tapi sabarlah. Sebelum kelojotan, saksikan dulu adaptasi Marc Webb serta penulis skenario James Vanderbilt, Alvin Sargent, dan Steve Kloves ini. Ternyata Marc Webb tak hanya kembali bersetia pada komik Spider-Man, yang lahir pada 1962 di mana Peter Parker digambarkan sebagai remaja yang habis-habisan dikoyak-koyak oleh gerombolan anak lelaki jagoan basket pimpinan Flash Thompson (Chris Zylka). Dia juga mengembalikan Parker sebagai remaja yang menyimpan galau dan dendam.
Parker, yang menjalani hari-harinya sebagai murid SMA yang penyendiri, yang melahap matematika dan sains seperti sarapan pagi, merekam peristiwa sehari-hari dengan kamera dan melayang dengan skateboard. Jika dia tidak digerecoki atau diinjak-injak Flash, Parker membantu Bibi May (Sally Field) dan Paman Ben (Martin Sheen), pasangan baik hati yang membesarkannya saat orang tua Peter Parker terpaksa menitipkan si kecil Peter karena sebuah ancaman berbahaya.
Selebihnya, plot cerita yang mendasar tak jauh dari yang kita sudah kenal. Peter Parker yang menyelinap ke bekas perusahaan ayahnya, Oscorp, untuk menemui partner sang ayah: dr Curt Connors (Rhys Ifans). Parker menemukan rumus biogenetika yang disembunyikan ayahnya, yang selama ini tengah dicari dr Connors. Pada saat kunjungan ke laboratorium dahsyat itulah Parker tersengat arachnid, yang mendadak membuat remaja ini menjadi begitu sigap, begitu cepat, mudah melekat dan merayap, dan jari-jarinya yang mendadak mampu melontarkan serangkaian benang ke segala penjuru untuk bisa menggapai puncak-puncak gedung pencakar langit.
Meski Marc Webb sudah membuat visual yang mewah, teknologi tinggi di laboratorium Oscorp yang keren dan proses perubahan Connor menjadi reptilia gigantik yang sungguh grotesque, kedahsyatan Webb tetap pada drama Peter Parker dan Gwen Stacy. Tanpa menyepelekan sinar Tobey Maguire yang sudah mencuri hati kita, kini Andrew Garfield berhasil menciptakan seorang Peter Parker yang baru, yang justru lebih mendekati panel-panel komik Stan Lee dan Steve Ditko. Perlu diingat, komik Spider-Man lahir pada 1962, saat pengaruh sosok Holden Caufield dari novel The Catcher in the Rye karya J.D. Salinger tengah menggegerkan meski sudah beredar selama sepuluh tahun. Peter Parker mendapatkan tetesan pengaruh gaya Holden Caufield yang penyendiri, yang gemar nyeletuk dengan kalimat yang cerkas dan terkadang sinis (ingatlah balon-balon berisi celetukan Parker yang lucu itu?) dan sesekali jadi pemarah jika Paman Ben dan Bibi May tak bisa menjawab perihal masa lalu orang tuanya. Peter Parker versi Tobey Maguire adalah sosok anak tetangga yang pemalu dan pendiam yang mudah kita sayangi. Sedangkan Andrew Garfield menyimpan bara pemberontakan yang membuat dia terkadang bingung apakah kekuatan Spider-Man yang diperoleh tiba-tiba itu digunakan untuk pembalasan dendam atau untuk membantu umat manusia.
Marc Webb ingin membuat Peter Parker menjadi remaja yang hormonnya masih gelagapan. Termasuk saat menghadapi gadis cantik seperti Gwen Stacy. Setiap kali adegan Andrew Garfield dan Emma Stone berada di layar, para ibu ingin menjadi muda kembali dan para remaja perempuan meleleh seperti mentega di atas kuali panas. Inilah kelebihan Marc Webb: membangun drama cinta tanpa terlalu banyak cingcong dan dialog. Kita berhasil terjerat pasangan ini. Keren!
Tentu film ini tetap mengandung problem. Marc Webb terlalu mengandalkan sepasang mata Andrew Garfield yang bersinar seperti mata anak anjing, sehingga kita terlalu sering melihat topeng Spider-Man yang dibuka-tutup berkali-kali. Webb terlalu dini mengabarkan pada dunia tentang kehidupan dualisme sang superhero baru itu. Tak bisakah dia bersabar dan membangun suspens itu lebih lama?
Leila S. Chudori
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo